Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ada Asa Dalam Cinta - Bagian 27

21 Desember 2014   02:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:50 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14174301761325464123

Kisah sebelumnya: (Bagian 26)

(Bagian 27)

Borne lantas balik bertanya asal almamater Basuki, “Kalau Mas Basuki sendiri dulu ambil apa di State?”

Basuki tersenyum mendapati pertanyaan itu. Ia seperti sudah menunggunya. “Yeah…. Saya waktu itu sih ambilnya di NYU.”

“Jurnalistik Mas?”

“Iya. Memang sudah sejak SMA saya ingin jadi wartawan.”

“S-1 atau S-2 di sana?”

“Cuma S-1 kok… Saya belum S-2…”

“Wah, kok cuma... Tapi S-1-nya kan di sana… Saya S-1-nya di sini…” ujar Borne. Mereka berdua seperti sedang berlomba saling merendah.

Cinta sedari tadi seperti disisihkan dari pembicaraan. Memang, kalau lelaki sedang bicara soal pencapaian, sepertinya banyak wanita malah tidak menganggapnya penting. Tetapi ada sesuatu dalam pembicaraan barusan yang menarik hati Cinta, maka ia pun bertanya, “Mas Basuki, NYU itu… New York University?”

Basuki melihat ke arah Cinta yang masih memakan puddingnya lambat-lambat. Jawabannya singkat saja, “Iya… Betul.” Ia lantas seperti sedang mengingat-ingat sesuatu, lalu ia menambahkan kalimatnya, “Waktu di sana, saya juga sempat jadi semacam asisten dosen… saya ingat ada mahasiswa dari Indonesia juga yang kuliah di sana.. Tapi… saya kok lupa namanya ya?”

Entah mengapa, dada Cinta berdebar. Apakah itu…?

*******

[Museum of Modern Arts, Manhattan-New York]

Rangga dan Jeanette makan di satu sudut. Sementara Adrien setelah ikut mengantarkan dan mengambil makanan, pamit untuk bergabung dengan kelompok lain.

Jeanette tampaknya berusaha membuat suasana menyenangkan, maka ia bertanya kepada Rangga, “What do you think about him?”

Rangga mengunyah makanan di mulut dan menelannya sebelum menjawab, “Him? Do you mean Adrien?” Jeanette menyambutnya dengan anggukan kepala. “Well, nice gentleman. Smart and good personality. Are you two ever…?”

Jeanette tertawa ringan, “No. Don’t worry, We are just a friend.” Rangga pun memahami.

“Well, do you think his profession is unique, don’t you?” Jeanette meminta persetujuan.

“Yes, I think so. Actually, I believe he could explain about arts more detail thank anybody else that I know in my world,” puji Rangga.

“I think… I would make him my source for next issue,” Jeanette memastikan.

“That’s will good. He is reliable source and of course far more easy to reach because he is your friend,” Rangga mendukung.

Tanpa diduganya, dari samping kanan seorang pria paruh baya mendekat. Ia pun menyapa Rangga dengan bahasa Mandarin, “Rangga, Nǐ zài zhèlǐ.”

Rangga yang ditepuk bahunya menoleh. “Ah, Mr. Chang. Wǒ zài zhèlǐ gǎndào yìwài yùjiàn nǐ.”

Pria yang jelas berwajah oriental itu terkekeh, lalu berseloroh, “Zhè shì wǒmen de mìngyùn, yāoqǐng shì zhǎng, shuí hái gǎn jùjué?"

Rangga pun tertawa sosial, ia lantas bertanya, “Nǐ xǐhuān shèyǐng yě?”

Pria yang disapa Mr. Chang malah meminta Rangga yang mengajarinya, “Wǒ juédé nǐ kěyǐ jiào wǒ.Nǐ shì shèyǐng shī, bùshì ma?”

Rangga tersenyum, “Wǒ shì. Dàn wǒ bùshì zhuānjiā.”

Tiba-tiba, pria tua itu memelankan suaranya, ia menunjuk kepada Jeanette sambil mengerling dan bertanya, “Tā shì shuí? Shuí shì nǐ shēnbiān nàxiē piàoliang de nǚhái ma? Tā shì nǐ de wèihūnqī huò nǚ péngyǒu?”

Meski tidak menunjuk dengan telunjuk yang tidak sopan, tetapi tetap saja gerakan tangannya yang memegang gelas champagne terlihat jelas. Apalagi ditingkahi tawa setelahnya. Rangga tampak juga agak salah tingkah.

Wajah Jeanette merah padam, ia merasa dibalas oleh Rangga. Karena tadi ia sempat bicara dengan Adrien menggunakan bahasa Prancis yang tidak dimengerti Rangga. Kini Rangga bicara dengan seseorang dengan bahasa Mandarin yang tidak dimengertinya. Dan tampak jelas kalau mereka berdua membicarakan dirinya karena bapak itu menunjuk-nunjuknya dan Rangga pun meliriknya. Jeanette memutuskan untuk masuk ke pembicaraan, “Excuse me, Sir. Do you speak English?”

Bapak tua itu tertawa, ia menepuk-nepuk bahu Rangga sebelum menjawab, “Yes. Of course, I am New Yorker also… don’t worry pretty…”

Rangga cepat menyambar kalimat itu demi sopan-santun, “Mr. Chang, please introduce my… working mate, Jeanette.” Jeanette pun menyalami tangan pria itu sambil mengangguk santun.

“Jeanette, Mr. Chang live near my house at China town. He own the best restaurant there….,” puji Rangga. Mr. Changmerendah dengan menunjukkan gesture “jangan percaya” kepada Jeanette. Ia meralat kalimat itu, “Maybe not the best restaurant, but he is my best and loyal customer. And his… girlfriend are most welcome at my house also, not only at my restaurant.”

Mendengar kalimat terakhir Mr. Chang, Rangga seperti memberi kode kepada pria itu dengan gesture “kok ngomong gitu sih?” tetapi keburu Jeanette menyambutnya gembira, “Well, I am flattered invited by you, and of course he often brought many girl friends there?”

“Nope, never.He always comes alone, that make him easily to spot. You will be the first then,” jawab Mr. Chang sambil tertawa melirik Rangga. Pria itu menurunkan bahu dengan gesture “yah, kok buka kartu sih?”

“Rangga, why your face like that? Maybe you need to drink more…,” goda Mr. Chang melihat raut wajah Rangga yang memerah karena malu.

“Good advice Mr. Chang. But I’m not sure she like Chinese food, because she is French,” Rangga berusaha mengelak.

Jeanette mencubit lengan Rangga, “How dare you said like that. It’s impolite you know… I like any food, including Chinese food. You must bring me to his restaurant immediately, do you promise?”

Rangga merasa tersudut, agar pembicaraan cepat usai, ia pun menjawab, “Your wish is my command, my Princess…”

Jeanette dan Mr. Chang tersenyum puas. Tak lama setelahnya, Mr. Chang berpamitan hendak mengambil penganan lain. Tinggallah Rangga dan Jeanette berdua.

“So, I have a promise to do after this occasssion, huh?” kata Rangga agak jengkel karena dipaksa berjanji tadi. Meski sebenarnya janji itu mudah saja ditepati. Tetapi itu berarti memberi kesempatan kepada Jeanette untuk tahu lebih dalam mengenai dirinya.

Dengan wajah penuh kemenangan, Jeanette pun menjawab, “Yes, indeed. I am insist that I am still Princess, right?”

Rangga tambah gemas dan hendak mencubit pipi Jeanette, tangannya sudah terangkat tapi kemudian berhenti di udara. Ia tersadar pada situasinya. Rasanya tidak elok kalau ia yang bukan siapa-siapanya Jeanette melakukan kontak fisik seperti itu.

*******

[Mobil Maura, dalam perjalanan menuju mall tempat Cinta dan Borne berada]

Suara musik dari radio terdengar menyeruak mengatasi obrolan seru cewek-cewek penumpang mobil. Cewek tetap saja cewek, kalau ketemu ramenya bisa melebihi pasar malam.

“Gile ya, kok bisa sih Cinta malah jalan sama Borne gitu?” komentar Carmen terdengar ketus.

“Lucu juga… kalau Rangga tahu, bisa berabe tuh…,” Maura menimpali.

Alya menukas tak setuju, “Kenapa juga? Rangga kan bukan apa-apanya Cinta lagi?”

Carmen menanggapinya dengan rasa ingin tahu, “Lho, mereka bukannya udah jadian lagi? Kan kemarin Cinta cerita gimana saat dia ngejar ke bandara, terus mereka kontak-kontakan terus…”

“Yaaah… itu bukan berarti jadian kan?” Alya pun menukas santai.

Mobil pun memasuki pelataran parkir. Supaya cepat, Maura memilih menggunakan jasa valet parking. Karena mencari parkir di Sabtu malam Minggu seperti itu lebih sulit daripada hari biasa. Mereka pun dengan bersemangat segera turun dari mobil dan berjalan cepat menuju ke lokasi Cinta berada. Tiba-tiba smartphone Alya bergetar.

“Halo… Gimana Ta?”

Suara Cinta di ujung sana terdengar agak jauh, mungkin karena koneksinya kurang bagus, tapi tetap terdengar oleh Alya, “Alya… Sori, tempatnya pindah ya… Lu udah pada di mana sekarang?”

“Kita udah sampe nih, baru mau ke tempat lu…,” jawab Alya.

“Nggak, nggak… jangan ke tempat tadi. Gue udah nggak di sana…,” Cinta berusaha mencegah.

“Oh, jadi mau ketemuan di mana?” tanya Alya. Hening sesaat, tampaknya Cinta sedang bepikir. Lalu ia pun menjawab cepat, di depan toko buku aja deh. Nanti kita pikirin lagi mau ke mana, OK?”

“Ya udah kalo gitu… kita ke sana…” jawab Alya dan hubungan telepon pun terputus.

Alya lantas ‘memberikan pengumuman’ kepada teman-temannya, “Girls, ini Cinta minta ketemuan di depan toko buku aja katanya.”

Maura heran, “Lho, kenapa juga sama restoran yang tadi?”

“Dia udah nggak di sana katanya,” jawab Alya. Tentu saja jawaban itu mengundang kecurigaan di pikiran mereka. Tetapi daripada berprasangka, mereka pun mempercepat langkah agar segera bertemu Cinta. Lima menit kemudian, sampailah mereka di tempat yang dituju. Dari jauh, sudah terlihat Cinta berdiri sambil memainkan smartphone-nya. Sendirian. Teman-temannya berpandangan satu sama lain. Tentu saja yang ada di pikiran mereka sama.

Ketika akhirnya bertemu, mereka pun berpelukan dan cipika-cipiki. Segera saja pertanyaan yang telah melanda benak sejak tadi ditanyakan. Maura yang berinisiatif bertanya, “Kok sendirian? Mana? Tadi katanya ada Borne?”

Raut wajah Cinta agak tidak enak saat menjelaskan, ia mencoba memilih kalimat hati-hati. “Iya… tadi Borne kirim salam. Dia minta maaf nggak bisa nungguin kalian, soalnya musti jemput adiknya yang habis latihan basket di Senayan.”

Carmen tampak tertarik, “Latihan basket? Wah, seru dong. Siapa tahu bisa jadi cerita-cerita.”

Cinta melihat kea rah Carmen, “Bisa juga tuh… tapi tadi gue belum sempat ceritain soal lu yang pelatih basket. Soalnya tadi dia udah ditelepon?”

“Kok kesannya buru-buru gitu sih?” tanya Maura menyelidik.

Cinta mencoba menjelaskan, “Sebenarnya sih, tadi rencananya dia mau ngajak gue sekalian jemput adiknya habis makan. Tapi kan ada lu-lu mau dateng, ya udah gue yang pamitan sama dia nggak bisa ikutan jemput adiknya.”

“Oh, gitu? Gimana dia sekarang?” tanya Carmen penasaran. Cinta tampak mengutak-atik smartphone-nya, lalu menunjukkan foto yang mereka sempat diambil di dalam restoran tadi. Mereka meminta bantuan pelayan untuk memotretkan. Terlihat di layarnya foto tiga orang. Cinta berada di tengah, diapit Borne di sebelah kiri dan Basuki di sebelah kanannya.

“Nih, ini dia… gimana menurut kalian?” tunjuk Cinta pada sosok Borne dalam foto.

Carmen tampak menimbang-nimbang, dan memberi penilaian yang sok jual mahal, “Yeah, lumayan lah...”

Maura cuma mengangguk-anggukkan kepala, Milly membelalakkan mata supaya lebih jelas. Dan Alya kemudian bertanya memastikan, “Eh, cowok yang di kanan itu kemarin yang di kantormu kan Ta?”

“Mana, mana?” Carmen, Maura dan Milly ikutan memperhatikan.

“Lho, iya! Kok ada dia juga sih?” Maura menyelidik.

Carmen tambah usil, “Jadi, double date nih ceritanya?”

Cinta melotot, “Enak aja! Emang gue cewek apaan?”

Teman-temannya tertawa mendengar komentar nyolot Cinta. Tetapi kerumunan mereka di tengah koridor depan toko buku tentunya terasa mengganggu. Cinta pun mengajukan usul, “Gue ceritain deh ntar, tapi kita cari tempat duduk dulu yuk…”

“Boleh tuh, mau di mana?” Carmen malah bertanya tanpa ide.

“Gue tahu, kan Cinta mau nraktir kita… Yuk, gue tunjukin tempat yang enak,” ajak Maura.

“Yah… jangan yang mahal-mahal ya… Jadi sensi nih gue!” Cinta seperti memohon pengertian.

“Tenang aja… gak mahal kok…,” ujar Maura.

“Eh, tapi… gue boleh ke toko buku ini dulu nggak, bentaar aja… mau ada yang gue cari,” pinta Cinta. Maura dan Carmen berpandangan mata. Carmen memberikan usulan, “Gue tunggu di tempat makan aja gimana? Gue lagi males jalan-jalan, apalagi di toko buku.” Maura pun mengangguk setuju. Milly memilih ikut bersama mereka. Sementara Alya malah berkata lain, “Gue nemenin Cinta boleh?”

Maka, kelompok itu pun terbelah dua. Maura, Carmen dan Milly langsung menuju ke tempat makan. Sementara Alya dan Cinta masuk ke toko buku.

(Bersambung besok)

Cerita bersambung ini dimuat setiap hari di laman penulis http://kompasiana.com/bhayu

Untuk membaca kisah seluruh bagian yang lain, dapat mengklik tautan yang ada dalam daftar di:

Ada Asa Dalam Cinta (Sinopsis & Tautan Kisah Lengkap)

———————————————————————

Foto: Antono Purnomo / Reader’s Digest Indonesia (Femina Group)

Grafis: Bhayu MH

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun