Mohon tunggu...
el lazuardi
el lazuardi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis buku SULUH DAMAR

Tulisan lain ada di www.jurnaljasmin.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengikis Patriarki Memutus KDRT

12 Februari 2023   13:05 Diperbarui: 12 Februari 2023   13:27 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

" Wanita diciptakan tidak untuk menderita "

Setiap orang baik pria maupun wanita tentu saja mendambakan kehidupan yang penuh kebahagiaan. Apalagi bagi yang sudah menikah. Mereka pasti berharap dianugerahi kehidupan pernikahan dengan limpahan cinta dan kasih sayang.

Tapi sayang, tak semua pasangan bisa mendapatkannya. Sebagian dari mereka harus merasakan penderitaan dalam perjalanan cinta mereka dengan berbagai faktor penyebabnya.

Kekerasan dalam rumah tangga yang lazim diistilahkan dengan KDRT menjadi salah satu penyebab yang merusak kebahagiaan orang hidup berumah tangga. Kekerasan bisa terjadi antar sesama pasangan atau kekerasan orang tua terhadap anak. Tapi dalam banyak kasus, KDRT paling sering menimpa kaum wanita.

Di Indonesia sendiri kasus KDRT ini masih sering terjadi. Tahun 2022 lalu, Komnas Perempuan mencatat ada 3014 kasus KDRT selama periode Januari hingga November 2022. Sementara data dari Kemen PPPA menunjukkan hingga bulan Oktober 2022 terjadi 18261 kasus KDRT dimana 79% (16745) kasus diantaranya menimpa kaum perempuan.

Mengapa kasus KDRT, khususnya terhadap perempuan ini masih cukup tinggi ? Adakah sesuatu yang salah yang membuat mereka gampang sekali mendapatkan kekerasan ?

Budaya patriarki yang masih kuat menjadi salah satu faktor penyebabnya. Budaya yang sangat mengagungkan kaum lelaki ini menjadikan para suami dengan mudahnya melakukan intervensi dan kekerasan terhadap istrinya. Baik secara verbal ataupun kekerasan fisik. Kenapa bisa begitu ?

Seperti diketahui dalam sistim patriarki laki-laki ditempatkan sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi keadaan. Dalam hubungan keluarga bisa kita lihat ketika seorang ayah memiliki otoritas penuh terhadap ibu dan anak-anak.

Dalam prakteknya, patriarki membuat hubungan antar pasangan terlihat seperti hubungan antara atasan dengan bawahan. Para pria merasa dirinya harus dilayani bak raja. Mereka merasa berkuasa dan menganggap diri mereka lebih tinggi dari para wanita. Dan karena itu, mereka terkadang bersikap sewenang-wenang dan dengan mudahnya menumpahkan kemarahan bila kemauannya tak terpenuhi.

Ya, paham patriarki seolah menjadi sarana bagi kaum pria untuk memaksakan ego pribadi mereka. Dan tak jarang pula dipergunakan untuk mengeksploitasi para wanita. Miris memang !

Mungkin kita pernah melihat di lingkungan kita atau membaca berita di media massa dimana seorang suami dengan mudahnya melakukan kekerasan pada istrinya ketika terjadi pertengkaran atau ketika merasa tak dilayani sesuai tuntutan mereka.

Mereka membentak, memaki, memukul dan melakukan tindakan kekerasan lainnya terhadap sang istri. Biasanya para istri tak kuasa untuk melawan dan pasrah menerima keadaan.

Keadaan seperti ini tentu tak bisa dibiarkan terus terjadi. Perlu dilakukan langkah-langkah konkrit untuk mencegahnya. Khususnya yang berkaitan dengan budaya patriarki ini.

Apa saja yang bisa kita lakukan ?

1. Menyadari sepenuhnya bahwa budaya kekerasan adalah sebuah kekeliruan.

Budaya kekerasan adalah sebuah kekeliruan. Permasalahan takkan bisa diselesaikan dengan menempuh jalan kekerasan. Justru sebaliknya, persoalan hanya akan bertambah rumit dan bahkan memicu permasalahan baru.

Kekerasan hanya mengedepankan emosi, tanpa melibatkan logika. Karena itu perlu bagi seorang laki-laki untuk berpikir panjang dahulu sebelum terlanjur melakukan kekerasan. Termasuk dengan memikirkan dampak buruk dari kekerasan ini serta membayangkan bila diri mereka yang berada dalam posisi sebagai korban. 

Bila prilaku seperti ini mampu diterapkan, diharapkan nantinya para lelaki bisa berpikir jernih, mengendalikan emosi, serta mencegah dirinya dari melakukan kekerasan terhadap wanita.

2. Mereduksi paham patriarki.

Paham patriarki sudah mengakar kuat dalam masyarakat sejak lama dan selalu didoktrinkan dalam berbagai kesempatan. Dalam konteks budaya maupun pemahaman agama sering disebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita.

Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa ada pemahaman yang keliru dari praktek patriarki selama ini nyata-nyata merugikan kaum wanita. Maka dari itu perlu sebuah upaya untuk meluruskannya.

Mereduksi dan menata ulang pemahaman terhadap patriarki bisa menjadi sebuah solusi. Konsep laki-laki sebagai pemimpin harusnya bukan lagi diartikan sebagai penguasa tunggal, tapi dimaknai sebagai tanggung jawab besarnya dalam mempertahankan sebuah hubungan. Laki-laki hendaknya tak hanya meminta untuk dilayani, tapi juga bersedia untuk melayani. 

Sebagai contoh, seorang suami tak perlu marah-marah ketika terkadang istrinya telat membuatkan kopi atau menghidangkan makanan. Bukankah dirinya bisa melayani dirinya sendiri. Pahami situasinya terlebih dulu.

3. Merekonstruksi pola hubungan antar gender.

Pola hubungan dalam budaya patriarki adalah hubungan secara vertikal dimana posisi laki-laki berada diatas. Pola seperti ini menciptakan hegemoni bagi laki-laki dan menempatkan wanita pada posisi yang lemah.

Pola seperti ini terbukti sangat merugikan kaum wanita dimana kita lihat sering terjadinya kekerasan terhadap mereka. Karena itu pola itu harus direkontruksi kedalam hubungan secara horizontal.

Dalam hubungan yang horizontal ini nantinya laki-laki dan perempuan berada dalam posisi sejajar. Tak ada yang lebih dominan ataupun submisif. Kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan punya hak dan tanggung jawab yang sama.

Dalam pola ini hubungan yang dibentuk bukan lagi seperti relasi atasan dengan bawahan, tapi seperti hubungan antar teman. Masing-masing pihak nantinya bisa saling bercerita atau berbagi tanpa ada intimidasi dari salah satu pihak.

Contoh sederhana dari penerapan pola ini misalnya dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan domestik seperti mencuci, membersihkan rumah ataupun memasak. Tak ada salahnya ketika seorang lelaki membantu pekerjaan yang selama ini diasosiasikan sebagai pekerjaan wanita ini.

Jalinan komunikasi yang baik diantara sesama pasangan menjadi kunci dalam menerapkan hubungan yang seperti ini. Komunikasi yang dibangun hendaklah bersifat asertif yang mengedepankan sikap jujur, tegas, dan saling menghargai. Sehingga nantinya tak ada pihak yang merasa dirugikan.

KDRT merupakan momok yang mencederai kelangsungan hubungan orang berumah tangga. KDRT hanya akan membawa kerugian bagi suami maupun istri. Karena itu perlu adanya upaya maksimal untuk mencegahnya.

Salah satu caranya dengan merenungkan lagi dan merubah sudut pandang terhadap paham patriarki seperti yang diterangkan pada beberapa poin diatas. Semoga, kita tak mendengar lagi terjadinya kasus-kasus KDRT di masa mendatang. Terutama yang dialami para wanita.

Pada bulan Februari, bulan yang sering disebut-sebut sebagai Bulan Kasih Sayang ini tak ada salahnya kalau kita untuk terus menggiatkan kampanye  pencegahan terhadap KDRT ini. Toh semuanya demi kebaikan kita bersama juga.

Apapun alasannya, semangat Say No to KDRT harus selalu digelorakan. Karena pada hakikatnya, wanita itu diciptakan tidak untuk menderita. 

(EL)

Bukittinggi, 12022023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun