Mohon tunggu...
Budhi Masthuri
Budhi Masthuri Mohon Tunggu... Seniman - Cucunya Mbah Dollah

Masih Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Alienasi dalam Secangkir Kopi

15 Oktober 2020   04:24 Diperbarui: 15 Oktober 2020   06:23 1414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warung  Kopi pertama berdiri Tahun 1475, di Konstantinovel (Istambul) Turki. Ketika itu minum kopi menjadi unsur budaya penting di sana, bahkan seorang istri boleh menceraikan suami jika tidak mampu menyediakan kopi (Mustika, 2015).

Di Indonesia sejarah Warung Kopi dimulai pada tahun 1878 ketika Liaw Tek Soen membuka Warung Tinggi Tek Sun Ho di Hayam Wuruk, Jakarta. Menyajikan dua menu terkenal, Kopi Jantan dengan rasa sangat keras untuk meningkatkan vitalitas, dan Kopi Betina yang moderat dan disukai anak muda. 

Selain di Jakarta, jejak sejarah Warung Kopi juga bisa kita temukan di Belitung (1921) ada Warung Kopi Ake, Pematang Siantar (1925) ada Kedai Massa Ko Tong, Bandung  (1930) ada Warung Kopi Purnama, Makassar (1946) ada Warung Kopi Phoenam, dan di Banda Aceh (1974) ada Warung Kopi Solong. Seperti halnya Warung Kopi Tinggi Tek Sun Ho, Warung Kopi Solong inipun masih bertahan dan kini menjadi salah satu wisata kuliner yang wajib kunjung  bagi wisatawan bila ke Banda Aceh (www.coffeeland.co.id).

Tradisi minum kopi awalnya adalah kebiasaan orang  pedesaan  untuk mengiringi  aktivitasnya,  mulai  dari rumah, kebun, pengajian, dan di kedai (Prasojo,  2014). Kebiasaan ini kemudian bergeser di warung kopi, dan menjadi tradisi masyarakat perkotaan. Interaksi sosial antar sesama peminum kopi membentuk relasi sosial (Dea & Indah, 2016). Berbagai tema obrolan mendorong kesadaran kolektif, dan penjual kopi menjadi bagian dari proses interaksi tersebut. 

Basis kesadaran seperti ini selanjutnya menentukan budaya dan pemikiran kolektif (supra struktur),  bahkan berkembang menjadi tindakan konkret (Handerson & Talcot, 1964). Seperti di Tasikmalaya Jawa Barat misalnya, ada Komunitas Tangan Kanan, yang  secara rutin bergerak memberi santunan untuk yatim piatu dan guru, gerakan ini bermula dari obrolan di warung kopi (SKH Radar Tasikmalaya Online). 

Dalam skala lebih besar, sejarawan Prancis, Michelet, dikutip Mark Pendergrast dalam Uncommon Grounds: The History of Coffee and How it Transformed Our World, bahkan menggambarkan bagaimana diskusi di warung-warung kopi saat itu terakumulasi menjadi gerakan sosial yang berujung pada Revolusi Prancis (Makki, 2011). 

Seiring jalannya waktu, warung kopi bermetamorfosa, sebutlah misalnya Starbucks yang fenomenal pada 1971. Di Indonesia, warung-warung kopi modern berbentuk cafe, coffeeshop, dll juga tumbuh subur, menawarkan kenyamanan untuk memanjakan pelanggannya.  Kemudian internet mulai masuk dan menjadi menu wajib yang disediakan, ini menandai era baru yang mengalienasi.

Penelitian Sally dan Firdaus menemukan bahwa kini warung kopi telah menjadi tempat mencari akses wifi, berinteraksi antar individu, serta alternatif lain sebagai tempat hiburan masyarakat. Pengunjung yang dahulu aktif ngobrol berbagai isue sosial, kini sibuk main game, browsing, atau berjejaring sosial instagram, facebook, twitter, youtube, dan skypee, menghabiskan waktu tanpa tujuan yang jelas (Sally & Firdaus, 2018). 

Penelitian lainnya, Irwanti Said juga menemukan bahwa warung kopi telah menjadi tempat kerja/kantor (Irwanti,2017). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika belakangan ini pemandangan di warung kopi lebih banyak memperlihatkan orang-orang  yang diam terpaku menatap android atau laptop, sibuk dengan dunia mereka sendiri.

Internet seakan telah mengubah segalanya, tanpa terkecuali warung kopi. Internet juga menjadi penyangga industri 4.0, menggeser fungsi warung kopi sebagai media interaksi sosial menjadi semata-mata tempat penjualan kopi. Interaksi di dalamnya berubah menjadi hubungan kontraktual yang kering antara penjual dengan pembeli kopi.

Industri 4.0 memang menawarkan berbagai kemudahan dan optimalisasi proses akumulasi kapital. Untuk membuka warung kopi tidak perlu lagi menyediakan tempat luas, cukup kios kecil, bisa juga booth, atau bahkan dapur rumah sendiri (ghost resto). Selanjutnya tinggal mendaftar sebagai mitra startup penyedia jasa aplikasi penjualan digital. Kemasan kemitraan ini menjanjikan peluang  keuntungan berlipat meskipun modalnya minim. Startup menyediakan jasa pesan dan kirim makanan yang menghubungkan antara warung kopi-konsumen dengan sistem bagi hasil rata-rata 80% untuk warung kopi, dan 20% untuk penyedia jasa.

Dalam keadaan seperti itu, selain tidak sepenuhnya bisa menikmati nilai lebih dari produknya, penjual kopi juga mengalami proses alienasi atau keterasingan. Secara teoritik konsep keterasingan bisa mulai dari terasing dari hasil kerja, dari pasar produksi, dan bahkan terasing dari kemanusiaan (dehumanisasi), termasuk  antar sesama pekerja (Marcello, 2018).

Skema kontraktual tersebut pada dasarnya menempatkan penjual kopi sebagai pekerja dari, dan tergantung dengan sebuah sistem pemasaran digital berbasis aplikasi milik startup. Hubungan kerja yang dikemas secara ilutif sebagai kemitraan menjadikan penjual kopi kehilangan kuasa untuk menjual kopi hasil racikannya sendiri. Pemasaran sepenuhnya dikendalikan secara digital untuk menjaring pembeli melalui sistem algoritma tertentu. 

Dari situ proses akumulasi niai lebih 20% harga dari bagi hasil terus mengalir ke pundi-pundi pemilik aplikasi. Pada akhirnya penjual kopi tidak sepenuhnya menikmati nilai lebih dari produknya sendiri karena tidak bisa menjual dengan 100% harga.

Eksploitasi digital yang dialami menjadikan pekerjaan meracik kopi hanyalah rutinitas. Padahal bagi seorang penjual kopi, racikan kopi adalah juga sebuah karya cipta yang bisa membuat dirinya merasa lebih bermakna ketika manfaat nikmatnya mampu mambahagiakan orang lain yang meminumnya. 

Proses ekspolitasi melalui pemasaran digital ini telah menghilangkan makna pekerjaan meracik kopi menjadi rutinitas sepi dalam kios-kios kecil, booth, bahkan dapur rumah sendiri. Demikian juga interaksi sosial hanya sebatas kata-kata pada gawai di genggaman yang telah memerangkapnya  dalam keterasingan dari hasil kerjanya sendiri. 

Melalui model pemasaran digital, penjual kopi memang masih terlibat dalam proses produksi dalam meracik minuman kopi, tetapi ia nyaris tidak terlibat, bahkan terasing dari proses pemasaran kopi yang diproduksinya, karena hal ini dikendalikan startup melalui aplikasi.

Pemasaran digital melalui aplikasi ini tidak hanya mencabut kuasa penjual kopi atas pemasaran produk karyanya, tetapi juga mengubah bentuk interaksi sosial secara digital di dalamnya menjadi interaksi yang semu. Selain itu sebagai makhluk sosial, penjual kopi juga terasingkan dari sisi kemanusiaannya. Perbincangan dan interaksi sosial antara penjual dengan pembeli tereduksi menjadi sebatas hubungan maya dalam sebuah proses transaksional menjual dan membeli.

Di tengah maraknya warung kopi digital, saat ini memang masih ada warung kopi yang mempertahankan model konvensional sebagai tempat nongkrong, ngobrol untuk membangun interaksi sosial. Sayangnya proses alienasi dan dehumanisasi tidak hanya mengancam penjual kopi, tetapi juga pembeli kopi, seperti terungkap dalam penelitian yang dilakukan Sally & Firdaus dan Irwanti Said. 

Pada masa akan datang, kita akan semakin sulit menemukan proses interaksi dan relasi sosial yang solid membentuk basis aksi dari warung kopi, karena kebutuhan komunikasi dan ekspresi sudah tergantikan oleh gawai dalam genggaman masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun