Mohon tunggu...
el lazuardi
el lazuardi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis buku SULUH DAMAR

Tulisan lain ada di www.jurnaljasmin.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rokok, Inflasi dan Rasionalitas

19 Juni 2022   05:00 Diperbarui: 19 Juni 2022   05:08 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lombok rawit merah. Foto: dokpri

 " Waduh, belanja seratus ribu cuma dapat lombok sama bawang merah. Itupun gak dapat satu kilo !" 

Percaya atau tidak, saat ini kita sedang menghadapi inflasi. Kondisi dimana nilai uang terus merosot

Sabtu pagi Bang El berkunjung ke pasar Condong Catur, Yogyakarta. Ditengah hiruk pikuk pasar pagi itu, seorang pembeli bergumam, " Waduh, belanja seratus ribu kok cuma dapat lombok sama bawang merah. Itupun gak dapat satu kilo !" 

Ada apa gerangan ? Ada apa dengan harga-harga di pasar ? Apakah lagi meroket ? Dari pada penasaran, Bang El menanyakan langsung pada seorang pedagang berapa harga sayur mayur terkini. 

Ternyata benar. Harga barang lagi meroket. Satu kilo cabe rawit merah dihargai 80 ribu, sebelumnya sempat menyentuh angka 95 ribu. Barang lainnya seperti cabe keriting 70 ribu per kg dan bawang merah 60 ribu per kg. Ketiga barang diatas mengalami kenaikan paling banyak. Pantasan dengan uang seratus ribu baru dapat dua macam belanjaan saja.

Begitulah kondisi riil saat ini. Nilai uang yang besar seolah tak berarti. Uang seratus ribu hanya cukup untuk pembeli lombok dan bawang merah saja. Padahal barang yang kita butuhkan masih banyak.

Ya, harga-harga kebutuhan pokok melonjak tajam akhir-akhir ini. Kenaikan tak hanya terjadi pada satu dua barang saja, tapi hampir semuanya. Sayuran, sembako, serta daging dan telur semua kompak naik.

Harga barang-barang keluaran pabrik jangan tanya lagi. Sudah naik duluan sebelum ada kenaikan Ppn yang sekarang menjadi 11%. Situasi saat ini diluar kebiasaan. Dan konsumen jadi pusing tujuh keliling dibuatnya.

Ketika terjadi inflasi, daya beli menurun. Penghasilan pun ikut berkurang. Dan dalam jangka panjang rentan membuat orang jatuh miskin. Khususnya mereka yang penghasilannya pas-pasan.

Menghadapi situasi yang tak menguntungkan ini kita dituntut bisa berpikir secara rasional. Yakni berpikir dan mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan yang logis dan diterima akal sehat. Bukan mengedepankan sikap emosional.

Berhemat dan mengencangkan ikat pinggang merupakan pilihan yang paling rasional. Apalagi bagi kelompok yang penghasilannya masih pas-pasan. Yakni mengatur pengeluaran dengan mendahulukan hal-hal yang urgen, yang harus segera dipenuhi dan tak dapat ditunda-tunda. Sementara untuk pemenuhan kebutuhan yang tak terlalu penting bisa ditunda atau dibatalkan saja.

Namun teori tak semudah praktek. Masih sering terlihat ada orang yang mengorbankan kebutuhan-kebutuhan yang paling utama demi hal yang sebenarnya tak penting. Contoh kecil dalam hal kebiasaan merokok para pria.

Ya, seperti halnya harga barang lainnya, harga rokok juga terkerek naik. Rata-rata dua puluh ribuan per bungkusnya. Harga yang tidak kecil. Tapi para perokok masih menutup mata ketika disuruh melihat fakta ini.

Bagi mereka, merokok adalah kebutuhan pokok. Merokok bahkan dianggap lebih penting dari pada makan sekalipun. Jadi, tak merasa sayang mengeluarkan uang untuk itu. Karena itu kebutuhan akan rokok berada di daftar nomor satu.

Mereka sering berdalih rela tak makan nasi satu hari asalkan  bisa merokok sepanjang hari. " Tanpa rokok bisa membuat kami kehilangan semangat hidup," begitu komentar mereka.

Mereka boleh saja berasumsi. Tapi berasumsi saja tidak cukup. Kita juga perlu melihat fakta dengan jeli. Sudah benarkah uang senilai 20-30 ribu itu ketika dibelikan sebungkus rokok atau untuk lebih baik untuk pembeli beras dan lauk pauk.

Faktanya kita lebih butuh makan. Fakta itu tak perlu dibantah. Semua orang butuh makan untuk bisa bekerja, beraktifitas dan bertahan hidup. Tanpa makan akan membuat seseorang menjadi tak berdaya.

Beda halnya dengan rokok. Fakta menunjukkan bahwa tanpa merokok pun orang bisa tetap hidup. Sementara dari sebatang rokok, manfaat yang didapat tak lebih dari kepuasaan sesaat yang sifatnya semu belaka.

Tapi kenapa sebagian perokok tetap kukuh dengan pendapat bahwa merokok lebih penting dari pada makan ? Jawabannya karena mereka berpikir dengan mendahulukan emosi. Bukan fakta yang logis. Ujung-ujungnya terjadi salah kaprah dalam menentukan prioritas.

Opini seperti ini seharusnya tak boleh dipertahankan. Mindset tentang rokok harus segera diubah. Merokok jangan dijadikan kebutuhan, cukup sebagai hiburan saja. Jadi tak ada tuntutan untuk harus memenuhinya. Merokok itu cukup sekali-sekali saja. Saat ada uang berlebih.

Meski agak berat untuk memulai kebiasaan ini, tapi harus ada niat untuk mencobanya. Lama-lama akan terbiasa. Seperti dikisahkan Mas Budi, seorang penjual sprei di sisi timur pasar Condong Catur Yogyakarta ketika Bang El singgah di lapaknya kemarin.

Mas Budi, pedagang sprei di Pasar Condong Catur Yogyakarta. Foto:dokpri
Mas Budi, pedagang sprei di Pasar Condong Catur Yogyakarta. Foto:dokpri

Mas Budi bercerita kalau dulunya ia perokok berat. Minimal menghabiskan sebungkus rokok tiap hari. Tapi tak masalah baginya. Maklum, penghasilannya dari berjualan sprei dan sarung bantal waktu itu lumayan besar.

Tapi lain dulu lain sekarang. Keuntungan dari berjualan sprei tak sebesar dahulu. Paling-paling dapat seratus ribu sehari. Kadang malah kurang dari itu. Jadi mau tak mau harus bisa berhemat biar tidak tekor.

Meski belum bisa berhenti total, Mas Budi kini sudah bisa mengerem kebiasaannya ini. Bila dulu sebungkus rokok habis dihisap dalam sehari, kini perlu waktu lima hari bagi Mas Budi untuk menghabiskannya. Ya, lumayanlah. Bisa menghemat pengeluaran. Menyesuaikan dengan kondisi terkini.

Barangkali inilah hikmah terselubung dari situasi inflasi bagi para perokok berat. Bahwa inflasi telah membuat orang berpikir untuk mengurangi kebiasaan merokok. Karena bagaimanapun juga beli beras, sayur,lauk pauk dan sebagainya itu tetap lebih penting dari sebungkus rokok.

Inflasi terus menghantui. Harga barang semakin mahal. Karena itu perlu ada rasionalitas dalam mengatur keuangan pribadi agar kita tidak tekor.

Jadi, ketika harga-harga kebutuhan pokok terus melonjak seperti sekarang ini masih adakah orang yang lebih mementingkan sebungkus rokok dari pada sepiring nasi ? Sungguh naif rasanya kalau masih ada yang berpikiran seperti itu.

Jangan merokok dulu sebelum makan !

(EL)

Yogyakarta,19062022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun