Mohon tunggu...
Budhi Masthuri
Budhi Masthuri Mohon Tunggu... Seniman - Cucunya Mbah Dollah

Masih Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ganja, Potensi Bisnis Farmasi dan Hambatan Struktural di Indonesia

29 Juni 2021   09:05 Diperbarui: 29 Juni 2021   09:13 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://farmasetika.com

Pebruari 2017, seorang PNS di Kabupaten Sanggau, Fidelis Ari Sudewarto, ditangkap BNN karena memiliki puluhan batang pohon ganja, digunakan untuk mengobati Istrinya yang sedang sakit. Meskipun demikian, Majelis Hakim PN Sanggau tetap memutusnya bersalah karena terbukti melanggar Pasal 111 dan 116 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan menjatuhi hukuman 8 bulan penjara.

Sebelumnya Istri Fidelis divonis dokter menderita kanker sumsum tulang belakang (syringomyelia), yang menyebabkan rasa nyeri luar biasa. Fidelis mencari informasi obat alternatif, antara lain melalui komunikasi virtual dengan seorang warga Kanada, Christina Evans. Ia memperoleh informasi bahwa syringomyelia dapat dirawat dengan ekstrak ganja. Ironisnya, meskipun untuk tujuan kesehatan dan kemanusiaan tindakan Fidelis dianggap tetap bersalah karena melanggar hukum yang berlaku di Indonesia.

Terjadi pro-kontra, sebagian berpendapat bahwa tindakan Fidelis seharusnya dilihat dengan kacamata tujuan hukum yang lebih luas. Yohan Misero, seorang Analis Kebijakan Narkotika berpandangan bahawa kasus ini tidak sepenuhnya bisa dinilai dari sisi penegakan aturan hukum meskipun Fidelis telah melakukan pelanggaran. Sementara itu Guru Besar Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Prof Dr Zullies Ikawati mencontohkan bahwa di Indonesia morfin (kandungan zat penenang yang antara lain terdapat dalam ganja) sebagai obat di beberapa negara sudah dapat dikonsumsi secara legal dengan resep dokter dan dalam pengawasan ketat, terutama untuk menghilangkan rasa sakit bagi penderit kanker. Akan tetapi tidak demikian dengan Budi Waseso, Kepala BNN ketika itu, dalam berbagai kesempatan menyatakan tidak ada maaf dan pengampunan karena menanam ganja dilarang (www.voaindonesia.com).

Pemanfaatan ganja sebenarnya sudah berlangsung lama. Dalam masyarakat tertentu ganja menjadi bagian dari sejarah kebudayaan, ritual tertentu, herbal dan bahkan bumbu masak. Dunia medis juga mengakui bahwa ganja memiliki zat atau senyawa potensial untuk mengobati penyakit diabetes sampai kanker. Di luar negeri penelitian ganja sebagai obat lebih sering dilakukan, namun peluang penelitian yang sama masiih sulit terjadi di Indonesia. (www.rumahcemara.or.id).

Pada tahun 2020 PBB merekomendasikan kepada WHO untuk bisa meratifikasi ganja sebagai keperluan medis. Meskipun demikian upaya menjadikan ganja sebagai obat dan komoditi dalam bisnis farmasi di Indonesia masih menghadapi penolakan. Struktur hukum dan sosial sangat mempengaruhi pandangan masyarakat dan melandasi kebijakan negara, mengakibatkan pemahaman terhadap kegunaan ganja sebagai obat masih terbatas pada mereka para aktivis kesehatan alternatif yang tergabung dalam kelompok-kelompok pengkaji ganja.

Kasus Fidelis adalah contoh nyata yang dapat menjelaskan kuatnya pengaruh struktur hukum dan soaial tersebut. Tulisan ini mencoba memotret potensi ganja untuk dapat dikembangkan (diversifikasi) menjadi obat dalam bisnis farmasi, serta tantangan bahkan penolakan struktural yang terjadi, menggunakan teori strukturasi Anthony Giddens dan teori hukum dan perubahan sosial Roscou Pound.

 STRUKTURASI HUKUM DAN SOSIAL 

Perubahan sosial tidak pernah berhenti, karena itu masyarakat selalu mengalami perkembangan, meskipun variasinya beragam. Perkembangan tersebut membentuk struktur sosial dan hukum baru, atau mengubah yang sudah ada, demikian seterusnya.

Salah satu rujukan teoritik yang dapat digunakan untuk menjelaskan proses strukturasi hukum dan sosial adalah pemikirian Anthony Giddens dalam buku berjudul  The Constitution of Society. Menurut Giddens, pada praktik sosial sehari-hari, aktivitas setiap subjek selalu melibatkan sebuah proses pengaturan, dan ini memiliki impikasi pada orang lain, termasuk implikasi dari adanya upaya yang memaksa agar orang lain mengikutinya. Tindakan-tindakan subjek tersebut oleh Giddens dibagi kedalam tiga strattifikasi model tindakan yaitu pemantauan reflektif atas tindakan, rasionalisasi tindakan, serta motivasi tindakan.

Giddens memaknai struktur sebagai seperangkat aturan dan sumber daya yang terbentuk dari dan membentuk praktik sosial yang kontinyu. Praktik sosial menurutnya terdiri dari ada tiga model struktur yang dominan, yaitu struktur penandaan/signification, penguasaan/domination, dan pembenaran/legitimation. Struktur ini menyebabkan terjadinya pembatasan atau pengekangan, karena ada dimensi kekuasaan (sanksi normatif) di dalamnya, diperuntukkan kepada individu yang tidak menyetujui. Akan tetapi pembatasan tersebut juga dimaksudkan untuk memberdayakan individu untuk mengelola praktik sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun