Patung dan topeng berkarakter yang masing-masing punya cerita, wayang kulit yang sarat makna filosofis, telepon kuno yang masih bisa berfungsi dengan sempurna.
Mesin ketik yang kokoh dan tahan lama, tape radio dengan kualitas suara yang jernih, hingga piringan hitam berisi koleksi lagu-lagu langka yang sudah tidak diproduksi lagi.
Bahkan, barang-barang yang terkesan sederhana, seperti senter aluminum dan lampu petromak pun mendapat perhatian khusus.
Alat musik tradisional yang masih bisa dimainkan tetap terjaga dengan baik, menunggu tangan-tangan yang akan kembali memainkan melodi indah.
Semua ini, adalah bentuk konservasi yang dilakukan secara alamiah, jauh sebelum konsep ekonomi sirkular, menjadi tren di kalangan pegiat lingkungan.
Para pedagang, meskipun tanpa menyadarinya, sebenarnya berperan sebagai penjaga keberlanjutan modern.
Mereka tidak hanya menjual barang, tetapi juga merawat dengan penuh dedikasi, memastikan setiap item tetap dalam kondisi prima.
Bahkan, memberikan informasi berharga tentang sejarah dan cara perawatan kepada calon pembeli.
Proses tawar-menawar yang menjadi ciri khas, tidak hanya menentukan harga, tetapi juga memastikan barang tersebut benar-benar dibutuhkan dan akan dirawat dengan baik oleh pemilik baru.
"Topeng yang ini berapa harganya?" tanya saya ke seorang penjual sambil menunjuk ke dinding toko.
"Kalau yang itu Rp 500.000. Dua topeng jadi Rp 1 juta. Bisa ditawar," jawabnya.
Meskipun sewa toko sudah mendapat diskon 50 persen dari Rp 300.000 menjadi Rp 150.000 per bulan, para pedagang masih memerlukan keringanan lebih lanjut.