Mohon tunggu...
Bimosakti Sabili M
Bimosakti Sabili M Mohon Tunggu... Musisi - Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Society 5.0 dalam Perannya Menekan Angka Bunuh Diri di Jepang

28 Mei 2019   00:00 Diperbarui: 28 Mei 2019   00:26 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia 2019 di Davos, Switzerland pada 23 Januari lalu, Shinzo Abe PM Jepang memperkenalkan visi terbaru Jepang dalam menghadapi masa mendatang, ]Jepang memperkenalkan Society 5.0 sebagai visi hidup terbaru bangsa Jepang, Society 5.0 memilikki sedikit perbedaan dengan Revolusi Industri 4.0 yang diperkenalkan Pemerintah Jerman beberapa waktu yang lalu. Jika Revolusi Industri 4.0 lebih menekankan kepada otomasisasi teknologi di bidang industri, Society 5.0 secara kasarnya lebih menekankan pada pengaplikasian teknologi-teknologi yang ada untuk diterapkan di masyarakat.

Society 5.0 adalah sebuah lingkungan masyarakat yang berpusat pada penyelesaian berbagai permasalahan sosial dengan memanfaatkan data & teknologi yang sangat terintegrasi dalam ruang maya & fisik. Masyarakat tidak perlu lagi khawatir akan pekerjaan rumah tangga, ketidaksediaan fasilitas umum, dan birokrasi yang sulit. Semua permasalahan itu dapat diatasi dengan mengintegrasi fasilitas umum maupun pribadi dalam sistem & teknologi yang ada seperti Drone, Artificial Intelligence hingga Big Data.

Jika kita menilik dengan perspektif teknologi dan sosial, Jepang bisa dinilai sebagai negara yang paling cocok mempioniri Society 5.0 ini, dengan melihat perkembangan teknologi Jepang yang sudah maju dan masyarakat Jepang yang sangat berpegang teguh pada budaya sopan santun seperti menghormati orang tua dsb. Namun hal ini tak lepas dari pro & kontra masyarakat dunia, itu disebabkan karena Jepang merupakan salah satu negara dengan angka bunuh diri tertinggi di dunia, dikutip dari WHO hampir 20.000 orang bunuh diri tiap tahunnya di Jepang,  dimana rata-rata 70 orang melakukan bunuh diri setiap harinya, melebihi negara lainnya yang dikenal tinggi angka bunuh dirinya seperti Kazakhstan, Slovenia dan Argentina. Jika di negara lain bunuh diri sering terjadi di kisaran usia produktif, di Jepang hal itu tidak berlaku, budaya bunuh diri Jepang telah menjangkiti seluruh lapisan masyarakat baik itu di usia remaja, produktif hingga manula. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, di usia remaja kebanyakan bunuh diri disebabkan oleh bullying, di usia produktif disebabkan oleh jam kerja yang sangat padat hingga 100 jam dalam sebulan, dan di usia manula yang disebabkan oleh kesepian dan kesulitan dalam mengakses fasilitas umum seperti rumah sakit, faktor-faktor tersebut dinilai berperan besar dalam mendorong masyarakat Jepang untuk bunuh diri.

Namun sebenarnya budaya bunuh diri Jepang telah mengakar dalam kehidupan sosial dan budayanya sejak masa pendudukan Samurai di Jepang, istilah ini dikenal sebagai Seppuku/Harakiri, Seppuku merupakan cara samurai untuk mengembalikan harga diri & martabat hidupnya dengan cara merobek perut sendiri, hal ini biasanya disebabkan oleh Samurai yang gagal dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh Tuannya.

harakiri-seppuku-1-5cec0f313ba7f705b4640444.jpg
harakiri-seppuku-1-5cec0f313ba7f705b4640444.jpg
Budaya tersebut diwariskan secara turun temurun di masyarakat Jepang meskipun masyarakat Jepang modern sudah tidak menganut lagi budaya Samurai, budaya bunuh diri terus berlanjut dan mendarah daging dalam kehidupan sosial budaya Jepang. 

Melihat anak bangsanya terus menerus berguguran tanpa sempat berpartisipasi dalam kemajuan negaranya, Pemerintah Jepang mulai bertindak tegas dalam menangani kasus ini, meski bunuh diri di Jepang telah menurun dari puncaknya sebanyak 34.427 kasus pada 2003 hingga di tahun 2016 negara itu mencatatkan 21.897 kasus bunuh diri. Berbagai upaya seperti melarang pengadaan jam kerja yang ekstrim untuk para pekerja, melakukan kampanye anti bunuh diri, hingga membentuk tim sukarelawan yang bertugas mendekati orang yang diduga mengidap depresi. Kendati berbagai upaya tersebut berhasil menekan angka bunuh diri di Jepang, namun tetap saja tingkat bunuh diri di Negeri Sakura itu tetap tinggi. 

Karena berbagai upaya yang ada dinilai kurang berhasil, maka hadirlah Society 5.0, penanganan masalah ini harus dikupas pada tingkat akarnya, akar permasalahannya adalah buruknya sistem sosial dan budaya di Jepang. Dengan Society 5.0 diharapkan sistem sosial dan budaya di Jepang dapat terintegrasi dalam bentuk ruang fisik dan ruang maya, dengan kombinasi teknologi canggih seperti Artificial Intelligence, Robot, Drone dan nilai budaya yang luhur masyarakat Jepang, angka bunuh diri di Jepang diprediksi dapat menurun secara drastis.

Struktur masyarakat Jepang pun akan semakin lebih baik dengan kehadiran Society 5.0,  penerapan teknologi yang ada dapat menangani berbagai permasalahan yang ada seperti:

1. Masyarakat remaja tak perlu lagi khawatir akan bullying, karena sistem sekolah yang canggih akan mampu mendeteksi tindak bullying dengan bantuan Artificial Intelligence

2. Masyarakat produktif tidak perlu lagi bekerja secara ekstrim, karena kehadiran Artificial Intelligence akan sangat membantu pekerjaan para pekerja di Jepang

3. Masyarakat manula tidak perlu lagi bersusah payah datang untuk mendapatkan layanan rumah sakit, di Society 5.0 layanan rumah sakit akan lansung mendatangi pasiennya dengan bantuan Drone dan Robot.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun