Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Telepon Umum

12 April 2024   11:51 Diperbarui: 12 April 2024   17:00 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi telepon umum diolah menggunakan Ai Bing | Dokumen Pribadi

Di ujung Perumahan Edelweis, masih berdiri sebuah telepon umum. Dulu, Aku biasa menggunakannya. Bila minggu pagi,  Aku bersepeda poligon mendatangi telpon umum tersebut. Dengan membawa puluhan uang koin ratusan. 

Namun semenjak telepon genggam banyak digunakan, telepon umum itu tak pernah lagi ada yang menggunakan. Debu dan sarang laba-laba memenuhi dinding bilik. Semua bagian telepon umum masih lengkap, hanya saja telepon umum berwarna biru tua itu, catnya sudah mengelupas disana-sini.

"Aku jadi penasaran, masih berfungsi gak ya, telepon umum itu?." bisikku dihati.

Aku biasa menelpon teman yang dirumahnya terpasang pesawat telepon. Bisa juga menelpon teman kuliah yang tinggal di Asrama Mahasiswa. Di Asrama disediakan telepon oleh kampus, untuk mahasiswa berdiam disana menelepon keluarganya di kampung.

Mereka menelpon, keluarga atau kenalan  yang tinggal di Ibukota Kabupaten, dan bertitip pesan untuk disampaikan ke orang tua di kampung. Berkirim kabar, minta dikirimkan uang untuk bayar SPP atau uang belanja sudah habis. 

*


Satu koin bisa berbicara satu menit. Kalau ingin lama, tentu membawa koin yang banyak. Setiap Aku menelpon, paling tidak menghabiskan 30 koin. Kalau sepi. Kalau lagi ramai yang ingin menelpon, paling cuman habis lima koin, karena harus bergantian.

Baca juga: Penyair Tua

" Dik Lince, bolehkah malam ini aku kerumah?."

"Duh Kak, kalau malam ini aku tidak bisa, tante mengajak aku kegiatan Ibadah malam bersama, ditempat tante novel, keluarga tanteku." jawab Lince di ujung telepon.

"Selamat Ulang tahun ya, Aku mau kerumah mau mengasihkan kado ulang tahunmu, sekalian juga jalan-jalan."

"Terimakasih Kak, atas ucapannya. Aduh repot-repot. Maap ya kak, gak bisa ketemu malam ini. Ketemu di kampus aja deh, di hari senin."

"Oke deh, kalau begitu. Selamat sore dik!."

"Selamat sore juga Kak." Tutup Lince, setelah membalas salamku.

Seperti debu yang terbangun oleh angin, kenangan akan percakapan lama itu kembali berputar dalam pikiran, mengisi setiap sudut dengan bisikan 30 tahun yang lampau.

**

Aku memasuki bilik telepon umum tersebut. Warga perumahan membiarkan telepon umum itu tetap ada, menjadi barang antik. Banyak kenangan di telepon umum yang ada di ujung perumahan ini.

Aku merogoh saku, mencari uang logam. Dulu biasa pakai uang seratusan, benggol. Sekarang, ukuran uang koin lebih kecil. Bernilai seratus, dua ratus dan lima ratus rupiah.

"Apa bisa, pakai uang koin yang ukurannya lebih kecil?." Aku bertanya diri sendiri.

"Dicoba dululah, siapa tahu mau ya, kan?." Telepon umum, tampak tua dan usang, namun berfungsi dengan baik. Aku mengeluarkan beberapa koin dari saku, dan memasukkannya ke dalam slot telepon.

Aku menekan tombol angka acak, dan setelah beberapa nada tunggu, seseorang mengangkat. Aku jadi terkaget. 

"Selamat siang, dengan siapa saya berbicara?" tanya suara diujung sana.

Aku terdiam sejenak. Lalu menjawab, "Oh maaf, saya hanya mencoba telepon umum ini. Saya tidak menyangka ada yang mengankat."

Suara di ujung sana tertawa. "Tidak apa-apa. Ini memang jarang terjadi. Orang-orang sekarang lebih suka menggunakan ponsel mereka."

Aku berbicara dan tertawa bersama, dengan orang tak kukenal diujung telepon. Aku merasa ada koneksi yang aneh dan tak biasa dengan telepon umum tua ini. 

***

Sesampai dirumah, aku buru-buru membongkar lemari buku yang menyimpan buku-buku masa aku sekolah dan kuliah. Aku mencari buku diary, yang didalamnya menyimpan alamat rumah dan nomor telepon teman lama.

Aku mencari nomor telepon rumah tante Lince, tempat dia tinggal selama kuliah di kotaku. Aku ingin mencoba nomor telepon rumah tersebut, apakah masih aktif. Dan bertanya dengan orang dirumah tersebut, nomor ponsel lince sekarang.

"Nah, ini nomor teleponnya!." Aku menemukan buku diary yang kucari. Halaman buku juga setengah berwarna kuning dan sedikit dimakan rayap. Kucatat nomor telepon Lince, adik kelasku waktu kuliah 30 tahun yang lalu.

Pagi hari, sekitar setengah sembilan, aku bergegas menuju telepon umum yang berada diujung perumahan Edelweis. Aku juga menyiapkan puluhan uang koin, yang kutukar di paklek pentol, sebelum berangkat.

****

Aku mulai menekan angka-angka ditelepon umum. Memang berfungsi baik, terdengar bunyi tat-tut-tat-tut,ketika ditekan tombolnya sesuai angka nomor telepon rumah Lince.

Sesaat terdengar, nada sambung terasa jauh. Kemudian terdengar, tut-tut-tut, pesawat telepon rumah yang dihubungi, sibuk. Aku diam sesaat, kembali mencoba memasukkan uang koin dislot telepon umum.

"Halo, selamat pagi, dari siapa?." Jawaban dari ujung telepon.
" Selamat pagi, dari temannya Lince, bu, Lincenya ada?."
" Teman dari mana ya?, biar saya sampaikan. Tunggu sebentar."
" Teman Kuliahnya bu, ada sedikit keperluan bu." Jawabku.

Aku menyebutkan nama, dan alasan menelepon Lince. Selintas, terdengar suara yang biasa aku dengar 30 tahun yang lalu. Aku malah menjadi bingung sendiri. Kejadian apa ini?.

" Ini Lince ya?, ee, apa kabarnya?." tanyaku sedikit gugup.

"Kabar baik, Kak. Ada yang bisa dibantu Kak?."

"Eehhmm, kamu sekarang ada di mana?." tanyaku lagi.

Dia tertawa kecil. Sesaat menjawab pertanyaanku yang didengarnya terasa aneh. " Ditempat tantelah Kak?, dimana lagi?. ". 

Jawaban itu tambah membuatku bingung. Ditambah jawaban selama ditelpon, yang dibicarakan seputar kuliah. Kegiatan Ospek (orientasi pengenalan kampus) Mahasiswa baru yang baru selesai kemaren. 

" Lah bukankah ini sudah 30 tahun yang lalu, Ospeknya?. Aku dan semua mahasiswa sekolah guru seangkatan, atau angkatan Lince sendiri sudah menjadi guru semua?." Pertanyaan itu tidak ada yang bisa menjawab. 

Aku terdiam sendiri didepan telepon umum diujung perumahan Edelweis. Telepon umum ini, "agak laen". Aku tetap penasaran. Pembicaraan ditelepon umum tersebut, seakan, aku sedang berada di tahun 1994, saat aku masih kuliah. 

*****

"Ah, ini serasa tidak masuk akal." pikirku sambil meninggalkan telepon umum tua, dipinggiran perumahan Edelweis. Aku melanjutkan perjalanan ke kota. Ingin memastikan rumah Lince tinggal, selama kuliah di kotaku. Letaknya di dalam sebuah jalan yang cukup luas, yang bercabang, dan tembus kemana-mana.

Rumah tante Lince, terletak paling ujung jalan. Walaupun lama tidak lewat jalan tersebut, tetapi, Aku tetap ingat. Karena jalan menuju rumah tante Lince, tempat dia tinggal, buntu. 

Saat, aku tiba disana, rumah tempat lince tinggal selama kuliah tersebut, hanyalah hamparan tanah kosong. Ada bekas kayu, dan bahan bangunan yang telah lama dibongkar. 

"Pak, rumah yang dulu berdiri disini, kemana ya, pemiliknya?." Aku bertanya dengan tetangga rumah yang berada persis disamping tanah kosong tersebut.

"Oh, sudah lama mas, pemiliknya pindah, semenjak suaminya Ibu yang tinggal disini meninggal dunia." jelasnya.

Aku hanya terdiam, setelah itu berpamitan, dan kembali pulang ke rumah. Sepanjang jalan, aku berpikir, padahal baru saja menelpon, melalui telepon tua di ujung perumahan edelweis. 

Yang membuatku tambah terkejut, dan tidak bisa menerima apa yang telah terjadi. Aku mencoba menghubungi seorang teman semasa kuliah, yang bertugas di kampung Lince di daerah utara, provinsi Kalimantan Timur.

Ternyata Lince juga sudah meninggal dunia, beberapa bulan yang lalu. Mobil yang dinaikinya, sepulang berziarah ke makam orang tuanya di kota B, tertimpa pohon tua yang berada dipinggir jalan raya.

Saat itu hujan deras berpetir. Pohon tua itu rebah, tersambar petir, dan terjatuh persis diatas atap mobil. Dan Lince yang berada di dalamnya, meninggal sesaat, sebelum sampai ke rumah sakit.

Ketika ditelepon umum di ujung perumahan Edelweis, suara Lince terdengar seperti biasa,  saat aku meneleponnya melalui telepon umum di tahun 1994, tiga puluh tahun yang lalu. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun