Mohon tunggu...
el lazuardi daim
el lazuardi daim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis buku SULUH DAMAR

Tulisan lain ada di www.jurnaljasmin.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Yogyakarta dan Cerita Lebaran yang Melankolis

2 Mei 2023   12:35 Diperbarui: 2 Mei 2023   12:59 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kota Yogyakarta. Foto : koleksi pribadi

" Bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih ? Bahagia karena napas mengalir dan jantung berdetak. Sedih karena pikiran diliputi bayang-bayang "

(Dari puisi Pamflet Cinta karya WS Rendra)

Betapa bahagianya rasa hati bisa merayakan Lebaran di kampung halaman. Berkumpul bersama orang tua dan sanak saudara. Sungguh, berlebaran di kampung merupakan sebuah kenikmatan yang tak terkira.

Perjalanan mudik ke kampung halamanku di kaki Gunung Marapi, Sumatra Barat, menjadi perjalanan yang kutunggu-tunggu tiap tahunnya. Sejak merantau ke kota Padang dan terus berlanjut ke Pekanbaru, aku tak pernah melewatkan Lebaran tanpa pulang kampung. Jarak yang tak jauh dengan durasi perjalanan yang hanya beberapa jam saja membuatku tak punya alasan untuk tidak pulang kampung.

Tapi, cerita tentang lebaran itu ternyata tidaklah selalu sama. Perjalanan nasib yang mengantarku merantau lebih jauh ke Yogyakarta telah membawaku ke episode  yang berbeda.

Ya, karena beberapa alasan, aku melewatkan kesempatan berlebaran di kampung halaman. Dan selanjutnya merayakan Idul Fitri di tanah Yogyakarta menjadi judul baru dari lakon kehidupan yang aku perankan.

Sempat muncul rasa gamang di hati. Aku khawatir kalau-kalau aku tak sanggup melewati situasi ini. Bagaimanapun juga, berlebaran di negri orang tanpa seorangpun yang menemani adalah sebuah kegetiran.


Ya, aku akhirnya berada pada cerita lebaran yang tak lagi sama. Tak ada lagi narasi kegembiraan berlebaran di kampung halaman. Semua berganti sketsa sendu dari dalam kamar kost yang sepi. Sketsa tentang aku yang merayakan Lebaran dengan berteman bayang-bayang dari sebuah kenangan.

Semua keceriaan Lebaran yang selama ini kurasakan kini hanya bisa kubayangkan saja di kepala. Lebaran 2023 pun kurayakan seorang diri tanpa kehadiran orang tua dan sanak saudara di tanah perantauan. Dan indahnya suasana lebaran pun terasa hanya sebagai sebuah ilusi.

Tak ada peluk hangat dari orang tua dan adik-adikku. Tak ada rendang dan opor ayam spesial yang dimasak ibuku di setiap lebaran. Tak ada pula gelak tawa dan canda ria dengan sanak saudara. Semua tak ada.

Aku merasa miris dan bertanya sendiri, kenapa diriku seperti terjebak dalam dunia melankolis. Padahal ini hari raya. Hari dimana orang-orang bersuka ria. Hari dimana orang-orang tertawa lepas meluapkan perasaan suka.

Aku jadi teringat penggalan syair Pamflet Cinta yang ditulis WS Rendra.

" Bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih ? Bahagia karena napas mengalir dan jantung berdetak. Sedih karena pikiran diliputi bayang-bayang, " demikian tulis sang penyair. Sebuah fragmen yang tepat sekali menggambarkan suasana hatiku di hari Lebaran ini.

Ya, begitulah yang kurasakan di hari raya ini. Aku merasa diriku terbagi ke dalam dua dunia. Bahagia dan sedih.

Aku bahagia karena berhari raya. Tapi aku juga bersedih karena tak berada di tengah-tengah keluarga. Teknologi yang mencoba mengobati kesedihanku ini dengan tatap muka lewat video call tetap saja tak cukup untuk melakukan itu semua.

Aku berkeluh kesah sendiri. Mencoba merenungi, kenapa Tuhan menempatkanku pada situasi seperti ini. Tapi aku yakin, pasti ada iktibar dibaliknya sebagai pembelajaran diri.

Ya, berlebaran jauh dari keluarga telah menyadarkanku akan arti dari keluarga itu sendiri. Tentang kebersamaan dan orang-orang yang mencintaiku. Dan aku menjadi semakin paham bahwa keluarga itu merupakan harta paling berharga yang harus dijaga selamanya.

Di tengah segala kegalauan ini aku kemudian bangkit. Membuka pintu dan memandang keluar.

Aku membuka mata lebar-lebar. Menatap langit dalam-dalam. Menarik napas dengan perlahan. Mencoba membuang beban kesedihan masih bergelayut ini.

Aku terus melamun. Membayangkan kembali apa-apa yang baru saja kualami. Di tengah lamunan, aku seperti mendengar seseorang berseru kepadaku.

" Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang kau tinggalkan "

Aku merasa tak asing dengan suara itu. Itu adalah perkataan Imam Syafii, seorang ulama panutan dan juga penyair, yang banyak memberikan petuah sebagai penguat hati bagi para perantau.

Suara itu bergema begitu kuat di dadaku. Menelusup terus merasuk ke sanubari. Memberi rasa damai di jiwa. Dan memberiku kekuatan agar tak hanyut dalam pusaran kedukaan.

Suara itu terus bergema. Menuntunku melangkah keluar dari kamar kost. Mengajakku bertemu, bersilaturahmi dengan orang-orang di sekitarku.

Pada akhirnya aku menemukan ibu kos dan para tetangga yang biasa kusapa ketika keluar dari kos-kosan. Aku berlebaran bersama mereka. Dan mereka menjadi sosok orang tua dan sanak keluargaku kini. Sosok pengganti di perantauan.

Mereka menyambutku dengan hangat. Mengajakku bercerita dan menyemangatiku untuk gigih berjuang di negri perantauan ini.

Duhai, betapa bahagia rasanya hati. Aku tak lagi merasa sendiri. Aku menemukan diriku lagi sebagai aku yang berbahagia di hari Lebaran.

Begitulah, Lebaran mengajarkanku nilai-nilai kehidupan. Bahwa kesedihan dan kebahagiaan itu selalu datang bersama. Tak pernah terpisah. Tinggal bagaimana kita memahami keberadaannya masing-masing.

Demikianlah cerita lebaran ini kutulis sebagai bagian dari memeriahkan lebaran 2023 dan event kjog.

(EL)

Yogyakarta,02052023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun