Mohon tunggu...
Bisyri Ichwan
Bisyri Ichwan Mohon Tunggu... Dosen - Simple Man with Big Dream and Action

Santri Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi dan Alumni Universitas Al-Azhar Mesir. Seorang yang kagum dengan Mesir karena banyak kisah dalam Al Qur'an yang terjadi di negeri ini. Seorang yang mencoba mengais ilmu pengetahuan di ramainya kehidupan. Seorang yang ingin aktif kuliah di Universitas terbuka Kompasiana. Awardee LPDP PK 144. Program Doktor UIN Malang. Ketua Umum MATAN Banyuwangi. Dosen IAIDA Banyuwangi. Dan PP. Minhajut Thullab, Muncar, Banyuwangi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Produk Gagal Pendidikan

10 Oktober 2019   07:09 Diperbarui: 10 Oktober 2019   09:47 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul ini saya ambil dari pendapat Prof. Imam Suprayogo yang diamini oleh Dr. Miftahul Huda, M.Ag. setelah Panjang lebar mereka menjelaskan tentang fakta banyak out put dan out come dari Pendidikan nasional yang ada di negeri ini. 

Saya merasa kesimpulan ini terlalu terburu-buru dan subjektif sekali, namun ada benarnya melihat fenomena yang terjadi di Indonesia, tidak usah jauh-jauh, bisa kita lihat saja dari contoh kecil yang terjadi pada saat kasus demontrasi-demonstrasi kemarin yang terjadi di ibu kota dan kota-kota yang ada di Indonesia.

Ada perubahan gaya dalam mereka menyampaikan aspirasi, seperti contoh poster-poster yang ditulis, komentar-komentar yang vulgar yang cenderung bisa menjadikan fitnah di masyarakat, terlihat sekali dari ucapan yang dihadirkan dalam mengomentari Rancangan Undang-undang KUHP. Ada contoh mahasiswa yang mengomentarinya misalkan dengan berkata seperti tidak mempunyai rasa malu, "selakangan gue milik pacara gue, bukan milik negara", zina urusan gue, bukan urusan negara", dan beberapa komentar lain yang serupa. Belum lagi tawuran-tawuran saat demo yang seakan menjadi bumbu penyedap pasti di momen itu.

Ada banyak lah sebenarnya kalau kita, lebih tepatnya saya, kalau mau mengangkat fakta-fakta agak miris dari sikap para remaja kita sekarang ini. Hal ini bisa saja yang menjadikan dua dosen saya di atas bisa bersesimpulan  bahwa Pendidikan di Indonesia telah gagal, tentunya kesimpulan seperti ini, saya jadi berfikir, berarti saya termasuk dalam ketegori produk gagalnya Pendidikan nasional ini. 

Lalu yang menjadi pertanyaan, kenapa gagal? Apa penyebabnya? Adakah solusi yang ditawarkan, paling tidak untuk memperbaiki kegagalan yang ada saat ini, dan bagaimana menciptakan Pendidikan ideal untuk generasi setelah ini?

Untuk menjawab pertanyaan pertama saja, tentunya tidaklah sederhana. Adanya banyak kurikulum yang dibuat oleh pemerintah saja sebenarnya menjadi bukti kalau negara ini ingin selalu hadir untuk mencerdaskan rakyatnya. 

Saya tidak akan mengutarakan jawaban ini secara yang terlalu ilmiyah dari penelitian yang menjemukan, namun hanya menyajikan pertimbangan dari apa yang saya dengar dan peroleh di dalam kelas pasca sarjana S3 UIN Malang 2019 setelah berdiskusi dengan teman-teman sekelas dan bersama dosen mata kuliah Pemikiran Pendidikan Islam; Prof. Dr. Imam Suprayogo dan Dr. Miftahul Huda.

Memang subjektif dan terkesan terburu-buru kesimpulannya, sekali lagi saya katakan, paling tidak, catatan ini hanya bisa menjadi pertimbangan, ya paling tidak lagi, menjadi teman pagi sambil ngopi sarapan Anda di teras rumah. Hehe. Jawaban dari kenapa gagal? Prof. Imam dan Dr. Miftah, dari yang saya fahami dari penjelasan beliau adalah karena focus Pendidikan nasional kita selama ini adalah mulut dan akal, ada satu dimensi yang kurang, bahkan lebih tepatnya tidak disentuh, yakni hati.

Dalam satu haditsnya, Rasulullah Saw. telah bersadbda : "Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)" (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599). Hadits ini mengisyaratkan, bahwa raja yang ada dalam diri kita untuk melakukan segala hal adalah hati. Saat hatinya baik, maka semua organ tubuh termasuk akal akan menjadi baik. Karena posisi akal hanya sebatas ibarat perdana Menteri atau tangan kanan dari hati.

Jadi dari sini bisa mengambil sebuah sikap bahwa seharusnya Pendidikan yang mesti digalakkan adalah Pendidikan yang konsentrasi pada hati, bukan hanya mencerdaskan akal. 

Lalu bagaimana caranya? Inilah yang yang saya sendiri memahami dan menjawabnya tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kita tahu, mendidik manusia tidak seperti membuat sebuah produk, yang ketika gagal, bisa didaur ulang dan dibuat produk lain kembali. 

Saat mendidik manusia mengalami kegagalan, kegagalan itu akan dirasakan selama seumur hidup, bukan hanya itu, bisa jadi berpengaruh terhadap sikap menjalani kehidupan ini dan hidup setelah kematian, sesuatu yang ngeri-ngeri sedap---meminjam istilah dari almarhum bapak Soetan batugana--.

Keilmuwan yang ada di dunia ini diperoleh dengan cara tiga gaya, yang pertama adalah dengan cara Tajriby, yakni observasi menggunakan panca indera yang ada. Kedua, dengan cara burhani, pemikiran yang mendalam memakai akal, dan yang ketiga adalah Irfani, perenungan hati yang bersih. Dari ketiga hal ini semuanya saling melengkapi, tetapi mana yang didahulukan, tentunya masing-masing orang berbeda pendapat. 

Kalau dari tema yang disimpulkan dari hasil mata kuliyah yang sama fahami dari dosen saya ini ya tentunya yang ketiga dari tiga proses tersebut.

Saat hati bersih, dia akan mampu memimpin indera-indera yang lain termasuk akal. Saat hati kotor, kepemimpinan itu akan diambil alih oleh nafsu yang dibisiki oleh syaithon yang ada di sekitar hati, entah itu setan dari golongan jin maupun manusia. Nah, bagaimana cara membersihkan hati ini sebelum memulai sebuah proses pembelajaran? 

Permasalahan yang terjadi adalah hati yang dimaksud di sini bukanlah hati yang berbentuk fisik yang ada dalam diri kita yang bisa ditranspalasi, tetapi hati yang menjadi bagian dari ruh, hati yang ada dalam jiwa.

Yang saya fahami dari penjelasan Prof. Suprayogo dan ditambah dengan pemahaman saya dari Dr. Miftah (bisa jadi pemahaman saya salah), bahwa cara untuk membersihkan hati adalah apa yang sudah diajarkan oleh Islam itu. Makna tersirat dari rukun Islam. Syahadat yang kita baca, secara substansi sebenarnya mengajarkan kepada kita bagaimana caranya untuk menghamba secara murni kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukan kepada yang lain. Mengajarkan cinta secara tulus kepada Rasulullah, Nabi Muhammad sebagai perantara antara makhluk dan Tuhan dan teladan itu sangat nyata dalam diri Beliau.

Ketika Siti 'Aisyah ditanya, "bagaimana akhlaknya Rosulullah", beliau menjawab, "akhlaknya adalah al-qur'an". Rasulullah adalah al-qur'an yang berjalan dan selalu menjadi suri teladan yang baik buat alam semesta. Bentuk implementasi dari syahadat ini adalah menjadi manusia yang berakhlak baik. Kita sebagai hamba Allah dan umatnya Rasulullah semestinya mencintai seluruh hambaNya dan seluruh umat Rasulullah, siapapun mereka. Allah Swt. saja selalu memberikan kasih sayang kepada siapapun walaupun dia seorang Atheis. Ini adalah makna dari syahadat kita.

Nah, makna kedua dari rukun yang kedua adalah sholat. Secara bahasa, Prof. Imam Suprayogo menjelaskan, apa sih sholat itu? Apa yang anda fikirkan ketika shalat? Siapa yang hadir di sana? 

Dari pertanyaan ini, saya malah tersenyum sendiri dan beliau malah mengajukan pertanyaan itu ke saya secara langsung, saya menjawab seadanya, "cara terbaik menemukan barang yang hilang, terkadang, ya lewat sholat Prof. hehe". Biasanya saat sholat fikiran malah gak karuan, ke mana-mana. Ingat jemuran menjelang hujan. Ingat barang yang hilang, dan lain-lain. Jangankan khusyuk, yang terjadi malah untuk menghitung rakaatnya saja terkadang lupa.

Shalat dalam bahasa arab berasal dari wazan sholla yusholli, yang berarti hubungan. Yakni hubungan special antara hamba dan Tuhan. Jika dikembalikan antara rukun kedua dengan rukun yang pertama, shalat bisa berbentuk dalam dua hal, bisa untuk Allah Swt. dan shalat untuk Rasulullah Saw. 

Shalat untuk Allah adalah shalat yang kita (umat Islam) kerjakan yang berjumlah lima waktu. Sedangkan shalat untuk Rasulullah adalah sering kita sebut dengan kata Shalawat. Keduanya bermakna hubungan special. Saat kita mampu memaknai hubungan kedua shalat ini, maka hasilnya dalam kehidupan sehari-hari begitu terasa.

Sebenarnya dua pemaknaan terhadap syahadat dan sholat itu saja sudah lebih dari cukup untuk membentuk karakter dari Pendidikan kita di Indonesia. Syahadat mengajarkan cinta. Shalat mengajarkan hubungan yang selalu hadir. Shalat (dari kedua makna shalat; shalat untuk Allah dan shalat untuk Rasulullah) selalu kita lakukan selama 24 jam. Kita diajarkan untuk selalu berhubungan dengan Allah dan Rasulullah.

Jawaban yang abstrak, namun paling tidak menjadi bahan renungan dan pertimbangan dalam upaya membentuk karakter calon peserta didik. Tentunya, menurut saya, konsep ini masih mentah dan perlu dikaji secara mendalam lagi. Akhirnya saya jadi berfikir. Sebenarnya alasan kita bertindak melakukan kesalahan, melakukan dosa (dalam bahasa agama), sewenang-wenang, karena kita merasa, Allah Swt. dan Rasulullah Saw. tidak hadir dalam diri kita, tidak ada pengawasan dari Dia.

Padahal alasan secara sains saja, dunia ini sebenarnya 'sudah telanjang', ada begitu banyak satelit yang mengawasi dunia ini hingga ke dasar-dasarnya, dengan bukti begitu mudahnya negara-negara maju mendapatkan cadangan sumber daya alam di negara-negara miskin dan berkembang, belum lagi CCTV yang terpasang di mana-mana. Ini baru alasan dalam bidang sains, apalagi ini ada alasan dalam bidang agama yang ajarannya melampui apa yang kita fahami secara tajriby dan burhany.

Bagaimana menurut anda dua konsep sederhana ini diaplikasikan dalam gaya Pendidikan kita? Yang saya fahami lagi, sebenarnya ini bukan konsep baru, tapi konsep lama yang sudah diajarkan dalam Tasawwuf dan para ulama' sufi. 

Kesimpulannya, walaupun saya dan bisa jadi anda adalah produk gagal Pendidikan negeri ini, paling tidak masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri dari produk gagal ini untuk terus belajar mengasah diri untuk mengartikan makna dari syahadat dan shalat yang berimplikasi pada pembersihan hati. Jika konsep ini masih terus abstrak dalam diri kita, maka "Jika sakit berlanjut hubungi dokter". 

Jika penyakit fisik, tidak sembuh, datang kepada dokter, tentunya lebih dari itu, penyakit hati, jika tidak sembuh-sembuh, maka solusinya adalah mencari "dokter hati" untuk mengobatinya.

Malang, 10 Oktober 2019 Pukul 06.50

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun