Saya tidak alergi dengan puisi cinta dan puisi dengan kata-kata banal, hanya saja menurut pendapat saya, tulislah tema-tema fiksi (puisi) yang unik.
Saya sendiri kurang tertarik membaca cerpen dan puisi yang -maaf- kata kuncinya adalah kopi, senja, hujan, cinta. Kata-kata itu sudah terlalu banyak digunakan dan terlalu banal. Saya sendiri juga kadang memakai kata-kata itu, namun dalam konteks puisi yang tidak standar.
Coba eksplorasi tema yang belum banyak digarap, misalnya soal kebangsaan, kepedulian sosial, keagamaan, kecintaan pada alam, kebudayaan lokal (cerita rakyat, upacara adat, kontroversi tradisi melawan paham modern, dst.).
Coba eksplorasi diksi yang unik dan bukan mengulangi saja diksi puisi-puisi yang sudah ada, misalnya "mencintai dengan sederhana, senja buat NN, dst". Ikuti nasihat ahli penulisan puisi dan bahasa bahwa karya fiksi hendaknya kaya dengan hikmah dan diksi agar pembaca mendapat inspirasi.
Contoh fiksi bertema unik dan atau berdiksi unik:Â
Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi
Tips praktis panjang tulisan di blog
Pengamatan hamba, artikel nonfiksi yang dipilih Kompasiana sebagai pilihan dan artikel utama minimal dua halaman Kompasiana. Sila ukur sendiri ya berapa jumlah katanya...saya sudah capek ngetik nih :).Â
Mengapa "harus" agak panjang? Karena tulisan nonfiksi yang agak panjang menandakan penulis mahir dan serius mengulas topik, bukan asal tulis sambil makan gado-gado.Â
Sementara itu, artikel fiksi tidak harus dua halaman Kompasiana. Namun, puisi atau cerpen yang terlalu singkat juga kurang menarik karena tidak memberi ruang untuk eksplorasi gagasan penulisnya.Â