Pernah ia menari di antara bendera dan angin,
membawa harum negeri hingga ke negeri asing.
Namanya melintas di udara resmi,
tapi tak pernah disematkan dalam doa anak sendiri.
Ia menanam pohon emas di pekarangan orang,
membangun rumah megah tak bertuan.
Setiap lantai, setiap pintu dulu miliknya,
kini jadi lorong sunyi yang tak mengenal namanya.
Ketika langitnya retak oleh luka di tubuh,
burung-burung yang dulu ia beri remah
terbang, menjauh dari sarang.
Tinggallah ia di taman tua yang tak pernah ia tanami,
terlantar bersama aroma obat dan selimut dingin,
menunggu pagi yang tak kunjung datang.
Ia tak lagi mengeja harapan,
doanya hanya satu: agar waktu segera selesai membacanya.
Karena rindunya telah membeku,
dan namanya tak lagi dipanggil di meja makan keluarganya.
Pernah ia jadi jendela dunia,
kini hanya bingkai tua yang dibiarkan berdebu.
Hidupnya adalah surat yang tak pernah dibalas,
dan kasihnya adalah mata air
yang dikuras, lalu dilupakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Baca juga: Aku Bisa Apa
Baca juga: Puisi Cinta
Baca juga: Teruntukmu
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!