Sampai di rumah ayah dan keluarga bibiku sudah menunggu. Kami pun melakukan tradisi ujung lagi, dengan ayah dan keluarga bibi. Sebenarnya ayahku di rumah cuma sendiri sepeninggal ibuku Agustus lalu, namun rupanya bibiku tidak tega sehingga awal lebaran berkunjung ke rumah pagi-pagi hingga kami anak-anak datang ke rumah. Merih sekali di rumahku. Nampak rasa sedikit bahagia di wajah ayah. Meski hati kami oasti sedih, karena kami tak lengkap lagi seperti lebaran sebelumnya.Â
   Setelah semua selesai, saya dan adik berserta keluarga pergi ke makam. Bibi dan keluarga pulang ke rumah masing-masing. Ayah menunggu rumah, barangkali ada tamu.Â
    Setibanya di makam, ternyata sudah ada taburan bunga di pusara simbok dan kakakku. Mungkin sepupuku yang melakukan itu. Ami pun berdoa dan tahlil di pusara ibu dan kakak. Mataku berlinangan, sedih rasanya. Sebentar-sebentar kuusap  air mataku, karena takut jatuh di pusara ibuku. Saya tahu, menangis di makam itu dilarang, namun bagaimana lagi, air mataku tak bisa dibendung.  Setelah usai, kami pulang. Kemudian berkunjung ke rumah sanak saudara.Â
   Lebaran tahun ini, sama seperti tahun tahun-tahun sebelumnya, tidak semeriah waktu dulu. Sudah beberapa tahun ini, ada kebijakan ikrar syawalan di masjid, sehingga saling berkunjung ke rumah tetangga hampir tidak ada lagi. Susasana lebaran jadi sepi, tiap melewati rumah nampak terbuka pintunya namun tak ada yang datang silaturahmi. Tradisi lebaran kini sudah berubah. Mungkin suatu saat nanti, anak keturunan kita tidak tahu sanak familinya yang tinggal di kampung, tidak kenal lagi para tetangga kakek neneknya di kampung. Sedih rasanya. Idul Fitri menjadi momen yang terasa tak seperti dulu lagi. Tak semeriah dulu lagi. Tak ada canda tawa orang-yang lama tak bersua. Ah, kapan akan terjadi lagi.
Â