Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menjamurnya Kelas Menulis, Hanyalah Trik Dagang Menjual Buku?

28 Januari 2023   14:25 Diperbarui: 28 Januari 2023   14:28 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan In House Training di KKG sekolah | Dokumen Pribadi : Riduannor/Istimewa

Dalam kurun satu tahun terakhir tawaran bimbingan menulis, workshop menulis, makin gencar diiklankan. Berkembang seperti layaknya jamur di musim hujan. Bisa melalui whatsAap, facebook, dan media sosial lainnya. Sejalan dengan minat dan kemauan para guru membuat buku ber-ISBN. 

Beberapa kali penulis mendapatkan link penerbit buku yang meminta bergabung dan mengajak menulis sebuah buku. Ada yang membuka kelas menulis buku pelajaran, buku lembar kerja siswa (LKS), ataupun buku antologi puisi. Satu buku ditulis secara keroyokan yang diikuti oleh seluruh peserta yang mengikuti kelas menulis.

Ajakan Menulis buku Ber-ISBN

Apa itu buku ber-ISBN?.  ISBN merupakan kode unik yang diberikan untuk mengidentifikasi sebuah buku. Dengan ISBN sebuah buku diberikan kode pengenalan unik yang secara standar di seluruh dunia terdiri 13 digit pada setiap buku yang diterbitkan.

Selain itu buku ber-ISBN menunjukkan bahwa buku tersebut terdaftar secara resni di perpustakaan Nasional. Dan untuk mendapatkan ISBN bagi penerbit buku Indonesia tidaklah mudah. Ada beberapa syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh penerbit buku. 

ISBN pada buku memuat informasi judul, penerbit, dan kelompok penerbit sudah tercakup di ISBN. Saat ini untuk mendapatkan ISBN hanya diberikan kepada penerbit. Sedangkan perorangan yaitu penulis buku belum bisa diberikan. 

Para penulis untuk bisa menerbitkan bukunya ber-ISBN haruslah melalui penerbit buku. Dan saat ini kebanyakan penerbit buku, mengajak para penulis pemula dan ingin menulis mengikuti kelas-kelas menulis yang diadakan penerbit itu sendiri.

Mutualisme Penulis dan Penerbit Buku

Berbagai buku novel yang telah terbit | Dokumen pribadi : Riduannor/Istimewa
Berbagai buku novel yang telah terbit | Dokumen pribadi : Riduannor/Istimewa

Ajakan bergabung menjadi penulis sebuah buku oleh penerbit, saya ikuti. Saya ingin tahu, apa saja kegiatan yang dilakukan dan tahapan menulis buku tersebut. 

Buku yang ditulis katagori "antologi." Buku antologi merupakan penulisan buku secara keroyokon atau menulis buku bareng. Bahkan penulis buku antologi tersebut ditargetkan mencapai 100 penulis.

Saya ikut saja dalam group penulisan buku tersebut. Tapi tidak ikut menuliskan sebuah tulisan yang diminta berbentuk essai, dengan ketentuan yang diinginkan penerbit buku.

Rasanya, kalau hanya menulis cukuplah di Kompasiana. Lain halnya kalau tulisan itu menjadi sebuah buku. Hanya saja menulis buku antologi dengan jumlah penulis sampai ratusan saya kurang tertarik. 

***

Dalam 1-2 Dekade penulisan buku sudah mengalami pergeseran. Dulu, seorang menulis bisa mendapatkan royalti yang lumayan. Bisa puluhan sampai ratusan juta. Tapi sekarang menulis buku jangan berharap terlalu banyak dari royalti.

Dari segi Mutualisme penulis dan penerbit buku sama-sama mendapatkan keuntungan. Bahkan menulis bisa dikatakan jadi penghasilan tambahan bahkan utama bagi seseorang yang menekuni dunia menulis.

Lambat laun, seiring kemajuan dunia digital yang berkembang sangat pesat media cetak berupa buku, majalah, koran mulai ditinggalkan. Dari analisa dan pengamatan, saya sudah banyak penerbit terkenal yang tidak mencetak buku lagi. Atau penerbitannya sudah tutup. Dan beralih ke media digital untuk menjual buku-buku yang pernah diterbitkan.

Cara penerbit bertahan di era Digital

Banyak cara yang dilakukan penerbit buku untuk bertahan. Salah satunya dengan berinovasi, supaya tetap bertahan dengan cara mengadakan bimbingan teknis (Bimtek), In House Training (IHT), workshop, ataupun Kelas menulis dengan rentang waktu tertentu.

Menulispun sekarang bukan ingin mencari penghasilan tambahan atau utama. Tapi bergeser menjadi hobi dan publikasi diri untuk keperluan kenaikan pangkat bagi guru dengan cara menulis buku secara keroyokan. 

Bahkan satu penerbit mayor mengadakan bimbingan menulis sebuah buku yang diterbitkan ber-ISBN dengan syarat mengikuti kelas membeli dua buku dari penerbit tersebut.

Jadilah bagi penerbit, sambil menyelam minum air. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Selain mendapatkan keuntungan dari menyelenggarakan kelas menulis dengan membayar HTM kegiatan sejumlah nominal tertentu. Dan peserta diwajibkan membeli dua buah buku dari penerbit mayor yang mengadakan workshop, dan kelas menulis.

Lalu penulis dapat apa?. Dari banyaknya penulis yang tergabung dari kelas menulis. Misalnya 100 peserta untuk menulis satu buku antologi. Dari royalti 10 persen yang didapatkan dari penjualan buku tersebut tidaklah seberapa. Ia kalau Best Seller, kalau tidak?. Tak sepeserpun royalti didapatkan.

***

Kata Pak Suprihadi dalam tulisannya di Kompasiana jangan cari uang di Kompasiana. Menulis ya menulis saja. Jadikan menulis sebagai hobi yang bisa dinikmati secara gratis oleh pembacanya. Dan bila menulis karena hanya semata-mata cari uang (Gopay), itu adalah suatu kesalahan besar!. Kata beliau dengan tanda seru.

Saya termasuk orang yang menulis hanya sekedar menikmati hobi. Banyak tawaran kelas menulis. Mengajarkan tips dan trik serta kiat-kiat menulis, justru membuat saya tidak bisa menulis. Kok Bisa?.

Sedari dulu, saya membeli buku yang mengajarkan cara menulis dengan judul-judul yang dasyat. Ini Kiat menulis satu hari bisa membuat buku. Mengarang itu mudah. Dan berbagai buku-buku lainnya. Satupun tidak ada yang membuat saya bisa menulis satu artikel, cerpen ataupun puisi.

Di kiat dan trik menulis, telah membatasi saya menulis dengan berbagai aturan, teknik, bahkan harus menggunakan ejaan yang disempurnaan (EYD). Sebegitu ribetnya kah baru bisa menulis?.

Jujur, lewat Kompasianalah saya bisa menulis. Menulis artikel, cerpen, puisi. Dan berbagai katagori tulisan dan warnanya. Belum ada sebuah penerbit yang bisa menggoda saya untuk mengikuti kelas menulis. Mungkin bila penerbit itu dengan iklas mengajarkan saya menulis baru bisa. Tanpa embel-embel membeli buku dulu, ataupun HTM dengan nominal tertentu. 

Maunya, dasar maunya yang gretongan aja!. Kata seorang guru, teman saya disekolah. Ia selalu berbahasa menyalahi pakem dan bahasa Indonesia yang benar. 

Bagaiamana menurut teman, sahabat, dan pembaca Kompasianer, apa benar asumsi menjamurnya kelas menulis, hanyalah trik menjual buku?. Silahkan pembaca budiman memberikan penilaian dan komentar dibawah artikel ini. Selamat (menjadi) penulis. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun