Mohon tunggu...
Bob S. Effendi
Bob S. Effendi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Konsultan Energi

Konsultan Energi, Pengurus KADIN dan Pokja ESDM KEIN

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Pelajaran dari Kebijakan Hijau Jerman bagi Indonesia

14 Mei 2016   23:45 Diperbarui: 16 Mei 2016   20:58 1085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebijakan Energiewende atau transisi energi ke terbarukan mulai di pertanyakan manfaatnya bagi warga Jerman

Tulisan ini adalah untuk menjawab pertanyaan Menteri Bapennas kepada peserta  FGD tentang Pemanfaatan Tenaga Nuklir pada tanggal 13 Mei 2016. Beliau menanyakan kepada peserta rapat, bila mendukung PLTN maka harus ada  yang dapat menjawab mengapa Jerman mengurangi penggunaan PLTN. Saat itu tidak ada yang angkat tangan kecuali saya dan Markus Wauran, seorang aktifis Nuklir dan mantan anggota DPR/MPR pada Orde Baru.

Saya menjawab bahwa alasannya adalah politik demikian juga Markus Wauran menjawab hal yang sama. Tetapi karena waktu yang tidak mencukupi tidak dapat di jelaskan secara panjang. Itulah sebabnya saya mencoba menulis tulisan ini.

Tentunya saya berharap ada pembaca yang dengan baik hati dapat mengirimkan link tulisan ini kepada Menteri Bapennas sehingga mendapatkan gambaran yang lebih lengkap. – tentunya saya lebih berharap dapat melakukan diskusi dengan kementrian ESDM tentang Jerman dan Perancis.

Makna pertanyaan tentang “Jerman”

Saya yakin pertanyaan “Jerman” ini muncul karena Kementrian ESDM selalu menjadikan Jerman sebagai tolak ukur dan contoh dalam pengelolaan EBT untuk mencapai penurunan emisi CO2.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya mencoba memaknai nalar dibalik pertanyaan “Jerman” tersebut. Kira-kira begini.

  • Indonesia setuju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca bagian dari komitmen Indonesia tentang perubahan iklim yang sejak jaman SBY telah menjadi Perpres dan di perkuat oleh Presiden Jokowi pada COP21 Paris.
  • Untuk itu Indonesia perlu menurunkan penggunaan Fossil dan menggantikan dengan energi baru terbarukan, yang terdiri dari Nuklir dan Non-nuklir.
  • Tetapi melihat kejadian Fukushima, yang mempelihatkan ternyata PLTN tidak aman maka sebaiknya Indonesia menghindari memakai Nuklir. Lihat saja contoh Jerman yang mulai mengurangi PLTN bahkan akan menutup seluruh PLTN paling lama 2022 atau Juga Jepang yang juga sekarang menutup PLTN nya karena tidak aman.
  • Bahkan pembangunan PLTN di dunia sekarang menurun sejak Fukushima

Jadi jelas pertanyaan di balik pertanyaan “Jerman” tersebut adalah  :

  • Apakah PLTN aman ? dan
  • Apakah benar emisi CO2 Jerman berkurang setelah penutupan PLTN dan peningkatan renewable (EBT non-nuklir) ?  


Bila saya dapat bertanya balik kepada ESDM maka saya akan bertanya, “Mengapa Perancis tidak  mengurangi penggunaan Nuklir bahkan meningkatkan pembangunan PLTN ?”  -- seharusnya itu pertanyaan yang cukup fair  di pertanyakan bila Pemerintah menjadikan Jerman tolak ukur.

Saat ini 80% Listrik Perancis berasal dari PLTN dan EBT hanya   hanya 1,3% bandingkan EBT jerman yang 26%. Jelas Perancis sebuah negara yang sama besar, dengan GDP per Kapita hampir sama dengan Jerman tetapi tidak mengikuti jejak langkah Jerman.

Mengapa Jerman vs Mengapa Perancis, Kami akan mencoba membahas kasus kedua negara ini dalam tulisan ini. 

Latar belakang pergerakan Green Movement di Jerman

Sebenarnya gerakan Green Movement berawal dari Gerakan anti-nuklir di jerman yang bukan tentang perubahan iklim ataupun cinta lingkungan. Gerakan ini sudah ada sejak tahun 1960an yang embrionya adalah gerakan anti Amerika, Karena saat itu Nuklir identik dengan Bom dan Amerika dan saat itu sekelompok masyarakat Jerman  masih belum hilang dari ingatan mereka bagaimana dampak kehancuran perang dunia ke II, apalagi kemudian pada awal tahun 60 - 70an di lanjutkan dengan perang dingin antara Soviet – Amerika yang ujungnya adalah perlombaan senjata atom. 

Saat itu televisi sering menayangkan footage peledakan senjata atom adalah upaya dari masing-masihg pihak, NATO dan Soviet untuk memperlihatkan kekuatan bom atomnya yang lebih dahsyat dari sebelumnya sehingga memiliki efek deterent tapi semua itu ternyata berdampak kepada psikologis masyarakat dunia, bukan saja masyarakat dunia tetapi juga ilmuwan.

Karena saat itu Jerman terbagi dua, Jerman Barat dan Timur maka pusat dari Perang Dingin NATO – SOVIET dapat di katakan berada di Jerman maka munculah gerakan anti Bom Nuklir di Jerman Barat yang menjadi gerakan dunia menentang penggunaan dan percobaan bom Nuklir.

Gerakan ini dalam perjalanannnya dari anti Bom-Nuklir pada awal tahun 70’an berubah menjadi Anti-Nuklir sehingga pada saat Jerman membangun PLTN pertama di Whyl, ada sekitar 28,000 orang menduduki lokasi pembangunan PLTN tersebut selama berhari-hari dan terjadi bentrokan dengan Polisi yang akhirnya Pemerintah Jerman membatalkan renacana tersebut pada 21 Maret 1975 yang di jadikan sebagai kemenangan gerakan anti-nuklir Jerman.

Gerakan ini kemudian pada tahun 1980an berubah menjadi sebuah partai politik yang sekarang di sebut Green Party, dan kata-kata “green” saat itu bukanlah berarti penurunan emisi CO2 atau perubahan iklim atau cinta lingkungan tetapi Anti-Nuklir.

The Green Party saat itu tidak tidak pernah mendapatkan kursi di parlemen, tetapi dapat memasukan agendanya melalui   Partai Sosial Demokrat (SPD), The Green Party dapat mendorong masuk agendanya anti-nuklirnya masuk ke menjadi agenda Parlemen, sehingga pada tahun 1998, Parlemen memaksa Pemerintah dan Operator PLTN untuk melimitasi umur PLTN menjadi 32 tahun yang akhirnya  dalam perjalanan atas desakan The Green Party perjanjian pengurangan umur PLTN berubah menjadi pengurangan PLTN sehingga pada tahun 2002 menjadi Undang-Undang yang di sebut Atomgesetz atau pengurangan PLTN sehingga menjadi tutup semua pada tahun 2022 dan mengalihkannya kepada energi terbarukan yang disebut Energiewende (energy transition).

Peluang emas terjadi ketika terjadi kecelakaan Fukushima pada 2011, yang di jadikan bahan propaganda bahaya PLTN, dan di jadikan bagian dari visi/misi partai dalam Kampanye pemilu 2013 sehingga berhasil, memenangkan 8.3% atau 63 kursi dari 630 kursi Parlemen.  Dengan resmi masuknya The Green Party kedalam parlemen sejak 2013 maka agenda Atomgesetz dan program Energiewende secara gencar terus di paksakan walaupun berdampak kepada Anggaran Belanja Negara Jerman yang bocor karena subisidi energy terbarukan yang sudah sangat besar.

Jadi jelas agenda penutupan PLTN di Jerman berlatar belakang bukan karena keinginan penurunan emisi CO2 atau bahaya PLTN tetapi di awali dari Anti Bom Atom Nuklir.

Isu anti-Nuklir sangat terkait dengan isu keamanan dan keselamatan PLTN. Sehingga pertanyaan Apakah PLTN aman menjadi penting untuk di jawab.

Apakah PLTN aman ?

Mari kita lihat angka statistik kecelakaan PLTN yang mengakibatkan kematian di banding jenis pembangkitan lainnya, kita cukup melakukan search dengan kata kunci “death by terra watt hour of energy” maka akan terlihat jelas bahwa PLTN adalah yang teraman dengan tingkat kematian 0,04 per TWh sementara PLTU berada pada 161 kematian per TWh atau dengan kata lain PLTU (batu bara) 4000 kali tidak aman di banding PLTN. Artinya tiap 1 kematian akibat PLTN maka ada 4000 kematian dari PLTU batubara. [1]

death-per-twh-57375638d67e61350b175d89.jpg
death-per-twh-57375638d67e61350b175d89.jpg
Translasi kematian PLTU batubara berkisar antara 100,000 – 170,000 orang per tahun sementara PLTN dalam 30 tahun terakhir kurang dari 30 orang.  Tapi apakah ada yang memberitakan ? Tidak.  Atau apakah ada yang mempertanyakan tingkat keselamatan PLTU batubara, padahal faktanya PLTU batubara paling tidak aman – rasanya tidak juga.

yang ingin lebih detail mengetahui topik ini silahkan baca artikel ini "Death per TWH by Energy Source" dan "Comparing Nuclear Accident Risk With Those from Other Energy Sources"

Mempertanyakan tingkat keamanan dan keselamatan PLTN sesugguhnya seperti pengendara motor yang naik motor ugal-ugalan tanpa helm tetapi ketika naik pesawat ketakutan karena takut jatuh – Faktanya kematian kecelakaan sepeda motor ada setiap jam di seluruh dunia, tetapi tidak menjadikan orang takut naik motor atau tidak menjadikan Pemerintahan dunia melarang sepeda motor yang jelas sangat berbahaya.

Atau mengapa Pemerintah India tidak menutup seluruh pabrik kimia di India setelah kecelakan di pabrik Union Carbide di Bhopal India pada tahun 1982 yang menewaskan lebih dari 4000 orang dan 500,000 orang mati dalam 2 minggu setelahnya.

Artinya bila Pemerintah mempertanyakan keselamatan dan keamanan PLTN sesungguhnya salah fokus dan tidak melihat fakta yang benar tetapi lebih di dorong oleh isu dan tekanan masyarakat yang kurang pengetahuan tentang PLTN. Di tambah Indonesia sudah memiliki Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) yang akan memastikan dan menjamin bahwa PLTN yang di bangun di Indonesia aman dan Selamat.

Lalu yang berikutnya ketika Kita berbicara keselamatan tentunya kita harus juga berbicara tentang teknologi. Karena bertambah maju teknologi maka bertambah tinggi pula tingkat keselamatannya. Sama seperti Mobil yang di buat pada tahun 1970 bila di banding mobil tahun 2000an tingkat keselamatannya berbeda. – Dengan adanya airbag dan seatbelt pada kendaraan saat ini maka ketika anda tabrakan dengan kecepatan tinggi 70% anda akan Selamat tetapi bila anda mengendarai kendaraan tahun 1970 dimana belum ada seatbealt and airbag bisa di pastikan 99% anda akan tewas.

Artinya pertanyaan “Apakah Mobil Aman?” bukanlah pertanyaan yang relevan, kecuali anda bertanya apakah mobil keluaran tahun 70 aman ? baru relavan. Sama dengan PLTN, banyak PLTN yang beoperasi saat ini adalah PLTN generasi II dan III, sementara yang terjadi kecelakaan (Fukushima, Chernobyl dan Three Mile Island) adalah generasi II yang di bangun periode 70 – 80an. PLTN dengan generasi lanjutan III, III+ bahkan Generasi IV yang masih dalam pengembangan meliliki tingkat keamanan jauh lebih tinggi yang di sebut passive safety dimana tidak di butuhkan Listrik dan intervensi manusia untuk mengamankan PLTN tersebut bila terjadi emergency.

Professor Anne Glover, Chief Scientific Advisor kepada Presiden European Union (EU), yang kepakarannya tidak perlu di ragukan lagi dalam presentasinya di berjudul “What is the right balance between respecting evidence and living in the real world?”  [2]  menjelaskan bahwa ada jenis resiko : 1) Risk Perception dan 2) Risk Evidence adalah 2 jenis ancaman yang berbeda.

Risk Perception adalah ancaman yang hanya di persepsikan sebagai ancaman oleh Publik dan media yang sesungguhnya tidak ada. Risk Perception bisa terjadi karena ketidakpahaman masyarakat atau memang agenda disinformasi oleh kelompok tertentu. Sementara Risk Evidence adalah Ancaman Real yang sesungguhnya yang berdasarkan data dan fakta.

risk-evidence-57375659a323bd2f048b45bb.png
risk-evidence-57375659a323bd2f048b45bb.png
Ironisnya banyak Pemerintahan di dunia mengambil berbagai kebijakan yang menghabiskan dana besar bahkan mengorbankan nyawa warganya hanya berdasarkan ancaman persepsi bukan ancaman nyata. – Perhatikan di sebelah kanan antara di tampilkan death per terra watt hour dengan Nuklir terkecil tapi di poros tinggi dalam persepsi “public dread – high” artinya ketakutan public besar – sementara Batubara dan Minyak yang terbesar ada di poros “public dread – low”.

Permasalahan utama menurut Profesor Glover adalah masyarakat saat ini sudah tidak lagi membaca tulisan ilmiah dan lebih percaya kepada apa yang mereka tonton di TV dan baca di media popular yang isinya lebih sering tidak dapat di pertanggung jawabkan – tetapi ironis dari semua ini adalah begitu juga Pemerintah yang sering mengambil keputusan berdasarkan desakan masyarakat yang inputnya dari media tersebut.

Pembahasan yang lebih mendalam tentang Keselamatan PLTN [3], silahkan membaca tulisan saya terdahulu.  "keselamatan PLTN : antara Isu dan Fakta"

Emisi CO2 Jerman tertinggi di EU

Salah satu isu yang selalu di pakai untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan non-nuklir, yang popular adalah Surya dan Angin dalam mitigasi perubahan iklim dengan target penurunan emisi CO2. Pertanyaannya sederhana, apakah Jerman berhasil menurunkan emisi CO2nya dengan bauran renewable yang tinggi, hampir 25% ? – Jawabnya tidak siknifikan dengan biaya yang di keluarkan sangat besar. Penurunan gas rumah kaca Jerman sejak 2006 hanya 5% dengan peningkatan bauran renewable yang meningkat 13%. 

Bila saja Angin dan Surya dapat bekerja 24 jam, itu adalah sebuah solusi yang sangat ideal. Tapi kenyataannya Angin tidak selalu bertiup dan matahari tidak ada pada malam hari. Hal ini menyebabkan Faktor kapasitas Angin dan Surya sangat rendah di bawah 25% dan tidak dapat di andalkan sebagai sumber energy primer karena sifatnya yang terdifusi atau tidak terkonsentrasi yang istilahnya intermittent.

Sementara perusahaan Listrik membutuhkan sumber energy primer yang konstan yang dapat menghasilkan Listrik secara stabil dalam jumlah besar, skala GigaWatt. Saat ini pilihannya adalah Batubara, Hydro dan Nuklir. Dalam skala yang lebih kecil ada Geothermal, Diesel dan Gas Alam.

Problemnya adalah karena rendahnya kapasitas energi intermitten tersebut maka, bila sumber intermitten tersebut tidak menghasilkan listrik untuk mempertahankan jaringan maka  operator harus membackup dengan energy fossil.

Bila komponen intermitten masih dalam jumlah kecil di bawah 5% maka tidak akan menimbulkan masalah bila sumber tersebut tidak di backup tetapi ketika sumber tersebut sudah lebih dari 15% dan tersambung ke grid dan grid kehilangan 15% dari kapasitasnya secara fluktuatif maka ini akan menarik jatuh grid dan membuat keekonomian maupun efisiensi grid yang rendah.

Pada akhirnya bertambah besar komponen Intermitten di masuk dalam grid maka bertambah besar pula backup fossil yang perlu di pasang yang akhirnya menyebabkan emisi CO2 juga menjadi tinggi yang artinya premis awal memasang Angin dan Surya untuk menurunkan CO2 tidak tercapai.

emisi-jerman-5738a1e3e422bd7b05c26ef2.jpg
emisi-jerman-5738a1e3e422bd7b05c26ef2.jpg
data-jerman-57390d79b17e612905357a01.jpg
data-jerman-57390d79b17e612905357a01.jpg
Kita cukup melihat perbandingan antara Jerman dan Peracis yang bertentanggaan dengan GDP per kapita hampir sama. Jerman dengan reneweable yang lebib dari 25% menghasilkan emisi CO2 9.11 ton per kapita jauh lebih tinggi dibanding Perancis yang renewablenya hanya 1,3%  memiliki emisi CO2 5.56 ton per kapita

Perhatikan mengapa emisi CO2 terendah justru bukan pada negara dengan renewable tertingg ( Jerman) justru kebalikannya. Perbedaannya perhatikan bukan di bauran renewable yang mempengaruhi rendahnya CO2 tetapi di porsi Nuklir Perancis yang hampir 80% + Hydro 11% sementara Jerman Nuclear 15%  + 68% batubara – Faktanya emisi CO2 jerman adalah yang tertinggi di EU,  karena butuh batubara untuk backup angin dan surya.

Banyak orang yang tidak paham langsung berpikir bahwa tambah banyak renewable maka bertambah kurang emisi C02. Hal itu hanya benar bila renewable dapat bekerja dengan kapasitas diatas 60% tetapi kenyataan tidak bisa sehingga harus di backup juga dengan fossil sehingga emisi CO2 menjadi tinggi. 

Dari sini gambaran ini saja sudah sangat jelas, Bila targetnya menurunkan emisi CO2 maka bukan meningkatkan renewable sebesar2nya tetapi kurangi batubara ganti dengan  Nuklir + Hydro.

Untuk pembahasan seputar pemasalahan Energi terbarukan [4] yang lebih detail, silahkan baca tulisan saya terdahulu. "Energi Terbarukan dan Permasalahannya"

Kebijakan Hijau hasilkan Krisis Listrik Jerman.

Setelah bertahun-tahun Jerman memberikan subisidi yang besar kepada energy terbarukan melalui program yang di sebut Energiewende dan Atomgesetz, penenutupan PLTN secara bertahap, pertama dalam 40 tahun sejarah Jerman berada dalam krisis Listrik  [5]. Harga Listrik di Jerman saat ini lebih mahal dari rata-rata Listrik di EU bahkan lebih mahal dari Listrik Jepang.   Harga Listrik Jerman $0,35/ KWh di atas rata-rata EU yang  $0,26 dan yang menarik Perancis $0,19/Kwh jauh di bawah rata-rata EU.

eu-electricity-price-573756aa0f97739f0b6bf853.jpg
eu-electricity-price-573756aa0f97739f0b6bf853.jpg
Energiewende di jerman saat inipun bukan lagi menjadi program yang popular, banyak warga Jerman yang mempertanyakan sebenarnya siapa yang dapat manfaat dari program ini. Foto paling atas mengambarkan poster "Energiewende ???" yang di pasang oleh warga  di gedung DPRD kota2 besar di jerman.

Kebijakan Energiewende mengakibatkan kerugian hampir di semua operator PLTU batubara karena mereka berdasarkan UU tersebut di wajibkan membeli Listrik renewable (angin dan surya) dengan harga mahal dan menjualnya dengan harga murah. Salah satu perusahaan energy terbesar di Eropa, E.On tahun 2015 rugi hampir €10 Milyar [6] karena kebijakan tersebut.

"German industry is going to gradually lose its competitiveness if this course isn't reversed soon," kata Kurt Bock, CEO BASF, Pabrik Kimia terbesar di Dunia yang berpusat di Jerman seperti di kutip oleh Wall Street Journal. 

Pendapatan operator PLTU hampir semua turun lebih dari 30% karena harus menjual Listrik “kotor” dengan harga murah tetapi ironisnya selisih harga antara Listrik “bersih” dan “kotor” tidak di nikmati pelanggan karena masyarakat Jerman tetap membayar Listrik yang mahal karena selisih tersebut di nikmati oleh produsen panel surya di China.

The Institute for Energy Research (IER) pada tahun 2014 menerbitkan sebuah study berjudul “Germany’s Green Failure : a Lesson for US Policy Maker” [7] – sebuah study yang di lakukan oleh lembaga penelitian amerika yang di tujukan supaya Pemerintah AS tidak mengikuti jejak Jerman menuju kehancuran ketahanan energy Amerika.

Study tersebut menyimpulkan bahwa :

  • Warga Jerman membayar Listrik rumah tangga 3x lebih mahal di banding Amerika
  • Lebih dari 800,000 warga Jerman di putus listriknya karena tidak mampun membayar tagihan Listrik.
  • Biaya yang harus di bayarkan untuk mengintegrasikan intermittent kedalam jaringan membengkak terus sampai US$ 33,6 Milyar.
  • Biaya Subisidi EBT yang terus membengkak dari tahun 2010 sebesar US$ 9 Milyar menjadi US$16,8 Milyar pada 2014 yang mulai membebani Anggaran Belanja Jerman.

Bila Energiewende tidak menguntungkan warga Jerman, jadi siapa yang di untungkan. Jelas adalah industri panel surya dan turbin angin. Dalam laporan tersebut IER mengutip Ralf Fück, ketua partai Green Party, “In my view, the greatest success of the German energy transition was giving a boost to the Chinese solar panel industry”  (dalam pandangan saya, kesuksesan terbesar dari kebijakan transisi adalah memberikan dorongan kepada industri panel surya di China).

Tariif Listrik yang membengkak bukan saja berdampak kepada warga miskin jerman tetapi juga industri besar yang haus energy seperti pabrik baja. Masih dalam laporan IER membeberkan kasus ThyssenKrupp, pabrik baja terbesar di Jerman yang harus menjual pabriknya di Rhineland kepada perusahaan Finlandia pada tahun 2012, yang juga akhirnya setelah beroperasi selama 1 tahun dibawah management dan owner yang berbeda tidak dapat juga di selamatkan dan akhirnya pabrik yang sudah berumur 110 tahun itu tutup dan 400 karyawan kehilangan pekerjaan.

Sehingga saat ini Industri berat Jerman seperti Baja yang haus Listrik yang selama lebih dari 100 tahun telah menjadikan tulang punggung perekonomian Jerman saat ini pertama dalam sejarah kehilangan daya saing mereka kepada Amerika dan Asia dan ini akibat Energiewende.

Konklusi dari laporan tersebut berbunyi :

Chancellor Merkel’s expanded “energy transformation” plan has had a disastrous impact on Germany. German families are suffering from higher energy bills; Germany’s economic competitiveness has deteriorated. And one of the stated goal of the plan – to reduce greenhouse gas emission – has backfired. The German government’s failed green energy experiment, like America’s, show the limitation of energy central planning. Bureaucrat in Berlin or Washington will never make wiser energy choices than a free market driven price signals. But while Germany has begun to reverse course, the US Government continues to press forward, promoting subsidies and mandates that have failed in Europe and are failing in America. We could do well to learn from Germany’s mistake lest we repeat them.

Dr. Dr. Kurt Gehlert dari University of Bielefeld mengatakan dalam Interviewnya di harian Iserlohner Kreisanzeiger und Zeitung (IKZ) bahwa Energiewende adalah kegagalan terbesar dalam sejarah Jerman.

Jelas tanpa harus di perdebatkan bahwa experiment Jerman yang disebut yang di sebut Energiewende adalah kegagalan total bagi perekonomian Jerman dan Bangsa Jerman hanya kerena dorongan sekelopok orang anti-Nuklir. 

Maka dengan tulisan ini Kami menghimbau janganlah experiment yang gagal lalu di lakukan kembali di Indonesia dan mengorbankan kesejahteraan generasi masa depan. 

Kasus Perancis dan Swiss

Mengapa Perancis dan Swiss ?

Perancis adalah negara yang betetangga dengan Jerman dengan GDP per kapita dan tingkat industrialisasi yang hampir sama begitupun dari sisi geografis yang sama.

Swiss adalah negara dengan GDP perk kapita sangat tinggi, emisi CO2 per kapita terendah untuk negara maju dan index ketahanan energy tertinggi.

Adalah target dari semua perencanaan energy dan cita-cita semua negara untuk memiliki ketahanan energi. Perencanaan ini bertambah sulit ketika ketahanan energi harus di kaitkan juga dengan perubahan iklim artinya – artinya tidak dapat juga karena murah dan banyak, bauran energy semuanya pakai batubara tetapi juga energy harus terjangkau karena bila tidak terjangkau harganya maka tidak akan menjadi driver pembangunan ekonomi negara sehingga semua itu harus ada keseimbangan yang tepat. – dan mencari keseimbangan tersebut bukanlah hal yang mudah.

Badan Energy Dunia, World Energy Council menerbitkan sebuah index ketahanan Energi yang disebut Trilemma Energy Index [8], yang mengukur ketahanan energy berdasarkan 3 komponen utama yaitu :

Setiap negara di berikan ranking dan nilai untuk setiap komponen ES, EE, VS dengan nilai dari A s/d D dimana A nilai tertinggi. Artinya negara dengan Ketahanan Energi tertinggi berarti rangking 1 memiliki nilai AAA, yaitu Switzerland (AAA) dan rangking ke 9 adalah Perancis (AAB) sementara Jerman (BBB) masuk dalam rangking 13.

Tabel di bawah saya buat berdasarkan rangking Trilemma – bauran energy dan kolum terakhir adalah CO2 emission per kapita, yaitu adalah emisi CO2 yang di hitung berdasarkan GDP per kapita dan jumlah penduduk. Artinya negara dengan GDP rendah tentunya akan memiliki CO2 per kapita rendah pula, karena tingkat industrilisasi dan konsumsi energy yang rendah.

Hampir TOP-10 Trilemma Index memiliki GDP per kapita yang hampir sama, yang semua sudah diatas US$ 35,000 per kapita artinya dapat kita perbandingkan.

trilemma-573756fe05b0bd090a2f6e72.jpg
trilemma-573756fe05b0bd090a2f6e72.jpg
Dari tabel tersebut dapat kita tarik kesimpulan sederhana tanpa berpikir
  • Emisi CO2 : Bila menjadikan Jerman sebagai contoh negara dengan emisi per kapita rendah (8,9 ton per kapita) – jelas tidak benar karena Swiss (4,6 ton) dan Perancis (5,2 ton) jauh lebih kecil dari Jerman.
  • Ketahanan Energi : Bila menjadikan jerman sebagai contoh negara yang berhasil memberikan ketahanan Energi jelas Jerman (rangking 13) terbukti gagal, kalah dengan Perancis (rangking 9) dan Swiss (rangking 1).
  • Harga Listrik : Jelas dari bahasan di atas Listrik jerman ($0,35/kwh) termahal di Eropa. Listrik  Swiss ($0,22/Kwh) dan Perancis ($0,19 / kwh) jauh lebih murah dari Jerman.

Pertanyaan saya sederhana, jadi pelajaran apa yang bisa di ambil dari Jerman ?? saya rasa Jawabannya jelas, tidak ada.

Bila Indonesia ingin mengambil pelajaran tentang : 

  1. Ketahanan Energi, 
  2. Pengurangan Emisi CO2 yang efisien dan efektif dan 
  3. Bagaimana melakukan perencanaan energy yang benar sehingga hasilkan tariif Listrik murah bagi masyarakat,

maka belajarlah dari Perancis, karena Jerman adalah guru yang salah untuk itu.

Kasus Jepang paska Fukushima

Sebelum Fukushima terjadi Jepang mengoperasikan 50 PLTN yang memberikan pasokan 27% ( 2010) dari total Listrik di Jepang. Paska Fukushima [9], partai yang berkuasa saat itu DJP, membekukan semua hampir PLTN dan mengatakan bahwa Jepang akan mengganti semua PLTN dengan angin, surya dan memanfaatkan gas untuk Listrik.

japan-energy-mix-573757183cafbd7512cf66cb.png
japan-energy-mix-573757183cafbd7512cf66cb.png
Sehingga pada tahun 2013 PLTN hanya menyumbang sekitar 1% dan terjadi lonjakan bauran gas yang sebelumnya 30% menjadi 43% dan batubara dari 24% ke 30%.  Ternyata tambahan import bahan bakar pengganti Nuklir berupa import gas, batubara dan diesel menjadi $40 milyar/tahun yang mengakibatkan tariff listrik membengkak dan mengakibatkan inflasi karena harga2 naik.

APBN jepang jebol karena subsidi EBT dan import gas yang kelewat besar, rakyat menjerit. Sehigga pada pemilu 2013, DJP di kalahkan oleh LDP yang mengkampanyekan untuk menghidupkan kembali PLTN untuk menekan harga Listrik.

Bahkan di wilayah fukushima pun DJP juga kalah. Pada akhirnya ketika LDP memenangkan pemilu dan kembali berkuasa, PLTN di hidupkan kembali.

Untuk menghidupkan kembali PLTN, regulator Nuklir jepang menerapkan standard yang sangat tinggi bagi operator PLTN Jepang dan dari 48 PLTN yang masih dalam keadaan baik, saat ini hanya baru 3 yang dapat memenuhi persyaratan ketat tersebut dan dapat beroperasi kembali.

Bahkan saat ini Jepang sedang membangun 2 PLTN : Chugoku ABWR 1373 MW yang di harapkan dapat beoperasi tahun ini dan J-Power ABWR 1383 MW akan beroperasi tahun 2022.

Pembangunan PLTN meningkat

Banyak pihak anti Nuklir yang tidak memahami fakta hanya melihat kasus Jerman dan Jepang dengan serta merta mengatakan bahwa bukti dari tidak ada lagi negara di dunia yang akan memakai PLTN adalah pembangunan PLTN yang berkurang, bahkan statemen yang tidak berdasarkan fakta tersebut di muat di sebuah surat kabar nasional – Tetapi faktanya tidak demikian.

iaea-pris-57375728b99373bc117638c4.jpg
iaea-pris-57375728b99373bc117638c4.jpg
Faktanya [10] justru kebalikan, data IAEA PRIS (Power Reactor Information System) menunjukan total kumulatif pembangunan PLTN sejak 2005 sampai Januari 2016 sebesar 37,900 MW sementara total kumulatif yang di tutup sejak 2005 sebesar 8,100 MW. Dari grafis di bawah jelas trennya meningkat. 

Bahkan saat bermuculan yang di sebut New Nuclear Countries, yang memutuskan untuk membangun PLTN tanpa ada persiapan SDM dan infrastruktur lainnya seperti, beberapa negara-negara Arab, UEA, Jordan dan Saudi Arabia. Bahkan 1 dari 4 PLTN 1000 MW pertama di UEA akan beroperasi tahun depan yang di bangun oleh Korea Selatan.  

middle-east-go-nuclear-57375765b47e6198101a36d9.jpg
middle-east-go-nuclear-57375765b47e6198101a36d9.jpg
Negara-negara Arab yang kaya minyak dan tentunya adalah lokasi yang paling cocok untuk PLT Surya tetapi tetap memilih PLTN, jelas terlihat bahwa negara-negara Arab tersebut akan menjadikan Nuklir sebagai sumber energy primer utama mereka yang merupakan sebuah pilihan yang rasional.

Di Asia, Bangladesh yang GDP per Kapita nya jauh di bawah Indonesia juga telah menandatangi kontrak pembangunan PLTN dengan Rusia, Vietnam tahun depan akan memulai kontruksi PLTN pertama mereka.

Negara-negara ini adalah negara yang tidak mempunyai pengalaman Nuklir sama sekali, tidak ada reactor experiment, tidak ada fakultas Nuklir, tidak ada badan pengawas, tidak ada UU Nuklir tetapi mereka memberanikan diri untuk membangun PLTN.

Indonesia yang sudah memiliki semua infrastruktur Nuklir yang di butuhkan, bahkan selama 10 tahun terakhir IAEA sudah menyatakan Indonesia sudah siapa untuk mengoperasikan PLTN tapi kenyataannya sudah 40 tahun masih maju – mundur. 

Dalam kasus Jerman saya yakin pada akhirnya realitas ekonomi, Industri yang sudah babak belur dengan listrik mahal, rakyat miskin menjerit karena di putus listriknya akan menghantam Jerman sebagaimana terjadi dengan kasus Jepang yang akhirnya menghidupkan kembali PLTN nya. - Ini adalah hal yang tidak akan terbantahkan. 

slogan-5738487da7afbd4d09ddc293.jpg
slogan-5738487da7afbd4d09ddc293.jpg

Konklusi

Perencanaan energi haruslah mempertimbangkan ekonomisan, sehingga industri tersebut dapat bersaing bukan mengandalkan subsidi yang akhirnya membebani APBN dan tidak menjadikan kemandirian energi.  Perhitungan keekomisan harus di hitung across the board (termasuk untuk EBT) melalui metode LCOE (levelised cost of energy). 

Secara tegas saya mengatakan bahwa perencanaan energi Indonesia yang di tuangkan dalam RUEN, tidak akan menghasilkan Ketahanan Energi ataupun Kedaulatan Energi sesuai dengan Nawacita. Terbukti dengan Index Ketahanan Energi (Trilemma) yang di ukur oleh World Energy Council dari tahun ke tahun merosot, bahkan posisi Indonesia di bawah Thailand, Malaysia dan Singapore yang tidak memiliki sumber daya energi sebesar Indonesia - jadi ini adalah masalah perencanaan bukan sumberdaya. 

Untuk membaca lebih detail tentang perencanaan energi dapat membaca tulisan saya terdahulu. "Energi Murah vs Energi Bersih"

sebagai penutup mari kita ambil lesson learned dari Jerman dan Perancis maka konklusi sangat sederhana yaitu :

  • Bahwa PLTN adalah pembangkit Listrik TERAMAN di banding jenis pembangkit lainnya.
  • Bahwa PLTN menghasilkan Listrik lebih murah dari renewable tanpa emisi CO2.
  • Bahwa untuk mengurangi emisi CO2 yang paling efektif adalah dengan meningkatkan bauran hydro dan Nuklir bukan renewable (anginn dan surya).
  • Bahwa meningkatkan bauran energi renewable (angin dan surya) hanya membuat tariif Listrik menjadi mahal.
  • Bahwa untuk mencapai Ketahanan Energi dapat di capai dengan Hydro + Nuklir

Terima kasih. semoga tulisan ini dapat menjadi masukan bagi Bangsa dan para pengambil keputusan. 

Links : 

[1]http://www.techrepublic.com/blog/cio-insights/peter-cochranes-blog-explode-those-nuclear-myths/2/

[2] Prof Anne Glover: What is the right balance between respecting evidence and living in the real world?http://www.slideshare.net/Stepscentre/prof-anne-glover

[3] Keselamatan PLTN : antara isu dan fakta |http://www.kompasiana.com/bob911/keselamatan-pltn-antara-isu-dan-fakta_55914d02f492739c1131dc3a

[4] Energi terbarukan dan Permasalahanya |http://www.kompasiana.com/bob911/energi-terbarukan-dan-permasalahannya_559d42dbf69273d30cdb9c08

[5] The German Electricity Crisis : Twice the price but everyone going broke |http://joannenova.com.au/2015/04/thethe-german-electricity-crisis-twice-the-price-but-everyones-going-broke/

[6] Energiewende Shuttering German Power Sector |http://notrickszone.com/2016/03/10/energiewende-shatters-german-power-sector-europes-largest-power-company-e-on-loses-whopping-10-2-billion-euros/#sthash.bwZrb2Ph.I642TYOJ.dpbs

[7] Germany’s Green Failure |http://instituteforenergyresearch.org/wp-content/uploads/2014/04/German-Green-Energy-Study.pdf

[8] 2015 World Energy Trilemma Index | World Energy Councilhttps://www.worldenergy.org/wp-content/uploads/2015/11/20151030-Index-report-PDF.pdf

[9] Nuclear Power in Japan |http://www.world-nuclear.org/information-library/country-profiles/countries-g-n/japan-nuclear-power.aspx

[10]https://nucleareeragione.org/2016/03/04/balance-sheet-of-electricity-generation-capacity-10-years-of-nuclear-power-at-a-glance

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun