Mohon tunggu...
Ardhi MadaniRasyid
Ardhi MadaniRasyid Mohon Tunggu... Mahasiswa Akademi Digital Bandung

Topik favorit budaya dari berbagai negara

Selanjutnya

Tutup

Music

Analisis lirik Lagu "Cita-Citaku" Karya Pidi Baiq Sebagai Representasi Keresahan Laki-laki

15 Juni 2025   21:00 Diperbarui: 15 Juni 2025   19:19 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Panasdalam, dengan judul "Argumentum in Absurdum". Frasa seperti "Only Ninja Can Stop Me Now" dan "Untuk Anak-Anak Nakal Seluruh Indonesia"

Disusun oleh: Azim Shoddiq Wa’dallah

Institusi: Akademi Digital Bandung

Pengantar

Saat ini musik tumbuh sangatlah cepat, apalagi setiap zaman lahir generasi baru yang membawa selera baru. Karena itu musik hampir selalu berkembang setiap sepuluh tahun, sebab cara orang menikmatinya terus berubah. Sebagai seni, musik mencerminkan pemikiran dan perasaan manusia yang diolah dari lirik jadi melodi. Musik bukan sekadar rangkaian kata acak, banyak orang menyukai lagu karena isi dan nadanya bisa mewakili emosi yang sulit dijelaskan.

Isi

Pidi Baiq adalah seniman multitalenta asal Bandung, Indonesia. Karya-karyanya sering diselipi humor dan filosofi yang halus, bahkan lirik lagunya juga penuh makna filosofi dan satir. Dia berprofesi sebagai penulis, guru, ilustrator, komikus, musisi, sekaligus pencipta lagu. Nama Pidi Baiq, atau yang akrab disapa Ayah, mulai meluas setelah mendirikan band The Panasdalam pada 1995. Salah satu lagu terkenalnya, Cita-citaku, dari album "Only Ninja Can Stop Me Now" mengartikan tentang harapan anak muda terkhusus laki laki yang berjuang menghadapi lika-liku kehidupan modern yang kompleks.

Lagu Cita-citaku karya Pidi Baiq, dengan bahasa santai tapi menohok, bercerita tentang mimpi yang jauh lebih dalam dari sekadar angan-angan anak-anak. Liriknya "Cita-citaku ingin jadi polwan, mana mungkin aku hanya lelaki? Oh Tuhan tolong hambamu terlahir sebagai seorang lelaki" yang diambil dari The Panasdalam. Lirik itu seakan mengingatkan kita bahwa takdir yang ditetapkan Tuhan tidak bisa diubah, yakni siapa kita lahir ke dunia, menjadi salah satu bagian dari tuntutan sosial yang terus menekan lelaki untuk jadi pencari nafkah, tulang punggung, dan simbol sukses materi. Di zaman Gen Z, dorongan itu kian meningkat karena media sosial terus memaparkan pencapaian orang lain seperti mobil mahal, liburan ke luar negeri, dan pencapaian instan lainnya yang bahkan tidak realistis, lalu membesarkan rasa takut gagal finansial setiap kali langkah awal dibuka.

Hal ini sejalan dengan temuan penelitian yang menunjukkan bahwa laki-laki muda cenderung merasakan tekanan yang lebih besar terkait prospek karier dan kemampuan finansial dibandingkan dengan perempuan (OECD, 2021). Perasaan terbebani ini dapat memicu stres, bahkan depresi, terutama jika realitas tidak sesuai dengan ekspektasi.

Lirik lain yang terdengar, "Oh ibu, jangan paksa aku", menunjukkan rasa takut anak muda dinilai jelek oleh lingkungan sekitarnya. Apalagi, tuntutan orang tua biasanya meminta lelaki bersikap kuat, tabah, dan sama sekali tidak boleh menunjukkan emosi lemah (Suaka-Online, 2021). Karena itu, banyak lelaki pilih diam ketimbang bercerita atau minta bantuan, hingga beban mental menggunung dan akhirnya kesehatan psikis mereka terganggu.

Meskipun lagu itu terasa humoris, ia sebenarnya menyinggung dua hal: kemana kita mau pergi dan apa arti tujuan. Pertanyaan ini sangat dekat dengan pengalaman Gen Z yang terus menerus berhadapan dengan jalan hidup yang berlika liku. Dalam dunia kerja yang makin kejam dan saling bersaing, anak-anak Gen Z terkadang kembali ke pikiran kosong nya, meninggalkan kuliah, meninggalkan gelar, atau mengubah angan jadi pekerjaan nyata, semua karena rasa percaya diri yang kurang dan desakan dari sekeliling. Mereka punya tumpukan pilihan karier, tetapi tidak ada satu pun yang jelas, dan inilah yang memicu kekhawatiran soal masa depan yang tak berani dijamin. Alhasil, generasi ini mengangkat level stres mereka lebih tinggi ketimbang orang tua mereka, dan pendorong utamanya tak lain adalah rasa takut soal uang dan pekerjaan (American Psychological Association, 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun