Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jangan Golput, Pilih yang "Jeleknya Paling Sedikit"

30 Januari 2019   17:28 Diperbarui: 31 Januari 2019   04:24 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menarik sekali opini Arif Nurul Imam, Analis Politik dan Direktur IndoStrategi di Kompas.com (29-1-2019). Ia mengatakan, golput adalah hak politik. Golput bukan perbuatan kriminal yang dilarang oleh UU Pemilu. Pasal 515 UU Pemilu mengatur bahwa hanya orang yang menjanjikan atau memberi uang/materi demi seseorang tidak memilih maupun memilih salah satu calon-lah yang akan terkena sanksi pidana. 

Arif menambahkan bahwa koalisi masyarakat sipil yang antara lain terdiri dari LBH Masyarakat, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan KontraS pun menyatakan tidak memberikan hak suara saat pemilu merupakan hak bagi setiap orang.

Mengapa Orang Golput

Dalam artikelnya, Arif telah mengulas dua jenis golput:

1) Golput teknis

Golput jenis ini diakibatkan oleh sikap tak peduli pada politik (apatisme politik). Orang-orang sudah bosan dengan pemilu yang mereka anggap tidak ada dampaknya bagi perubahan nasib.


2) Golput ideologis

Golput ideologis dilakukan karena pemilih melihat bahwa tak ada kandidat yang pantas dipercaya atau dicoblos. Golput jenis ini bukan karena sikap tak peduli atau karena tak mau mencoblos, tapi karena memang si pemegang hak pilih sengaja tak memilih sebagai protes atas pilihan kandidat yang terbatas.

Contoh Tingginya Angka Golput

Pengamat politik UGM AA GN Ari Dwipayana dalam diskusi "Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009" (4-7-2008) mengatakan bahwa persentase partisipasi pemilih dalam pemilu dan pilkada semakin menurun.

Ia memaparkan fakta bahwa pasca tumbangnya Orde Baru, terjadi trend peningkatan jumlah golput dari 10,21 persen pada Pemilu 1999 menjadi 23,34 persen pada Pemilu 2004. Pada pilpres putaran pertama angka golput mencapai 21,5 persen. Pada pilpres putaran kedua, angka ini meningkat menjadi 23,3 persen.

media.neliti.com
media.neliti.com
Menariknya, peningkatan angka Golput tidak hanya terjadi di pemilu legislatif dan pilpres, namun juga terjadi dalam pilkada yang rata-rata berkisar 27,9 persen.

Pada Pilgub Jateng 2013, angka golput mencapai 49 persen . Ditengarai, hal ini merefleksikan kejenuhan masyarakat pada proses pilkada.

"Atau bisa juga karena tidak mengenal sosok calon gubernur," kata Direktur Jateng Institute, Amin Suryanto melalui siaran persnya pada Tribunjateng.com, Senin (21/5/2018).

Pada Pilgub Jateng 2008, golput mencapai 45,25 persen. Amin memaparkan bahwa  angka golput pada pilkada di Jateng ini termasuk cukup tinggi jika dibandingkan dengan golput pada pilkada di provinsi lain yang rata-rata mencapai 30-35 persen.

media.neliti.com
media.neliti.com
Legitimasi Pemilu Demokratis dan Risiko Kala Golput Meningkat

H. Soebagio dalam artikelnya "Implikasi Golongan Putih dalam Perspektif Pembangunan Demokrasi di Indonesia" (https://media.neliti.com/media/publications/4398-ID-implication-of-the-white-group-in-perspective-of-the-democracy-development-in-in.pdf) menyarikan 5 kesimpulan berikut: 

1) Partisipasi politik merupakan salah satu tujuan pembangunan, termasuk pembangunan demokrasi agar sistem politik dapat berjalan secara efektif. 

2) Partisipasi politik juga menjadi indikator utama bagi tingkat keberhasilan penyelenggaraan Pemilu yang demokratis dalam negara demokrasi modern. 

3) Seiring dengan sikap partisipatif pemilih yang menggunakan hak pilihnya, sikap Golput yang tidak partisipatif dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemungutan suara, juga menjadi indikator tingkat keberhasilan Pemilu yang demokratis. 

4) Fenomena golput muncul antara lain karena kekecewaan politik dan sosial ekonomi terhadap hasil Pemilu yang belum mampu mewujudkan perilaku kehidupan politik yang berkualitas dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

5) Golput yang eskalatif dan signifikan secara potensial merupakan ancaman bagi proses demokratisasi, yang jika tidak mampu diatasi
dengan kinerja Pemerintah yang amanah...dapat berimplikasi negatif melumpuhkan demokrasi.

Saya mencoba merangkum ide Soebagio: Tujuan pembangunan demokrasi dicapai saat semakin banyak pemilih menggunakan hak pilihnya (bukan sebaliknya). Semakin banyak orang memilih, semakin baik pula keberhasilan Pemilu yang demokratis; Untuk mengurangi golput para politisi dan parpol harus meningkatkan kinerja agar mampu meyakinkan calon pemilih untuk memberikan suara; Golput yang signifikan dapat melumpuhkan demokrasi.

Nah, menjadi jelas bahwa golput bisa dimengerti sebagai, antara lain, kekecewaan calon pemilih terhadap performa dan janji politisi dan parpol, tetapi sebaiknya tidak menjadi pilihan karena efeknya dapat menghambat majunya demokrasi.

Contoh Referendum yang Lumpuh karena Golput

Membandingkan Pemilu di Indonesia dengan suatu referendum tingkat kota Roma memang aneh. Akan tetapi, saya berpendapat, apa yang terjadi pada referendum kecil di kota Roma dapat menjadi contoh nyata betapa sikap golput dapat melumpuhkan keputusan politik yang penting bagi publik.

Tahun 2018 kota Roma mengadakan referendum tentang transportasi publik. Apakah tetap menggunakan perusahaan yang pelayanannya tidak baik atau tidak. Referendum itu gagal mencapai kuorum 33 persen dari pemegang hak pilih. Hanya 16,4 persen pemegang hak pilih yang "mencoblos".

Akhirnya, Roma gagal menentukan pilihan. Harus diadakan lagi proses politik yang mahal untuk mencapai keputusan yang berdampak besar bagi kesejahteraan masyarakat.

Meski beda "skala", contoh di atas menunjukkan, semakin rendah partisipasi pemilih, semakin turun kredibilitas dan mutu suatu proses demokrasi (baca: Pemilu). Apalagi, Pemilu kita jadi pusat perhatian dunia. Kredibilitas pemimpin negara dan legislatif bisa dipertanyakan bila nantinya partisipasi publik rendah. Karena itu, saya menganjurkan agar golput menjadi pilihan terakhir.

Memilih (Kandidat) Yang Minim Kadar Keburukannya dibanding (Kandidat) Lain

Tilaria Padika dalam artikelnya di Kompasiana (https://www.kompasiana.com/tilariapadika/5b7aeaf2c112fe43d366b293/menebak-arah-falsafah-politik-elektoral-minus-malum-mahfud-md) telah menyitir konsep "minus malum". 

Secara sederhana, "minus malum" adalah prinsip moral di mana dalam dilema ketika harus memilih di antara dua atau lebih pilihan yang secara inheren mengandung keburukan, kita harus memilih pilihan yang paling sedikit mengandung keburukan. 

Aristoteles, filsuf Yunani kuno (Britannica.com)
Aristoteles, filsuf Yunani kuno (Britannica.com)
Prinsip ini subur di kalangan pemikir Katolik. Akan tetapi, sejatinya prinsip "minus malum" berakar pada filsafat Aristoteles (Etika Nikomakhea). jadi, prinsip "minus malum" ini sebenarnya tidak terkait dengan agama atau keyakinan tertentu. Sebagai prinsip etika, ia universal!

Pastor Magnis Suseno SJ dikenal sebagai tokoh yang menggaungkan prinsip minus malum ini di Indonesia. "Prinsip "minus malum" sebagai landasan pemilih dalam demokrasi elektoral sudah populer sejak Pilpres 2014 silam. Saat itu Magnis Suseno yang mengatakannya. Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik melainkan mencegah yang terburuk berkuasa (Tribunnews.com, 05/03/2018). 

Implikasi untuk Pemilu 2019

Dalam setiap Pemilu, sangat langka ada kandidat yang sempurna. Pun dalam Pilpres 2019 ini. Paslon nomor urut 01 dan 02 punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. 

Calon pemilih pun bisa saja suka Capres X, tapi ragu memilih karena ia berduet dengan Cawapres Z. Bisa juga sebaliknya. Bisa jadi Paslon N dan M sama-sama lemah di bidang HAM, tapi toh kadar kelemahan setiap paslon juga berbeda. 

Dalam dilema semacam ini, hendaknya prinsip "minus malum" kita gunakan. Pertimbangkan baik-baik semua kandidat. Kalau memang semua ada kelemahannya, ya pilih yang kelemahannya paling sedikit. Sederhana saja, bukan? 

Memang, golput adalah hak dan memang tak langgar hukum. Akan tetapi, mengapa "harus" golput kalau ada prinsip moral lain yang masih bisa kita terapkan demi kebaikan demokrasi kita? 

Kalau bingung dan ragu, jangan golput. Pilih saja (pasangan) kandidat yang  paling sedikit jeleknya berdasarkan penilaian akal dan hati nurani Anda. Mudah sekali, bukan? -tamat-

http://www.tribunnews.com/regional/2018/05/21/partisipasi-warga-jateng-dalam-memilih-gubernur-cenderung-menurun.
https://nasional.kompas.com/read/2019/01/29/13581761/membaca-makna-golput.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun