Mohon tunggu...
Purwanto (Mas Pung)
Purwanto (Mas Pung) Mohon Tunggu... Guru - Pricipal SMA Cinta Kasih Tzu Chi (Sekolah Penggerak Angkatan II) | Nara Sumber Berbagi Praktik Baik | Writer

Kepala SMA Cinta Kasih Tzu Chi | Sekolah Penggerak Angkatan 2 | Narasumber Berbagi Praktik Baik | Kepala Sekolah Inspiratif Tahun 2022 Kategori Kepala SMA | GTK Berprestasi dan Inspirasi dari Kemenag 2023 I Penyuluh Agama Katolik Non PNS Teladan Nasional ke-2 tahun 2021 I Writer | Pengajar K3S KAJ | IG: masguspung | Chanel YT: Purwanto (Mas Pung) | Linkedln: purwanto, M.Pd | Twitter: @masguspung | email: bimabela@yahoo I agustinusp134@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penyuluh Agama Katolik sebagai Agen Moderasi di Tengah Pandemi Covid-19

8 Februari 2021   15:29 Diperbarui: 8 Februari 2021   15:56 2248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah lucu, sederhana dan penuh makna selalu saja ada setiap kali Gus Dur ketemu dengan Romo Mangun. Kita semua tahu Abdurahman Wahid atau Gus Dur adalah tokoh agama Islam. Pemimpin NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia. YB Mangunwijaya atau Romo Mangun adalah tokoh agama Katolik, seorang pastor. 

Suatu hari Gus Dur berkunjung ke tempat Romo Mangun. Setelah mereka berbincang dan ngobrol ke sana kemari, Gus Dur mau menjalankan sholat. Seperti biasa dengan sopan Gus Dur minta izin kepada Romo Mangun sembari bertanya di mana ia bisa pinjam ruang untuk sholat. Roma Mangun pun dengan santai menjawab, "Di serambi sebelah sana (sambil menunjuk serambi tersebut), tapi tikar itu harus dibersihkan dulu Gus. Itu habis dipakai tidur anjing".

Obrolan ini menggambarkan Gus Dur dan Romo Mangun sebagai pelaku moderasi beragama tulen. Tanpa dihalangi tafsir ekstrem Gus Dur tetap menjalankan perintah agama di tempat yang tidak ideal. Orang bisa saja berkomentar, "Lah, Gus Dur kan bisa saja sholat di masjid. Kan di dekat situ ada masjid".

Pertanyaannya kenapa Gus Dur memilih sholat di serambi milik Romo Mangun? Inilah pilihan yang mau menegaskan bahwa persahabatan, kerukunan, dan rasa damai dengan pemeluk agama lain adalah sangat penting, dan (mungkin) di atas ritual keagamaan. Semangat persahabatan, kerukunan, dan rasa damai dengan pemeluk agama lain didorong oleh empati kemanusiaan. Semangat seperti inilah yang mendasari moderasi beragama.

Yesus mengajarkan semangat ini melalui kisah orang Samaria yang baik hati (Luk 10:25-37). Sebuah refleksi semangat bela rasa untuk kehidupan yang rukun, damai dan sejahtera dalam masyarakat plural. Digambarkan di situ identitas para tokoh yang terlibat sangat beragam budaya dan agama seperti, imam, orang Lewi, dan orang Samaria.

Apa itu Moderasi Beragama?

Berbicara mengenai moderasi beragama kita tidak dapat melepaskan dari konteksnya, yaitu keberagaman atau kemajemukan atau multikultural. Dalam pembahasan ini, moderasi beragama saya tempatkan dalam konteks keberagaman agama di Indonesia.

Secara epistemologis, moderasi bisa dirujuk ke dalam bahasa Latin, "moderatio" yang artinya kesedangan, tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Sedangkan secara leksikal dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) moderasi adalah pengurangan kekerasan, penghindaran keekstreman.  Definisi moderasi agama menurut buku yang diterbitkan Kemenag (2019:17)  yang berjudul, "Moderasi Agama" dikatakan demikian, "sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama".

Lebih lanjut disampaikan ekstrem yang dimaksud dalam buku itu adalah ekstrem ultra-konservatif dan ekstrem liberal. Yang pertama  berpandangan bahwa tafsir mereka adalah satu-satunya yang paling benar sehingga yang lain keliru (tidak ada toleransi). Sedangkan ekstrem ke dua mendewakan kecemerlangan akal budi sehingga mengorbankan kesucian agama dan jatuh pada tolerasi yang berlebih-lebihan. Semua ditoleransi sejauh masuk akal. Karena itu disebut ekstrem liberal.

Dari rumusan arti dan definisi moderasi agama seperti tersurat di atas, makna moderasi agama dapat dirumuskan sebagai tindakan mengamalkan ajaran agama yang seimbang atau di antara dua kutub ekstrem, yaitu ekstrem konservatif dan ekstrem liberal.  Kemampuan bertindak secara seimbang ini disebut oleh Jocelyn Davis (2016:107) dalam bukunya, "The Greats on Leadership" sebagai ciri pembawaan atau karakter pemimpin yang efektif.

Seorang penyuluh agama Katolik sebagai agen moderasi beragama harus memiliki karakter pemimpin yang efektif. Di sini penyuluh agama Katolik harus mampu membantu peserta binaan menemukan dirinya, sesamanya dan Tuhannya dengan lebih baik. Dengan demikian peserta binaan punya karakter yang melihat ajaran agama dalam rangka mewujudkan kehidupan bersama yang rukun dan damai untuk membangun kesejahteraan.

Hal ini harus menjadi cara pandang setiap penyuluh agama Katolik. Sehingga setiap pengajaran menjadi proses membentuk cara berpikir pada diri binaan. Binaan menjadi individu yang mampu memaknai ajaran secara seimbang dan bertindak adil. Keyakinan iman dimaknai dengan perbuatan yang menghasilkan kedamaian, kerukunan dan kesejahtaraan. Itulah ukuran dari keberhasilan moderasi beragama.


Mengapa Moderasi Beragama Mendesak?

Dalam refleksi saya sebagai seorang penyuluh agama Katolik paling tidak ada 4 alasan mengapa moderasi beragama menjadi mendesak untuk dikembangkan.

Pertama, Komposisi Penduduk Indonesia Sangat Majemuk

Komposisi penduduk Indonesia memiliki keberagaman budaya, agama, suku bangsa, dan bahasa. Dari data Badan Pusat Statistik hasil sensus penduduk 2010 kita bisa melihat kemajemukan tersebut sebagai berikut. Jumlah penduduk mencapai lebih dari 237 juta yang tersebar di 17.504 pulau terdiri dari 1.340 suku bangsa. Bangsa Indonesia memiliki 746 bahasa daerah. Agama yang ada di Indonesia ada 7 agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan aliran kepercayaan. Komposisi terbesar penduduk adalah pemeluk agama Islam (87,13%)

Kemajemukan tersebut dari satu sisi menjadi potensi positif bagi pertumbuhan ekonomi karena menjadi daya tarik pariwisata. Seperti disampaikan oleh Presiden Joko Widodo bahwa kemajemukan bangsa Indonesia menjadi potensi melahirkan kreativitas. Tapi pada sisi lain diakui kemajemukan ini sering menimbulkan gesekan dan konflik horizontal.

Karena itu, penyuluh agama Katolik harus menjadi agen moderasi beragama agar kemajemukan ini menjadi kekayaan yang melahirkan kreativitas dalam rangka membangun masyarakat yang rukun, damai dan sejahtera.

Kedua, Globalisasi dan Perkembangan Teknologi

Globalisasi menghilangkan sekat wilayah. Dunia menjadi flat alias datar. Tidak ada satu peristiwa pun bisa disembunyikan atau diisolasi. Perkembangan teknologi digital internet of things (IoT) merasuk ke dalam setiap kehidupan manusia. Hal itu menyebabkan keadaan menjadi serba tidak pasti. Perubahan terjadi sewaktu-waktu. Manusia mudah terbawa arus informasi yang belum tentu benar. Propaganda dengan mudah dilakukan secara tidak kasat mata. Operasi cyber mengancam keutuhan manusia sebagai individu. Manusia mudah mengalami krisis identitas sebagai makhluk spiritual.

Perilaku manusia dengan mudah dikendalikan oleh kepentingan pasar (pramatis) daripada altar (hati nurani dan rasio) Karena itu penyuluh agama Katolik harus berani mengambil peran bukan sebagai penantang perubahan tetapi sebagai agen yang berusaha membangun keutuhan masyarakat berdasarkan identitas luhur manusia. Nah di sinilah menjadi agen moderasi beragama menjadi sebuah kemendesakan untuk terus dihidupi dan dijadikan cara berpikir bagi setiap orang yang ingin berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang rukun dan damai.

Ketiga, Sektarianisme dan Primordialisme Makin Kuat 

Krisis identitas membuat manusia cenderung membangun kenyamanan berdasarkan kesamaan identitas suku, agama dan budaya. Karena itu tidak mengherankan pada saat ini sektarianisme dan primordialisme tumbuh subur. 

Menurut penulis, hal ini makin subur pada saat pilkada. Calon kepala daerah tidak malu (malah bangga) mengangkat isu "putera daerah" dan menggunakan simbol keagamaan sebagai alat politik memenangkan pertarungan. Akibatnya kita sendiri merasakan, perpecahan terjadi di dalam masyarakat karena pilihan politik yang dikemas oleh isu agama. Hal ini tentu mengancam keutuhan bangsa.

Peristiwa lain yang sangat memprihatinkan terjadi bukan lagi dalam kancah dunia politik. Tetapi di dunia pendidikan. Misalnya, seorang guru di SMAN 58 Jakarta Timur melarang siswa memilih calon ketua OSIS yang bukan muslim. Moderasi beragama menjadi salah satu cara mengikis gerakan sektarianisme dan primordialisme yang mengancam keutuhan bangsa.

Keempat, Ujaran Kebencian dan Hoax Bertebaran di Media Sosial

Alasan lain kenapa moderasi beragama menjadi sangat mendesak adalah maraknya ujaran kebencian dan hoax di media sosial. Media sosial bagai pisau bermata dua. Bisa Anda gunakan untuk membangun tatanan sosial tetapi juga sebaliknya, bisa dimanfaatkan untuk menghancurkan orang lain. 

Yang sangat memperihatinkan justru yang terakhir. Media sosial banyak digunakan untuk menebar ujaran kebencian dan berita hoax. Sebagai contoh disampaikan oleh Menteri Kominfo bahwa hingga 5 Mei 2020 beredar 1.401 konten hoax dan disinformasi Covid 19. Dari penelusuran mesin AIS Kominfo berita bohong meningkat tajam sejak 2018 hingga 501 item hoaks.

Di media sosial Anda bisa menemukan orang secara terbuka menghina orang lain; orang menjelek-jelekan orang lain seolah dirinya yang paling benar. Yang kadang membuat kita miris adalah itu dilakukan oleh tokoh publik dan malah tokoh agama. Karena itulah penyuluh agama terpanggil menjadi agen moderasi beragama dalam upaya membangun hidup yang rukun dan damai.


Menjadi Agen Moderasi Beragama Sebuah Panggilan bagi Penyuluh Agama Katolik

Peristiwa yang menandai setiap orang kristiani menjadi anak Allah adalah pembaptisan. Dengan pembaptisan yang kita terima membuat kita dibersihkan dari dosa, dilahirkan kembali sebagai anak-anak Allah, digabungkan ke dalam Gereja dan ikut ambil bagian dalam perutusan Gereja.

Perutusan Gereja di tengah dunia yang pluralis ditegaskan dalam Lumen Gentium (LG) nomor 17 tentang sifat misioner Gereja. "Mewartakan kebenaran yang menyelamatkan" sebagaimana diperintahkan Yesus (bdk Mat 28:19-20). "Segala kebaikan yang tertaburkan  dalam hati serta budi orang-orang atau  dan upacara-upacara dan kebudayaan para bangsa sendiri, bukan saja tidak hilang, melainkan disehatkan, diangkat dan disempurnakan demi kemuliaan Allah, demi tersipu-sipunya setan dan kebahagiaan manusia".

"Kemuliaan Allah dan kebahagiaan manusia" adalah tugas misioner Gereja. Di mana nama Allah dimuliakan dan kebahagiaan manusia diperjuangkan, di situ moderasi beragama ditumbuhkambangkan. Dengan demikian setiap orang yang telah dibaptis mendapat panggilan memperjuangkan kehidupan yang rukun, damai, dan sejahtera sebagai agen moderasi beragama.

Tentu saja panggilan sebagai agen moderasi menjadi makin melekat pada diri penyuluh agama Katolik. Mereka hendaknya seperti Paulus yang berkata, "Celakalah aku, jika aku tidak mewartakan Injil" (1Kor 16:9) Di dorong oleh semangat yang sama penyuluh agama Katolik menjadi agen moderasi beragama di tengah pandemi Covid 19.

Model Penyuluhan Pada Era Pandemi Covid 19

Pada era pandemi seperti sekarang ini semua aktivitas dalam semua bidang kehidupan dilakukan secara online. Penyuluhan adalah proses pembelajaran dan pengajaran yang mengembangkan aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotor (keterampilan), yang juga dilakukan secara online. Romo FX. Sugiyana, Pr dalam buku "Hidup di Era Digital" (2015:67) menyebut katekese berbasis media digital. Menurut penulis berikut ini adalah beberapa cara model penyuluhan yang bisa dilakukan pada masa pandemi Covid 19.

Mengunggah Materi di Chanel YouTube

Penulis dalam melaksanakan penyuluhan menggunakan chanel YouTube untuk menyasar khalayak tanpa batas peserta binaan. Keuntungan lain adalah konten edukasi dan motivasi ini bisa diakses berulang kali oleh peserta binaan. Karena itu seorang penyuluh adalah seorang content creator. Inilah yang saya lakukan sebagai seorang penyuluh sekaligus pendidik.

Saya membuat chanel Two Minutes for Hope. Chanel ini berisi edukasi, motivasi dan solusi untuk memberikan motivasi secara lebih luas kepada masyarakat umum. Suatu hari hari ada seorang penonton yang menghubungi saya supaya saya menggunakan ayat-ayat kitab suci di dalam video itu. Saya tidak menggunakan ayat-ayat kitab suci karena sasaran saya adalah ikut membangun perubahan sikap (mental) masyarakat yang tidak terbatasi oleh identitas keagamaan.

Kenapa demikian? Saya mendasarkan pada dua hal. Pertama, moderasi beragama sasarannya adalah kehidupan yang rukun, damai, dan sejahtera dalam pluralisme beragama. Justru untuk mengikis primordialisme dan sektarianisme saya membuat chanel YouTube ini.

Alasan kedua adalah didasari oleh kisah orang Samaria yang baik hati (Luk 10:25-37). Di situ Yesus mengajarkan identitas "sesamaku". Sesamaku bukan orang yang sama agama, bukan yang sama suku, bukan yang sama profesi. Sesamaku adalah orang yang sedang membutuhkan pertolongan dan bantuan. Sesamaku adalah orang yang menderita dan tersingkir.

Selain chanel yang bersifat umum tersebut, saya membuat chanel PEMURIDAN. Di dalam chanel ini saya mengunggah materi refleksi tentang iman Katolik khusus untuk peserta binaan saya. Dengan dua chanel YouTube itu saya memaknai peran saya sebagai agen moderasi beragama.

Mewartakan Melalui Tulisan di Blog

Suatu hari Paulo Caelho mengatakan demikian, "Setiap orang pasti mempunyai pengalaman baik yang bisa ditulis" Perkataaan itu mau menjawab pertanyaan, "Apa yang bisa saya wartakan melalui tulisan?" Ya tentu pengalaman yang baik. Penyuluh itu kan memberi suluh (semangat). Karena itu hal-hal baik yang bisa memberi semangat kepada orang lain, itulah yang ditulis. Karena itu tidak ada alasan tidak bisa menulis. Yang ada adalah tidak mau menulis.

Tulisan-tulisan saya baik sebagai penyuluh maupun sebagai pendidik atau sebagai anggota masyarakat saya tulis di blog kompasiana (kompasiana.com/bimabela.com) dan blog "Crescat et Floreat" (agustinuspur.wordpress.com). Melalui tulisan itu saya ingin berbagi hal-hal positif. Saya ingin mewarnai media internet dengan hal positif. Dengan cara demikian saya menjadi agen moderasi beragama

Mengajar secara Kreatif dan Reflektif

Mengajar secara kreatif dan reflektif menjadi tantangan bagi para penyuluh. Kenapa ya? Karena ketika seorang penyuluh melaksanakan fungsi edukasi melalui pengajaran yang membosankan, tentu hal itu bisa berakibat fatal. Para binaan bisa menangkap keliru dan akhirnya membentuk cara berpikir yang salah.

Mengajar yang kreatif dan reflektif menjadi sangat penting ketika kita melaksanakan peran penyuluh sebagai pengajar. Ingat, sasaran kita adalah terbangunnya masyarakat rukun, damai dan sejahtera. Itu artinya para binaan kita harus menjadi orang Katolik yang hidup sebagai agen moderasi beragama juga. Sehingga mereka bisa membangun kehidupan rukun, damai dan sejahtera. Berarti ini soal sikap (heart) dan keterampilan (hand) bukan hanya soal mengetahui ajaran agama (head). Sikap dan keterampilan itu dibangun melalui pembelajaran yang kreatif dan reflektif.

Saya mendisain pembelajaran yang kreatif dan reflektif dengan metode experiential learning. Saya berusaha menampilkan kasus konkret agar materi ajar terkoneksi langsung dengan realitas binaan. Dan pada setiap pembelajaran selalu ada refleksi. Refleksi yang dilakukan binaan bermacam-macam. Dari mensharingkan pengalamannya sampai mempraktekkan tindakan kasih yang berdampak pada orang lain.

Berikut ini adalah tahapan proses metode experiential learning. Saya mengadakan pertemuan melalui video conference untuk membahas satu topik. Misalnya "orang Samaria yang baik hati". 

Setelah pembahasan teks perikop tersebut, kami membicarakan tindakan konkret apa yang bisa dilakukan untuk sesamaku pada masa pandemi ini.  Peserta binaan sepakat untuk memberi masker kepada orang yang tidak pakai masker. 

Lalu dengan mematuhi protokol kesehatan peserta binaan memberi masker kepada masyarakat yang tidak menggunakan masker. Mereka adalah orang-orang terpinggirkan seperti tukang bangunan, petugas kebersihan, pemulung dan sebagainya. Model pembelajaran kreatif dan reflektif ini dapat Anda lihat pada Chanel YouTube PEMURIDAN: Sesamaku manusia pada masa pandemi Covid 19

Foto: DokPri
Foto: DokPri
Optimalisasi Media Sosial dengan Hal-hal Positif

Saat ini media sosial menjadi sarana yang paling efektif untuk memengaruhi orang. Karena itu media sosial dimanfaatkan sebagai ladang tebar pengaruhi hampir semua bidang kehidupan. Baik positif maupun negatif, baik menyangkut hal duniawi maupun surgawi. Semua ada, termasuk radikalisme tumbuh melalui media sosial. Ujaran kebencian dan hoax bertebaran di media sosial dengan sangat masif.

Melihat seperti ini haruslah menjadi peluang bagi para penyuluh untuk mewarnai media sosial dengan berita positif. Berita yang membuat masyarakat hidup rukun, damai dan sejahtera. Karena itu menurut saya seorang penyuluh harus aktif di media sosial seperti IG, twitter, FB, Linkedln dan lain-lain. Media sosial harus menjadi ladang bagi penyuluh untuk menabur benih-benih Kerajaan Allah. Media sosial sebagai lahan untuk membangun moderasi beragama.

Membangun Dialog Kehidupan Antarpemeluk Agama

Kita masih ingat peristiwa bersejarah abad 21 terkait dengan kerukunan hidup antarumat beragama. Paus Fransiskus mengujungi Imam Besar Al Azhar dari UEA, Ahmed Al-Tayeb. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada 04 Februari 2019

Mereka saling berpelukan setelah menandatangani dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamian Dunia dan Hidup Bersama. Pada kesempatan itu, Ahmed Al-Tayeb menyebut Paus Fransiskus "Sahabat dan saudaraku". Sebuah sebutan yang memaknai moderasi beragama. Cara beragama yang saling melindungi pemeluk agama yang berbeda.  

Peristiwa ini menjadi sebuah cermin besar bahwa tidak ada satu ajaran agama pun yang menghalangi manusia hidup rukun (berpelukan), saling menghormati dan sekaligus merayakan kehidupan di atas perayaan ritual keagamaan. Peristiwa ini juga menjadi contoh bentuk konkret penghayatan hidup keagamaan secara seimbang.

Pada era pandemi Covid 19, setiap orang adalah sahabat dan saudara kita. Seperti kisah orang Samaria yang baik hati, penyuluh agama Katolik harus mampu membangun dialog kehidupan. Artinya berbuat baik kepada setiap orang yang membutuhkan bantuan. Tidak memandang manusia dari identitas keagamaan tetapi dari kemanusiaannya. Dengan dialog kehidupan setiap orang berkembang menjadi manusia yang semakin manusiawi.

Penutup dan Saran

Pada bagian penutup ini, penulis menyampaikan dua hal penting, yaitu kesimpulan dan saran.

Kesimpulan

Kemajemukan diterima sebagai realitas kodrati. Di Indonesia, keberagaman beragama masih sering digunakan sebagai alat untuk memobilisasi massa, khususnya pada saat menjelang pesta demokrasi atau pilkada. Kekerasan atau konflik horizontal yang terjadi karena isu agama lebih banyak disebabkan oleh ekstrem ultrakonservatif dan atau ekstrem liberal.

Untuk mencegah terjadinya konflik sosial, perlu sebuah gerakan cara beragama yang seimbang, yaitu mengurangi ekstrem konservatif dan ekstrem liberal. Itulah sebuah cara beragama yang disebut moderasi beragama. Penyuluh agama Katolik harus mengambil peran menjadi agen moderasi beragama, dan terus melakukan pembinaan agar para binaan menjadi agen moderasi beragama.

 

Saran

Untuk mampu menjadi agen moderasi beragama yang membangun kehidupan masyarakat rukun, damai dan sejahtera, penyuluh agama Katolik harus melakukan penyuluhan secara kreatif dan kontekstual antara lain:

Menggunakan media sosial sebagai ajang penyuluhan (katekese).

Membangun chanel YouTube untuk penyuluhan. Seorang penyuluh adalah seorang content creator.

Melakukan penyuluhan melalui tulisan. Penyuluh hendaknya giat menulis di media sosial atau menjadi blogger.

Mendisain pembelajaran yang selalu ditindaklanjuti dengan aksi dan refleksi.

Membangun dialog kehidupan antarpemeluk agama yang berbeda.

Dengan demikian, penyuluh agama Katolik telah melanjutkan misi Gereja di tengah dunia yang terus berubah. Nama Allah semakin dimuliakan dan kebahagiaan semakin terpancar dalam hidup masyarakat yang berbeda agama, seperti Gus Dur dan Romo Mangun. Tidak ada ajaran dan tasir agama yang menghalangi mereka rukun dan damai kendati keduanya berbeda agama. Atau seperti Imam besar Al Azhar, Ahmed Al-Tayeb yang menyebut Paus Fransiskus sebagai "sahabat dan saudaraku"

Daftar Pustaka

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. 2019. Moderasi Agama. Kemenag RI

Badan Pusat Statistik. 2010. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Balitbang BPS

Danan Widharsana, Petrus & R.D. Victorius Rudy Hartono. 2017. Pengajaran Iman Katolik. Kanisius

David, Jocelyn. 2016.  The Great on Leaderships. Elex Media Komputindo

Dokumen Konsili Vatikan II. 2017.  Lumen Gentium. OBOR

Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat Anti Kekerasan dan Diskriminasi. Gramedia

----------------2020. Jalan Baru Kepemimpinan & Pendidikan: Jawaban atas Tantangan      Disrupsi-Inovatif. Gramedia

Komisi Kateketik KWI. 2015.  Hidup Di Era Digital. Kanisius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun