Pernyataan Gubernur bahwa proyek-proyek ini 'mau tidak mau harus dilakukan' mencerminkan mentalitas yang salah.
Infrastruktur, memang harus dibangun, tentu saja. Tetapi, cara pelaksanaannya harus memprioritaskan minimalisasi gangguan terhadap kehidupan warga.
Hak warga untuk mobilitas yang lancar tidak boleh dikorbankan, demi pembangunan yang tidak terencana dengan baik.
Saya kritis terhadap lemahnya koordinasi antarinstansi yang menyebabkan tumpang tindih proyek.
Ketika PAM Jaya menggali untuk pipa air, SJUT menggali untuk kabel, dan JSDP menggali untuk sanitasi di koridor yang sama atau berdekatan tanpa sinkronisasi, ini adalah pemborosan sumber daya dan penambahan beban yang tidak perlu terhadap warga.
Ini bukan hanya masalah teknis semata, tetapi masalah leadership dan governance yang harus dipertanggungjawabkan.
Sikap saya juga kritis terhadap komunikasi publik yang buruk. Proyek-proyek yang tidak memiliki papan informasi jelas, timeline yang tidak transparan, dan minimnya keterlibatan dengan masyarakat terdampak menunjukkan arogansi birokrasi yang tidak dapat diterima dalam era tata kelola yang baik.
Pemerintah harus memahami, bahwa warga adalah stakeholder utama yang berhak mendapat informasi lengkap dan layanan publik yang berkualitas.
Tiga pilar reformasi manajemen infrastruktur Jakarta
Pertama, implementasikan Sistem Manajemen Proyek Infrastruktur Terpadu.
Pemerintah DKI harus membentuk unit khusus yang mengoordinasikan semua proyek infrastruktur dengan timeline terpadu dan teknologi canggih.
Semua proyek galian, baik PAM Jaya, SJUT, maupun JSDP, harus diintegrasikan dalam satu rencana induk dengan prinsip 'gali sekali, pasang semua.'