Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Penulis

Menjadi penulis adalah menjadi saksi: terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, dan terhadap sejarah yang terus bergerak.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Secangkir Kopi Hangat dan Menulis Kembali di Kompasiana

5 Juni 2025   06:53 Diperbarui: 5 Juni 2025   06:53 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi secangkir kopi hangat dan tablet buat menulis (Dokumen pribadi)

Ada yang selalu terasa akrab saat kembali membuka laman kompasiana, aroma nostalgia. Bukan aroma digital atau algoritma, melainkan sensasi seperti membuka buku harian lama, dimana huruf-huruf adalah cermin perasaan, dan kata-kata adalah rekam jejak pikiran.

Lebih dari itu, menulis di kompasiana seperti menyeruput secangkir kopi hangat di pagi yang sepi—pelan-pelan, sambil merenung, kadang getir, kadang manis, tapi selalu memberi rasa yang khas.

Biasa saya menulis 1-2 artikel setiap hari, tiba-tiba berhenti sebulan lebih menulis di Kompasiana. Namun, bukan berhenti sama sekali menulis. Saya tetap menulis di media sosial yang saya miliki. Dan tengah menyusun tulisan sebuah buku.

Juga membaca buku-buku tulisan orang lain, baik kumpulan cerpen ataupun novel. Seorang penulis bukan hanya menulis, tapi perlu juga membaca tulisan orang lain.

***

Setelah sekian lama vakum, saya memutuskan untuk kembali menulis di bulan juni ini. Bukan karena ingin viral, bukan pula karena mengejar pembaca ribuan, tapi karena ada kerinduan yang sulit dijelaskan.

Rindu akan proses berpikir yang mendalam, rindu akan percakapan dalam sunyi antara penulis dan dirinya sendiri. Dan Kompasiana, dengan segala kesederhanaannya, adalah ruang yang selalu terbuka untuk itu.

Menulis Bukan Soal Kata, Tapi Rasa

Menulis bukan hanya merangkai kalimat. Ia adalah laku jiwa. Di tengah derasnya informasi, banyak dari kita terjebak dalam pola berpikir instan: cepat baca, cepat lupa. 

Tapi ketika menulis, kita dipaksa melambat. Duduk sejenak, membuka ruang kontemplasi. Apa yang benar-benar ingin saya sampaikan? Mengapa ini penting untuk saya tulis?

Dan seperti halnya menyeruput kopi hangat, proses itu tidak bisa dipercepat. Tak ada kopi enak yang diseduh tergesa-gesa. Begitu pula tulisan yang jujur, tidak lahir dari kejaran trending atau rating, tapi dari ruang batin yang sunyi dan jernih.

Kompasiana: Rumah untuk Pikiran yang Bebas

Di luar sana, platform media sosial ramai, bising, dan seringkali melelahkan. Kita berlomba membuat konten, mengedit, menyunting, mengatur algoritma. Tapi Kompasiana seperti rumah tua yang tidak pernah berubah. 

Ada kebebeasan di sana—bukan kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab, tapi kebebasan yang penuh kesabaran. Di Kompasiana, kita bisa menulis tentang pendidikan, tentang kebijakan, tentang harapan, atau bahkan tentang patah hati.

Tak ada editor yang membatasi, hanya komunitas yang merespons. Dan itulah kekuatannya: tulisan-tulisan kita diuji bukan oleh rating, tapi oleh dialog.

Kita tidak sekadar menulis untuk dibaca, tapi juga untuk membuka ruang diskusi. Menulis menjadi sarana berbagai perspektif, menyampaikan keresahan, menyulam ide, dan tak jarang menjadi sarana penyembuhan diri.

Menulis Kembali: Sebuah Tindakan Melawan Lupa

Kembali menulis di Kompasiana bagi saya adalah tindakan melawan lupa. Lupa akan kebiasaan baik untuk merenung. Lupa akan pentingnya menyeruakan pikiran di ruang publik yang sehat.

Lupa bahwa kita pernah punya mimpi menjadi penulis yang mempengaruhi bukan karena popularitas, tetapi karena kedalaman. Kini, saat pagi belum benar-benar terang, dan kopi di cangkir mulai menghangatkan tangan, saya membuka laptop, mengetik perlahan. 

Bukan untuk mengejar siapa-siapa, tapi untuk menemukan kembali diri sendiri yang pernah hilang di antara kesibukan kerja dan rutinitas yang membius. Menulis kembali di Kompasiana seperti pulang ke diri sendiri.

Ayo Menulis Lagi, Kawan

Saya percaya, di luar sana banyak orang yang sebenarnya ingin menulis. Menulis bukan hanya karena ingin menang lomba, menulis hanya karena ada proyek mengejar target tertentu. 

Menulis karena punya cerita, punya keberanian yang tinggal disentuh sedikit untuk lahir dalam bentuk tulisan. Tapi seringkali terhambat oleh rasa ragu: apakah tulisan saya layak? Apakah ada yang akan membaca?

Saya hanya ingin bilang, menulislah dulu. Tak perlu sempurna. Dunia ini sudah penuh dengan hal-hal artifisial, tapi selalu kekurangan kejujuran. Tulisan yang jujur akan selalu menemukan jalannya sendiri. Dan Kompasiana adalah tempat yang hangat untuk itu.

Seperti secangkir kopi yang tak pernah memaksa kita untuk menyesapnya cepat-cepat, kompasiana juga tidak menuntut kita menulis setiap hari. Tapi ia akan selalu ada, menanti kita kembali, kapan pun kita siap.

Jadi, mari kita buka kembali jendela imajinasi, duduk sejenak, dan mulai menulis. Karena di balik setiap paragraf yang kita susun, ada harapan untuk dunia yang lebih sadar, lebih peduli, dan lebih manusiawi.

Dan tentu saja, tak ada lebih nikmat daripada menulis sambil menyeruput secangkir kopi hangat. (*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun