Mohon tunggu...
bambang hermansyah
bambang hermansyah Mohon Tunggu... -

Saya adalah pria asal Kalimantan Barat, menempuh studi di Pascasarjana Universitas Indonesia. Aktif di Dewan Kerja Nasional, Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Multikulturalisme di Alam Demokrasi

26 Februari 2012   08:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   09:08 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Multikulturalisme di Alam Demokrasi

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang berlangsung di setiap daerah dan Pemilihan Presiden (Pilpres), pesta demokrasi setiap lima tahunan akan di gelar, panggung demokrasi akan di pertontonkan untuk merebut simpati dan hati publik. Yang namanya panggung, akan di dekorasi sebaik mungkin, serapi mungkin bahkan bila perlu semewah dan semegah mungkin, agar banyak orang yang merapat ke panggung tersebut.Namun perlu di ingatkan bahwa panggung tersebut hanya lah tempat sementara untuk pertunjukan,tempat yang awalnya biasa – biasa saja menjadi indah dan menarik,. Panggung Demokarsi yang di praktekan di banyak tempat, tak lebih seperti ilustrasi di atas, oleh karena harus mengerti dan mengetahui betul apa yang ada di balik panggung.Pilkada langsung yang lahir dari produk demokarsi telah memberikan warna tersendiri dalam berpolitikan di tanah air, di mana di massa orde baru rakyat hanya sebagi penonton panngung demokarsi, sekarang menjadi pemain dan langsung pada tahap memutuskan. Perubahan ini tentu memberikan dampak yang positif di sisi lain juga memberikan efek yang negatif, terhadap kondisi sosial kemasyarkatan dan keamanan.

Dampakpositif tersebut antara lain, rakyat dapat memilih kepala daerahnya secara langsung, dengan demikian rakyat mendapat pendidikan politik yang mengarah kedewasaan dalam berpolitik. Dampak negatifnya adalah rawan akan konflik, baik vertikal dan horizontal. Konflik vertikal di pahami, konflik yang terjadi antar elit yang mempunyai kepentingan terhadap proses dan pemenangan calon. Konflik horizontal adalah konflik yang terjadai pada akar rumput atau sesame masyarakat, sebagai akibat dari saling mendukung calon yang di “jagokan”. Konflik yang terjadi secara horizontal ini sangat rawan karana tidak jarang melibatkan massa dalam jumlah besar, dan tidak jarang pula berakhir dengan bentrok fisik dan pengrusakan. Jika ini terjadi situasi sosial, ekonomi, politik dan keamanan terganggu, akibatnya pembangunan sebagai tujuan yang dapat di jembatani melalui pilkada langsung akan terputus atau tidak tercapai. Kerawanan sosial dan keamanan akan semakin rawan ketika pilkada berada pada masyarakat yang multikultural, atau yang memilki keberagaman. Karena sudah dapat di pastikan masing – masing kelompok atau golongan yang ada di masyarakat tersebut terlibat aktif dalam perhelatan demokrasi tersebut.

Ketika mereka masuk, golongan atau kelompok tersebut akan “dimainkan” sebagai basis suara yang memiliki tingkat loyalitas yang cukup tinggi terhadap golongan atau kelompoknya. Kekuatan kelompok atau golongan juga di manfaatkan sebagai sumber dukungan di lapangan jika berhadapan dengan kelompok laiannya, dan ini salah satu penyebab konflik horizontal terjadi. Terkadang kerawanan yang terjadi di horizontal, di sebabkan oleh elit yang berada di garis vertikal menarik mereka dalam ranah adu kekuatan untuk mencari kemenangan. Perbedaan golongan ini akan semkin rawan jika melibatakan etnis, agama dan suku dalam politik praktis, ketiga elemen tersebut merupakan aspek budaya bahkan keyakinan yang keberadaannya melekat langsung pada individu, dan dari individu – individu tersebut memiliki kesamaan nilai, adat, tradisi maka di sebutlah ia suku, agama dan atau etnis . Budaya merupakan konstruksi sosial yang di bangun atas dasar keluhuran budi dan akal manusia yang mulia, oleh karena itu keberadaannya tidak terlepas dari manusia, sangat di junjung tinggi, keberadaannya dan jika di ganggu sedikit akan langsung bereaksi, karena sifatnya yang sensitif.

Multikulturalisme sebagaimana yang di tulis Syarif Ibrahim Alqadrie dalam menulisakan pendapat beberapa pengamat, seperti Watson, 2000 dan Suparlan 2001, mengatakan bahwa multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual, kelompok maupun secara budaya. Dalam masyarakat yang mejemuk perbedaan – perbedaan merupakan sesuatu yang alamiah, tidak dapat di hindarai, oleh karena itu kesadaran akan bahwa kita hidup di tengah – tengah masyarakat beragam cepat merasuk kedalam pikiran, perbuatan dan mungkinjuga hati.

Kemajemukan sudah lama ada di negara ini, bahkan sebelum negara Indonesia terbentuk, para pendiri bangsa telah menyadari bahwa keberagaman yang ada merupakan realita sosial yang tidak dapat di bantahkan. Mereka menyadari perbedaan ini sebagai kekuatan untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), catatan sejarah mengawali dengan lahirnya Sumpah Pemuda 1928, dengan Satu Tanah Air, Satu Bangsa dan Satu Bahasa Indonesia ketika dan setelah Indonesia Merdeka kebergaman tersebut diikat dalam hukum dasar formal dan simbol – simbol yang terdapat dalam Pancasila, Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945, Batang Tubuh UUD 1945 terutama Pasal 32, Pasal 18 B dan Bhinneka Tunggal Ika. Antony Giddens mengatakan ini merupakan bentuk dari nasioalimse di mana warganegara berafiliasi terhadap simbol – simbol dan kepercayaan yang menekankan komunalitas di antara anggota sebauah tatanan politik.Simbol – simbol yang di sebutkan dia atas bersumber padanilai – nilai, adat istiadat, norma – norma dan kebiasaan yang melekat secara umum pada semua kelompok yang ada di republik tercinta ini. Semua golongan atau kelompok terwadahi dalam bingkai NKRI tanpa intimidasi apa lagi diskriminasi, kesamaan dan kesederjatan segala bidang di jamin secara hukum oleh negara. Termasuk di dalam hukum dan pemerintahan, UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28 memberikan aturan yang tegas dan jelas.

Oleh karena itu ketika ada Pemilu atau pun Pilkada semua warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk di pilih dan memilih, terlebih sistem politik Indonesia yang demokrasi. Demokarsi itu sendiri, sejatinya memilki nilai - nilai yang berlaku secara universal, yaitu nilai kebebasan, persamaan, kedaulatan rakyat, toleransi dan peacefull conflict resolution (menyelesaikan konflik dengan cara damai). Artinya antara Multikulturalisme dan Demokrasi memilki kesamaan, yaitu sama – sama menempatkan perbedaan dalam kebebasan dan persamaan, sama – sama menginginkan adanya perdamaian dalam perbedaan. Berpijak dari nilai – nilai di atas, sebagai sebuah bangsa yang mempraktekan demokrasi dalam tatanan politik, sebenarnya tidak ada lagi persoalan tentang siapa dan dari kelompok atau golongan mana ia berasal untuk ikut dalam panggung demokrasi. Memilih calon berdasarkan kesamaan golongan atau kelompok bukanlah pilhan yang rasional, yang harus di lihat ketika memilih adalah track record, kapasitas, kapabilitas serta visi dan misinya untuk membangun daerah atau bangsa kedepan. Perasaan primordialisme atau etnisitas yang tinggi dalam perhelatan demokrasi kiranya tidak lagi relevan di alam demokrasi, basis suara yang hanya mengandalkan loyalitas atau sentimen etnisitas merupakan pola – pola lama yang sudah tidak lagi di pakai di negara asal demokrasi.

Sudah saatnya kita sebagai rakyat tidak salah memilih, karena jika salah dalam memilih, akan terperosok pada kubangan kelambanan pembangunan, 5 (lima) tahun menunggu untuk memperbaiki kesalahan pilihan bukanlah waktu yang singkat. Perbedaan dalam pilihan atau pendapat adalah hal yang biasa, Robert K. Merton dalam tulisanya mengatakan bahwa kritik dan perbedaan pendapat merupakan bagian dari mekanisme yang mampu menyegarkan struktur sehingga ia cendrung mengarah pada keterbukaan dari ketertutupan dan kekakuan selama ini. Dengan kata lain bahwa perbedaan - perbedaan yang ada pada masyarakat multikulturalisme, harus tetap berada pada situasi harmonis dan damai, terbuka akan hal – hal yang berbeda. Partai politik sebagai satu – satunya organisasinya yang secara hukum ikut serta dalam pesta demokarsi, yang memiliki massa dan kandidat yang “dijagokan” harus membuat dan menjamin bahwa multikulturalisme dan demokrasi menciptkan kedamaian untuk pembangunan yang berkelanjutan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun