Atau mengapa Pemerintah India tidak menutup seluruh pabrik kimia di India setelah kecelakan di pabrik Union Carbide di Bhopal India pada tahun 1982 yang menewaskan lebih dari 4000 orang dan 500,000 orang mati dalam 2 minggu setelahnya.
Artinya bila Pemerintah mempertanyakan keselamatan dan keamanan PLTN sesungguhnya salah fokus dan tidak melihat fakta yang benar tetapi lebih di dorong oleh isu dan tekanan masyarakat yang kurang pengetahuan tentang PLTN. Di tambah Indonesia sudah memiliki Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) yang akan memastikan dan menjamin bahwa PLTN yang di bangun di Indonesia aman dan Selamat.
Lalu yang berikutnya ketika Kita berbicara keselamatan tentunya kita harus juga berbicara tentang teknologi. Karena bertambah maju teknologi maka bertambah tinggi pula tingkat keselamatannya. Sama seperti Mobil yang di buat pada tahun 1970 bila di banding mobil tahun 2000an tingkat keselamatannya berbeda. – Dengan adanya airbag dan seatbelt pada kendaraan saat ini maka ketika anda tabrakan dengan kecepatan tinggi 70% anda akan Selamat tetapi bila anda mengendarai kendaraan tahun 1970 dimana belum ada seatbealt and airbag bisa di pastikan 99% anda akan tewas.
Artinya pertanyaan “Apakah Mobil Aman?” bukanlah pertanyaan yang relevan, kecuali anda bertanya apakah mobil keluaran tahun 70 aman ? baru relavan. Sama dengan PLTN, banyak PLTN yang beoperasi saat ini adalah PLTN generasi II dan III, sementara yang terjadi kecelakaan (Fukushima, Chernobyl dan Three Mile Island) adalah generasi II yang di bangun periode 70 – 80an. PLTN dengan generasi lanjutan III, III+ bahkan Generasi IV yang masih dalam pengembangan meliliki tingkat keamanan jauh lebih tinggi yang di sebut passive safety dimana tidak di butuhkan Listrik dan intervensi manusia untuk mengamankan PLTN tersebut bila terjadi emergency.
Professor Anne Glover, Chief Scientific Advisor kepada Presiden European Union (EU), yang kepakarannya tidak perlu di ragukan lagi dalam presentasinya di berjudul “What is the right balance between respecting evidence and living in the real world?” [2] menjelaskan bahwa ada jenis resiko : 1) Risk Perception dan 2) Risk Evidence adalah 2 jenis ancaman yang berbeda.
Risk Perception adalah ancaman yang hanya di persepsikan sebagai ancaman oleh Publik dan media yang sesungguhnya tidak ada. Risk Perception bisa terjadi karena ketidakpahaman masyarakat atau memang agenda disinformasi oleh kelompok tertentu. Sementara Risk Evidence adalah Ancaman Real yang sesungguhnya yang berdasarkan data dan fakta.
Permasalahan utama menurut Profesor Glover adalah masyarakat saat ini sudah tidak lagi membaca tulisan ilmiah dan lebih percaya kepada apa yang mereka tonton di TV dan baca di media popular yang isinya lebih sering tidak dapat di pertanggung jawabkan – tetapi ironis dari semua ini adalah begitu juga Pemerintah yang sering mengambil keputusan berdasarkan desakan masyarakat yang inputnya dari media tersebut.
Pembahasan yang lebih mendalam tentang Keselamatan PLTN [3], silahkan membaca tulisan saya terdahulu. "keselamatan PLTN : antara Isu dan Fakta"
Emisi CO2 Jerman tertinggi di EU
Salah satu isu yang selalu di pakai untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan non-nuklir, yang popular adalah Surya dan Angin dalam mitigasi perubahan iklim dengan target penurunan emisi CO2. Pertanyaannya sederhana, apakah Jerman berhasil menurunkan emisi CO2nya dengan bauran renewable yang tinggi, hampir 25% ? – Jawabnya tidak siknifikan dengan biaya yang di keluarkan sangat besar. Penurunan gas rumah kaca Jerman sejak 2006 hanya 5% dengan peningkatan bauran renewable yang meningkat 13%.
Bila saja Angin dan Surya dapat bekerja 24 jam, itu adalah sebuah solusi yang sangat ideal. Tapi kenyataannya Angin tidak selalu bertiup dan matahari tidak ada pada malam hari. Hal ini menyebabkan Faktor kapasitas Angin dan Surya sangat rendah di bawah 25% dan tidak dapat di andalkan sebagai sumber energy primer karena sifatnya yang terdifusi atau tidak terkonsentrasi yang istilahnya intermittent.