Mohon tunggu...
Maya Novarini
Maya Novarini Mohon Tunggu... profesional -

Political Communication Scientist bred in Universiteit van Amsterdam. Animal Rights Activist. Software Engineer for an Artificial Intelligence company in San Francisco.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kaum LGBT : Korban Kemunafikan Sistem Kemasyarakatan Indonesia

28 Januari 2016   16:24 Diperbarui: 3 Februari 2016   16:40 1694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa orientasi seksual adalah tendensi alamiah dari makhluk tersebut, terlepas dari aspek-aspek moralitas dan sosial. Artinya, merasakan suka pada sesama jenis atau lawan jenis adalah sebuah kecenderungan biologis seseorang. Oleh karena itu, akan sangat tidak adil, jika mereka mendapatkan perlakuan yang diskriminatif, seperti dihina, dicemooh, dikucilkan; hanya karena orientasi seksual mereka tidak sejalan dengan ekspektasi atau patokan masyarakat umum yang konservatif, seperti masyarakat Indonesia sejauh ini.

Dalam analogi, orientasi seksual seseorang bekerja seperti bagaimana bakat tumbuh dan berkembang di diri seseorang. Tentu, sewaktu kita berada di dalam kandungan, kita tidak menentukan sendiri secara sadar segala hal yang akan menjadi bagian dari diri kita; seperti preferensi seksual, hobi, bakat, karakter, dsb. Sekalipun orientasi seksual itu encoded di diri setiap orang masing-masing, faktor lingkungan pun memiliki pengaruh untuk merubah level intensitas dalam spektrum ‘kadar ketertarikan seksual’ seseorang. Dan tidak ada yang salah atau benar tentang hal tersebut. Lingkungan dan kepribadian adalah dua entitas yang saling mempengaruhi. Hal ini berlaku tidak hanya dalam konteks orientasi seksual saja, melainkan juga terhadap hal-hal lain yang juga bagian dari diri kita; seperti ketertarikan belajar atau inisiatif menggeluti bidang tertentu yang juga bisa terpengaruh lingkungan. Dengan sudut pandang demikian, akan terdengar tidak relevan jika kita beranggapan bahwa homoseksual itu sesuatu yang bisa disembuhkan. Karena orientasi seksual bukan lah sebuah penyakit dan secara biologis pun, tidak ada yang salah mengenai kenyataan bahwa seseorang menyukai sesama jenis. Yang keliru dan harusnya dijadikan fokus penegakan hukum dan penelanjangan di masyarakat adalah ketika perilaku seksual seseorang memakan korban, melalui pelecehan, pemaksaan atau penularan penyakit secara sadar dikarenakan tanpa pengaman.

Tekanan Terhadap SGRC-UI

Akan tetapi seperti yang terjadi beberapa pekan terakhir, komunitas LGBT mengalami tekanan keras dari berbagai kelompok masyarakat. Salah satu pemicunya adalah munculnya spekulasi mengenai fokus organisasi SGRC UI (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies Universitas Indonesia) mensosialisasikan LGBT. Publisitas yang berlebihan dan tidak akurat tersebut telah menjadi bola liar, menggiring konsekuensi sosial tidak hanya terhadap para anggotanya, tapi juga komunitas LGBT secara umum di daerah-daerah lain. Koordinator Fasilitas dan Keuangan SGRC-UI Nadya Karima Melati menceritakan tekanan dan teror yang diterima para anggota dan keluarga mereka. Bahkan salah satu pendiri organisasi tersebut dikucilkan keluarga dan diusir dari rumah.

Apakah reaksi masyarakat bisa dibenarkan? Jelas tidak. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dengan demikian UUD 1945 telah secara langsung dan tegas memberikan jaminan kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi (freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression), tidak hanya bagi setiap warga negara Indonesia, tetapi juga bagi setiap orang yang artinya termasuk juga orang asing yang berada di Indonesia.

Tapi selain itu, masyarakat perlu bersikap adil terhadap SGRC-UI dengan mengklarifikasi objektivitas organisasi dan kedalaman fokus mereka dalam isu LGBT. Pada kenyataannya, SGRC-UI adalah komunitas atau kelompok kajian yang dibangun secara otonom, seperti kelompok kajian pada umumnya. Fokus kajian mereka pun luas dan progresif, mencakup feminisme, hak tubuh, nilai-nilai patriarki, kesehatan, reproduksi, gerakan pria, buruh dan wanita; jelas lebih luas dari sekedar isu LGBT. Akan tetapi, beberapa kalangan telah menghakimi organisasi tersebut dengan sudut pandang yang sangat sempit, destruktif dan provokatif, menggiring masyarakat lain untuk hanya menyorot satu dimensi saja - dari banyaknya fokus kajian mereka. Dan yang menjadi tumbal politik di sini adalah kapasitas SGRC-UI dalam memfasilitasi konsultasi dan diskusi dengan para remaja mengenai bagaimana mereka dapat mengatasi tekanan sosial terkait kondisi preferensi seksual mereka.


Tekanan sosial dapat terjadi pada siapapun, akan tetapi berkaca pada tatanan konservatif masyarakat Indonesia, preferensi seksual sebagai LGBT rentan menimbulkan reaksi negatif dari lingkungan. Mereka tidak berteriak-teriak, “Hey, semuanya! Ayo kita semua jadi gay!” Jadi apa yang salah dari fokus kajian mereka mengakomodasi kebutuhan psikologis kaum remaja? Tidak ada yang salah. Lalu apa yang salah jika mereka membantu individu yang ingin mendapatkan pencerahan ilmiah mengenai pendidikan seksual dan menanamkan sense of responsibility dalam konteks hubungan seksual. Bukankah hal tersebut positif dampaknya, jika masyarakat lebih sadar akan pentingnya pengaman/kontrasepsi dalam mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki atau penyakit seksual. Bagaimana organisasi tersebut dinilai lebih berbahaya dari narkoba dan terorisme? Apakah organisasi dapat mengubah preferensi seksual seseorang? Jelas tidak. Dan SGRC-UI bukanlah organisasi pertama yang menyelenggarakan kajian mengenai LGBT.

Organisasi Lain Pendukung LGBT di Indonesia

Pada bulan Juni tahun 2013, United Nations Development Programme (UNDP) bersama United States Agency for International Development (USAID) menyelenggarakan Dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia di Nusa Dua, Bali, Indonesia. Acara tersebut menghadirkan 71 peserta dari 49 lembaga yang mewakili keseluruhan keragaman organisasi LGBT di Indonesia.

Tapi sebuah pertanyaan yang layak kita renungi di sini adalah mengenai reaksi terhadap SGRC-UI yang seolah membawa pengertian bahwa LGBT tidaklah diterima oleh semua kalangan masyarakat, terutama pemerintah dan organisasi keagamaan.

Padahal Dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia tersebut pun dihadiri wakil-wakil pemerintah pusat, lembaga hak asasi nasional, lembaga donor, perguruan tinggi, lembaga non-pemerintah untuk hak asasi manusia, organisasi bantuan hukum dan organisasi madani, serta beberapa tokoh agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun