Mohon tunggu...
Biru Laut Nusantara
Biru Laut Nusantara Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

belajar melihat dinamika

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Haji; di Sana, dan di Sini

20 Maret 2014   22:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:41 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya ingat betul suatu sore saat saya masih pelajar kelas 2 SD nenek saya dapat pergi melaksanakan rukun islam yang kelima, pergi ke rumah Allah; naik haji. Keluarga sudah riuh rendah dari jauh-jauh hari. Berbulan-bulan sebelumnya di rumah nenek sering terjadi kumpul-kumpul keluarga, semua anak nenek dan cucunya yang bisa hadir pasti datang. Saya yang masih belum mengerti apa-apa hanya bisa mengingat gairah yang terpancar dari semua anak nenek. Semua berebut ingin punya kontribusi, sinar mata mereka mengirimkan pesan bahwa untuk saat inilah mereka sekolah tinggi-tinggi, bekerja dan menabung. Sementara nenek harus kelihatan tenang karena harus menghadapi tetangga-tetangga yang tiada hentinya mengirimkan ucapan selamat dan menitipkan doa, maklum tidak semua orang diberikan rizki berlebih.

Satu bulan sebelum keberangkatan menjadi hari-hari sibuk. Tiap minggu doa bersama diadakan, keluarga jauh sudah mulai berdatangan, bisa dibayangkan keadaan rumah nenek menjadi sangat ramai. Kalau biasanya keramaian akan menghasilkan suasana yang tidak enak, keramaian persiapan haji di kampungku malah sangat menyenangkan. Semua orang rasanya berbahagia untuk si calon hajah/haji, dengan sukarela tetangga akan datang membantu memasak, mempersiapkan tempat dan membereskannya lagi. Karena untuk kami haji bukan sekadar gelar, haji adalah suatu jaminan bahwa kampung kami akan terus diberkahi rahmat. Haji adalah jaminan bahwa kelak kampung ini masih akan tetap sama hangatnya, warganya tetap saling bantu dan bantuan tersebut selalu sukarela.

Tapi dibalik kebahagiaan yang dihasilkan, ritual naik haji menyisakan masalah yang baru saya sadari ketika dewasa. Ritual panjang naik haji membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bahkan biaya ke tanah sucinya pun sudah tergolong mahal untuk masyarakat yang pekerjaannya tidak jauh dari petani, buruh, pedagang, guru dan pegawai pemerintahan. Imbasnya banyak orang yang memaksakan naik haji tanpa pertimbangan matang, sehingga ketika kembali dari tanah suci bisa dikatakan banyak yang bangkrut.

Mungkin buat masyarakat di daerah lain, kota besar khususnya, fenomena tersebut menjadi hal yang aneh. Buat apa ada orang rela jadi melarat untuk berangkat haji. Tapi begitulah kenyataannya struktur sosial dibeberapa daerah dipengaruhi oleh haji tidaknya seseorang, sehingga hal tersebut menjadi penting.

Untuk itu dibutuhkan inisiatif lebih menyengkut masalah ini. Karena program-program yang diluncurkan pemerintah untuk membantu masyarakat yang ingin pergi haji masih belum terasa kecuali ribut-ribut soal mau diapakan duit setoran haji yang jumlahnya banyak. Walaupun sudah ada program tabungan haji, rasanya tetap dibutuhkan pendampingan dalam perencanaan keuangan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Orang-orang yang akan melakukan apapun agar bisa tawaf ke Mekah. Agar kejadian orang-orang yang jatuh melarat setelah menunaikan ibadah haji tidak lagi terulang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun