Ketika Gubernur Pramono Anung mengatakan proyek-proyek ini 'mau tidak mau harus tetap dilakukan,' ini menunjukkan mindset yang salah: seolah-olah tidak ada pilihan selain mengorbankan mobilitas warga demi pembangunan infrastruktur.
Proyek di TB Simatupang yang dimulai dari Pasar Minggu, hingga Ampera menunjukkan skala yang masif tanpa perencanaan traffic management yang memadai.
Di Menteng, seng galvalum putih menutup trotoar dan memakan badan jalan, namun pekerja jarang terlihat, indikasi lemahnya supervision dan progress monitoring.
Fakta bahwa 29 dari 43 titik galian PAM Jaya baru selesai hingga September 2025 menunjukkan kecepatan eksekusi yang tidak optimal, sementara gangguan terhadap lalu lintas berlangsung berbulan-bulan.
Dari perspektif tata kelola pemerintahan yang baik, situasi ini mencerminkan kegagalan prinsip-prinsip dasar manajemen publik.
Transparansi rendah karena banyak proyek tanpa papan informasi yang jelas. Akuntabilitas lemah karena tidak ada timeline konkret yang dikomunikasikan kepada publik.
Efisiensi buruk karena metode konvensional masih dominan ketimbang teknologi trenchless yang lebih minim gangguan.
Responsivitas terhadap keluhan masyarakat juga minim, terlihat dari terus berulangnya pola yang sama di berbagai titik.
Argumen saya diperkuat oleh fakta, bahwa Jakarta bukan kota pertama yang menghadapi tantangan pembangunan infrastruktur di tengah kepadatan lalu lintas.
Kota-kota besar seperti Singapura, Seoul, dan Tokyo berhasil menjalankan proyek infrastruktur masif tanpa melumpuhkan mobilitas warga melalui perencanaan terpadu, penggunaan teknologi canggih, dan komunikasi publik yang efektif. Jakarta, seharusnya bisa belajar dari praktik terbaik tersebut.
Pemerintah harus mengubah paradigma dari 'terpaksa' menjadi 'terencana'
Saya mengambil posisi tegas, bahwa Pemprov DKI Jakarta harus mengubah paradigma pembangunan infrastruktur dari yang bersifat 'terpaksa dan reaktif' menjadi 'terencana dan proaktif.'