Mohon tunggu...
BIDADARI PERTIWI
BIDADARI PERTIWI Mohon Tunggu... mahasiswa

haiiii nama ku bidadari pertiwi, panggil aja bida. aku sekarang lagi kuliah di malang dan pengen nyari hobi yang bermanfaat buat keberlangsungan ku di kampus. aku baru belajar nulis sih, tapi semoga dengan awal ini aku bisa jadi penulis yang lebih baik. salam kenalllll:D

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perjalanan Kuliner Nusantara dari Abad ke-16 Hingga Abad ke-19

13 Juni 2025   18:00 Diperbarui: 10 Juni 2025   11:23 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menelusuri Sejarah Perkembangan Kuliner Nusantara dari Abad ke-16 Hingga abad ke-19

Bidadari Pertiwi

Email: bidadari.pertiwi.2407326@students.um.ac.id

Abstrak

Keberagaman dan luasnya jenis makanan yang ada di Indonesia merupakan bukti bahwa Indonesia memiliki berbagai macam cara untuk mengolah sumber makanan yang ada. Keberagaman dalam cita rasa dan kuliner ini tidak semata-mata muncul begitu saja, namun melalui perjalanan sejarah yang Panjang.  Kedatangan Eropa di abad ke-16 hingga kedatangan Jepang di abad ke-20 serta bangsa-bangsa lain juga sangat berdampak terhadap perkembangan kuliner di Indonesia. Namun, perjalanan kuliner Indonesia bukan berarti baru dimulai saat bangsa Eropa datang di abad ke-16, melainkan kuliner Indonesia sudah mulai berkembang sejak abad ke-10, enam abad sebelumnya. Banyaknya macam makanan yang ada di Indonesia terjadi akibat akulturasi antara bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain yang pernah singgah di Indonesia seperti Cina, India, Inggris, Jepang, Belanda, dan bangsa-bangsa lainnya. Artikel ini bertujuan untuk menelusuri dan memaknai sejarah kuliner Indonesia yang Panjang dan beragam, serta untuk mengetahui apa saja interaksi yang telah terjadi di antara bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain yang dapat memengaruhi terciptanya jenis makanan baru di Nusantara.

Kata kunci: Makanan, Perkembangan Kuliner, Budaya, Nilai

Abstract

The diversity and breadth of food types in Indonesia is proof that Indonesia has various ways to process existing food sources. This diversity in taste and cuisine did not just appear out of nowhere, but through a long historical journey. The arrival of Europe in the 16th century to the arrival of Japan in the 20th century and other nations also had a huge impact on the development of culinary in Indonesia. However, Indonesia's culinary journey did not just start when the Europeans arrived in the 16th century, but Indonesian cuisine had begun to develop since the 10th century, six centuries earlier. The many types of food in Indonesia are the result of acculturation between the Indonesian people and other nations that have stopped in Indonesia such as China, India, England, Japan, the Netherlands, and other nations. This article aims to trace and interpret the long and diverse history of Indonesian cuisine, as well as to find out what interactions have occurred between the Indonesian people and other nations that can influence the creation of new types of food in the archipelago.

Key words: Food, Food Development, Culture, Value

PENDAHULUAN

Makanan merupakan salah satu kebutuhan utama manusia yang tidak dapat digantikan.
Sejak zaman pra-sejarah, mencari makanan merupakan kegiatan utama yang dilakukan manusia. Dalam buku Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia karya sejarawan Israel, Yuval Noah Harari, kebudayaan baru bisa dibangun setelah manusia mengalami evolusi dalam penyediaan makanan (Harari, 2017). Pencarian makanan kemudian berkembang, kini mencari dan mengolah makanan bukan hanya dilakukan sebagai jawaban atas kebutuhan pangan, melainkan juga sebagai hobi dan pekerjaan seiring dengan meningkatnya kemampuan intelektual manusia (Toussaint-Samat, 2009). Makanan memiliki fungsi yang besar dan signifikan dalam fungsi biologis manusia, diantaranya memberi energi yang diperlukan untuk melakukan aktifitas, memelihara metabolisme, memberi pertahanan terhadap penyakit dan mengganti jaringan tubuh yang telah rusak (Notoatmodjo, 2003). Hari-hari ini makanan tidak hanya dilihat dari aspek biologis saja, melaikan juga dilihat dari aspek sejarah, politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan.

Kelangkaan sumber daya makanan, rempah-rempah dan bumbu, cara pengolahan, dan lama waktu pengolahan terkadang menjadi alasan dibalik tingginya harga makanan tertentu di pasaran. Walaupun tidak jarang tingginya harga suatu hidangan berasal dari tempat di mana hidangan itu dibuat, seperti restoran bintang lima atau restoran dengan tiga Michelin star. Hal ini membuktikan bahwa makanan juga dapat dijadikan sebagai tolok ukur kekayaan seseorang, seperti hidangan lobster yang dibilang hanya dapat dinikmati masyarakat kelas menengah atas atau hidangan oyster, kaviar, dan steak wagyu yang hanya dapat dinikmati masyarakat kelas atas. "Citarasa" (taste), secara kultural dibentuk dan dikendalikan secara sosial (Mennell, Fadly Rahman 2016:8). Menurut Mennell, selera seseorang dalam makanan sangat bergantung pada kondisi sosial yang dihidupinya dan status sosial yang dimilikinya beserta orang-orang di sekitarnya.

Selain kekayaannya terhadap budaya dan alamnya yang begitu indah, Indonesia juga memiliki keberagaman dalam hal makanan. Beberapa makanan asal Indonesia yang telah mendunia di antaranya: rendang, nasi goreng, mie goreng, dan sate yang sudah terkenal hingga mancanegara sejak dulu. Keberagaman makanan ini ternyata tidak hanya dipengaruhi dari banyaknya suku dan jenis rempah yang Indonesia miliki, namun juga karena Indonesia dulunya merupakan jalur perdagangan yang sangat strategis. Letak geografis yang strategis inilah yang membawa pedagang-pedagang internasional datang ke Nusantara untuk berdagang dan sekaligus bertukar kebudayaan yang salah satunya merupakan makanan. Interaksi antara pedatang dan penduduk asli inilah yang menjadikan Nusantara sebagai tempat bertukarnya berbagai produk kebudayaan internasional, termasuk resep-resep makanan baru.

Sejak periode kolonial Belanda yang menjajah Nusantaradi abad ke-17 hingga awal abad ke-20 di saat Jepang mulai datang dan menduduki Nusantara menggantikan Belanda pada rentang tahun 1942-1945 (masa perang Asia Timur Raya), perkembangan makanan Nusantara mulai sedikit terjadi perubahan. Mulai muncul beberapa jenis makanan baru pada periode tersebut.  Perubahan yang terjadi juga tidak terbatas pada bertambahnya jenis masakan saja, namun juga pada pola makan masyarakat setempat pada masa itu.

Perjalanan sejarah kuliner Nusantara merupakan suatu perjalanan yang sangat panjang. Pencampuran budaya dan cita rasa baru yang terjadi saat bangsa asing mulai masuk ke negeri ini telah memberikan Nusantara variasi dan cara-cara baru dalam mengolah sumber makanan yang kita miliki. Melalui artikel ini diharapkan masyarakat Indonesia dapat menjadi tahu tentang sejarah salah satu kekayaan terbesar yang Indonesia miliki, yaitu sejarah kuliner dan bukan hanya mengetahui saja, namun juga dapat memaknai bagaimana proses suatu jenis makanan dapat muncul dan menjadi salah satu bagian dari kuliner Nusantara.

METODE PENELITIAN

Artikel ini menggunakan metode penelitian kualitatif kritik sumber yang menggunakan sumber-sumber berupa artikel, buku dan essays yang membahas topik serupa untuk mengkaji perjalanan sejarah kuliner Indonesia dari abad ke-17 hingga awal abad ke-20. Sumber-sumber yang penulis pakai dalam artikel merupakan sumber-sumber sekunder yang telah diperiksa terlebih dahulu legitimasinya.

PEMBAHASAN

Pengaruh Bangsa Eropa (Portugis, Spanyol, dan Belanda) pada abad ke-16 Hingga Abad ke-19 Terhadap Perkembangan Kuliner Nusantara

Beras meerupakan pemasok karbohidrat utama bagi masyarakat Asia Tenggara, tidak terkecuali Indonesia. Persamaan ini terjadi akibat adanya kesamaan kondisi geografis dan kebudayaan antara Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara. Jenis makanan di Asia Tenggara sudah dibentuk melalui kondisi geografisnya sejak saat masa paleolitikum (Fdly Rahman, 2016). Meskipun tanaman berkarbohidrat lain selain padi seperti, ketela, ubi, kentang, talas, dan sagu sudah lebih dahulu menolong kehidupan manusia untuk bertahan hidup, padi tetap menjadi pemasok karborhidrat utama bagi Asia Tenggara termasuk Indonesia. Meski beras sudah menjadi sumber karbohidrat utama, bagi masyarakat Nusantara dan Asia Tenggara yang tinggal di daerah gersang, dapat memakan nasi adalah sebuah kemewahan (Reid, 2011). Anggapan beras sebagai komoditi mewah juga diperkuat dengan disebutkannya kata beras di beberapa sumber sejarah seperti, Prasasti Taji 901 masehi, naskah Rahmayana dan Arjuna Wijaya, dan naskah Korawacrama yang menyebut kata ketan (laketan) dan lepet (Fadly Rahman, 2016). Adanya sumber-sumber sejarah yang memperkuat hal ini telah membuktikan bahwa beras telah menjadi sumber makanana pokok sejak lama.

Selain beras atau nasi, masyarakat di Asia Tenggara dan Nusantara khususnya yang tinggal di daerah pesisir juga memakan ikan-ikan laut dan hewan-hewan laut lainnya serta mengetahui cara membuat garam. Selain menjadi perasa dalam makanan dan masakan, garam juga sering digunakan sebagai pengawet alami yang sangat umum dipraktekan di Asia Tenggara. Di Nusantara sendiri, pemasok garam terbesar adalah Jawa Timur, yang kemudian para pedagang membawanya ke Sumatra, Sulawesi, hingga Maluku. Selaikan ikan yang sudah diasinkan atau dikeringkan dengan garam, ikan segar juga telah menjadi makanan utama masyarakat pesisir Asia Tenggara dan Nusantara. Ikan dan hewan laut lainnya dapat menjadi makanan pokok masyarakat setempat karena ikan bukanlah hewan yang dianggap suci atau melambangkan suatu agama tertentu.

Untuk masyarkat yang tidak tinggal di sekitar pesisir, daging merupakan salah satu makanan paling populer yang sering dikonsumsi oleh masyarakat sekitar. Meskipun sering dikonsumsi dan termasuk dalam makanan yang cukup populer, konsumsi daging di Asia Tenggara dan Nusantara dapat dibilang rendah. Hal ini dikarenakan daging dianggap memiliki nilai ritus yang asalnya dari suatu tradisi atau adat kepercayaan setempat. Maka dari itulah daging menjadi memiliki nilai yang mahal dan sakral. Upcara-upacara adat khas Nusantara seperti upacara kelahiran, kematian, ruwatan diri, atau ruwatan pemukiman selalu melibatkan perngorbanan hewan yang berupa kepala ataupun bagian tubuh lainnya, yang kemudian dilanjutkan dengan pembagian daging ke masyarkat (Reid, 2011). Hewan yang biasanya dikorbnakan untuk berjalannya upcara-upacara adat diantaranya, kerbau, anjing, sapi, babi, kambing, dan ayam.

Selain kekayaan hayati, hewani dan budaya, Nusantara juga memiliki keyaan lain yang bagi negara-negara di Asia Tenggara bahkan Eropa merupakan emas yang sangat berharga. Kekayaan itu adalah kekayaan rempah-rempah, yang bahkan sebelum bangsa Eropa datang ke Nusantara, rempah-rempah sudah menjadi komoditas dagang populer pada masa itu. Buah-buahan yang bermacam-macam juga menjadi daya tarik tersendiri. Seorang pedagang Eropa, Bontius, mengatakan bahwa ornag-orang Eropa dan Cina terkesan dengan keeragaman dan kegemaran berlebihan orang Asia Tenggara dalam menikmati buah-buahan (Reid, 2011). Iklim tropis yang dimiliki negara-negara Asia Tenggara dan Nusantara memberikan pengaruh yang sangat besar bagi kelangsungan hidup tanaman buah dengan memberikan curah hujan yang cukup dan panas yang cukup pula.

Perkembangan makanan Nusantara sudah lama dimulai, jauh sebelum era kolonial terjadi di abad ke-17. Pada awal abad pertama masehi hingga abad ke-16 masehi, makanan Nusantara banyak dipengaruhi oleh kebudayaan India, Cina, dan Timur Tengah akibat adanya interaksi dagang yang terjadi. Kedatangan bangsa Eropa kemudian juga turut memberi pengaruh terhadap berkembangkan kuliner di Nusantara. Adanya pengaruh baru yakni pengaruh barat ini sangat Nampak terlihat dalam mulai munculnya makanan-makanan baru dengan pengaruh kolonial (Belanda) antara lain, semur, perkedel, kroket, lapis legit, kastengel, nastar, dan klappertaart yang kini sudah menjadi bagian dari kuliner Nusantara (Utami, 2018).

Kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara diawali oleh negara Spanyol dan Portugis yang tiba secara bersamaan pada abad ke-16. Tanaman-tanaman yang umum bagi kita sekarang seperti jagung (Zea mays), ubi kayu (Manihot esculenta), cabai (Capsicum anuum), buncis (Phaseolos vulgaris), terong (Solanum melongena), nanas (Ananas comosus), sawo (Achras zapaota), dan srikaya (Annona squamosa) merupakan tanaman-tanaman yang dibawa Portugis dan Spanyol ke Nusantara. Kedatangan Spanyol dan Portugis juga memengaruhi Teknik pengolahan dan konsumsi masyarakat,  khususnya daging. Bangsa Portugis mengenalkan beberapa teknik mengolah daging seperti, memanggang (assado), mencampur daging dengan bahan bumbu (recheado), merebus (buisado), dan mengukus (bafado), sehingga daging tidak lagi selalu berhubungan dengan ritual adat dan bermakna sakral seperti pada abad-abad sebelumnya.

 Setelah kedatangan Spanyol dan Portugis ke Nusantara, bangsa Eropa terakhir yang masuk ke Nusantara adalah bangsa Belanda. Pada awalanya Belanda datang ke Nusantara dengan misi yang berbeda dengan Spanyol dan Portugis. Dengan kongsi dagangnya, Belanda bersama VOC, hanya ingin fokus pada pencarian rempah-rempah yang nantinya ingin dijual kembali ke Eropa. Kisah sejarah tentang kolonialisasi Belanda atas Indonesia yang selama ini kita dengar dan baca, ternyata bukanlah fokus utama Belanda pada awal bangsa ini datang. Setidaknya sampau abad ke-18 barulah Belanda mulai memiliki keinginan untuk menguasai Nusantara dengan kolonialisasi. Dituliskan dalam buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun, Susan Blackburn (2011), bahwa Jan Pieterszoon Coen sudah berkali-kali meminta Heren 17 untuk mengajak masyarakat elit Belanda untuk datang ke Batavia, tapi permintaan itu selalu saja ditolak. Coen mengakatan bahwa orang-orang Belanda yang tinggal di Batavia merupakan orang-orang rendahan yang tidak berperadaban.

Sepanjang periode awal kolonialisasi yang terjadi di abad ke-16 hingga ke-19, pengaruh bangsa Eropa khususnya Belanda justru tidak terlalu signifikan. Dibandingkan dengan Spanyol dan Portugis yang sudah memperkenalkan beberapa tanaman baru dan teknik pengolahan daging, Belanda Nampak tidak terlalu signifikan dalam perkembangan kuliner di Nusantara. Seorang ahli botani VOC berkebangsaan Jerman yang bernama Rumphius, memulai penelitiannya di Ambon dan dari penelitiannya ini ia telah berhasil mendokumentasikan 1.200 spesies tanaman yang kemudian data itu dicatat dalam berbagai bahasa antara lain, Belanda, Latin, Melayu, dan jika memungkinkan akan diterjemahkan juga ke dalam bahasa Ternate, Portugis, dan Hindustan (Fadly Rahman, 2016). Salah satu tanaman yang didokumentasikan oleh Rumphius adalah buah sukun (Soccuncapas) yang ditemukannya di Ambon. Buah yang umum bagi masyarakat lokal ini disebut oleh masyarkaat kolonial sebagai "buah ajaib" atau "buah roti" (bread fruit) atau broodvroucht (Fadly Rahman, 2016). 

Pada awal kedatangan Belanda di akhir abad ke-16, peran Belanda dalam perkembangan kuliner Nusantara malah tidak berkontribusi apa-apa. Bangsa Belanda terkenal angkuh dan lebih memilih untuk fokus dalam pencarian rempah-rempah Nusantara untuk nantinya dijual kembali ke Eropa. Baru pada pertengahan abad ke-19 hingga abad ke-20, saat Belanda menjalankan politik kolonialisme di Nusantara, pengaruh Belanda terhadap kuliner Nusantara mulai terlihat. Lewat kebijakan politik kolonialisme ini, terjadilah persilangan antar kebudayaan Belanda dengan kebudayaan lokal yang akhirnya melahirkan kebudayaan baru yang bernama kebudayaan Indis (Djoko Soekiman, 2000). Melalui kebudayaan baru ini, mulai lah berkembangnya berbagai jenis makanan baru hasil akulturasi yang muncul di masa itu. Beberapa masih bertahan hingga saat ini dan beberapa telah hilang dalam masa pendudukan Jepang.       

Kebudayaan Indis dan Pengaruhnya Dalam Perkembangan Kuliner Nusantara (Abad ke-19) Hingga Masa Pendudukan Jepang

Pada awal masuknya Belanda ke Nusantara, memang benar jika Belanda sama sekali tidak tertarik untuk membuat koloni di Nusantara. Hal ini didasari oleh pola pikir masyarakat Belanda pada masa awal itu yang menganggap diri mereka adalah yang paling superior, berpendidikan, dan berkebudayaan dibanding dengan bangsa lain apalagi dengan pribumi. Mereka akan menutup diri dan akan menjauhi segala apapun yang berhubungan dengan pribumi dan hanya fokus dalam kegiatan perdagangan rempah-rempah dengan para penguasa lokal saja. Hingga pada abad ke-18, ambisi Belanda dalam membentuk koloni di Nusantara mulai muncul untuk menggantikan perdagangan sebagai tujuan utama, yang secara perlahan interaksi ini menimbulkan akulturasi kebudayaan antara Belanda dengan pribumi.

Hasil pencampuran kedua kebudayaan ini kemudian dinamai "kebudayaan Indis" (Djoko Soekiman, 2000). Kebudayaan campuran ini terjadi pada sekitar periode abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-20 yang ditandai dengan semakin intensifnya interaksi antara Belanda dengan pribumi. Proses pencampuran budaya ii melibatkan kaum intelektual Belanda diantaranya seperti seniman, cendikiwan, arsitek, dan rohaniawan, serta kaum terpelajat pribumi sebagai para agen kebudayaan. Adanya andil kaum terpelajar pribumi dalam proses pencampuran kebudayaan ini adalah untuk memastikan bahwa kebudayaan asli Nusantara tidak akan hilang (Djoko Soekiman, 2000). Kebudayaan baru hasil campuran dari kebudayaan Belanda dan Nusantara ini telah memberikan pengaruh yang signifikan dalam segmentasi kehidupan, termasuk pada pengolahan makanan, pola makan, dan kemunculan berbagai varian makanan baru.

Pencampuran budaya ini ternyata bukan dilakukan tanpa alasan. Makanan ternyata bisa dijadikan sebagai salah satu cara untuk menyebarkan agama Kristen yang cukup strategis dengan mengubah seleranya mengikuti kebudayaan dominan kemudian membuat yang ditaklukan bergantung pada "mulut dan perut" alias selera si dominan (Fadly Rahman, 2016). Seperti yang terjadi di Maluku dan Sulawesi Utara dengan munculnya kue onbijkoek, kue dengan bahan baku rempah seperti cengkih, kayumanis, jahe, dan pala, yang merupakan hasil perpaduan kue bolu dan taart khas Eropa. Ada juga klapertaart, kue taart berbahan tepung, gula, susu, mentega, daging, kelapa, dan santan. Begitu pun spekkoek, kue lapis legit hasil modifikasi lapis legit Belanda-Hongaria (dobostorte) yang dimodifikasi dengan ditambahkannya rempah-rempah (Moertono, 1985). Kue-kue tersebut merupakan contoh makanan hasil persilangan budaya. Dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa makanan dapat memegang peranan penting dalam persebaran agama Kristen ( zending) yang dilakukan oleh misionaris pada abad ke-19.

Abad ke-19 merupakan masa dimana perkembangan makanan terjadi secara besar-besaran. Sistem Cultuurstelsel yang diterapkan Belanda ternyata memberi dampak besar bagi perkembangan variasi makanan yang terjadi di Nusantara. Bahan-bahan makanan yang populeritas meningkat antara lain, jagung, kelapa, aren, wuluh, dan padi. Pertumbuhan penduduk yang semakin padat membuat permintaan atas padi semakin menigkat. Peningkatan produksi bahan makanan membuat variasi bahan makanan menjadi lebih banyak, variasi bahan makanan membuat jenis makanan yang dapat dihasilkan juga semakin beragam, ditambah dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat membuat produksi dan permintaan untuk bahan makanan dan pola makanan yang semakin berkembang pula.

KESIMPULAN

Dalam artikel ini kita dapat melihat betapa interaksi anatara suatu individu dengan individu lain bisa sangat berpengaruh dalam perkembangna sesuatu. Masuknya bangsa-bangsa asing ke Nusantara yang tujuannya adalah untuk berdagang ternyata dapat memberikan dampak lain yang terasa hingga hari ini. Masuknya bangsa-bangsa Asia Tenggara yang kemudian dilanjutkan dengan bangsa-bangsa Eropa telah meninggalkan warisan budaya yang sangat membekas di Nusantara. Banyaknya spesies tanaman baru yang ditemukan, dicatat, lalu dibudidayakan, berkembangnya jenis makanan baru yang dihasilkan dari pencampuran dua atau bahkan lebih dari dua budaya telah menambah kekayaan yang sudah dimiliki Nusantara.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, M. 2022. Mengintip Sejarah Jejak Kuliner pada Masa Kolonial Era Sebelum Kemerdekaan. Www.Realitarakyat.Com. https://www.realitarakyat.com/2022/01/mengintip-sejarah-jejak-kuliner pada-masa-kolonial-era-sebelum-kemerdekaan/

Djoko Soekiman. 2000. Kebudayaan Indis Dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII-Medio Abad XX) (Pertama). Bentang Pustaka.

Harari, Y. N. 2017. Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia (Pertama). Kepustakaan Populer Gramedia.

Reid, A. 2011. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Utami, S. 2018. Kuliner Sebagai Identitas Budaya: Perspektif Komunikasi Lintas Budaya. CoverAge: Journal of Strategic Communication, 8(2), 36--44. https://doi.org/10.35814/coverage.v8i2.588

Djoko Soekiman. 2000. Kebudayaan Indis Dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII-Medio Abad XX) (Pertama). Bentang Pustaka.

Yusuf Budi P. S, Hendi Irawan. 2023. Sejarah Perkembangan Makanan Indonesia Dari Abad Ke 10 Hingga Masa Pendudukan Jepang. https://jurnalbpnbsumbar.kemdikbud.go.id/index.php/penelitian/article/view/364/pdf

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun