Korupsi bukan lagi hal yang mengejutkan di negeri ini. Bukan pula sekadar berita yang datang sesekali. Di Indonesia, korupsi sudah seperti debu menyebar di mana-mana, tak terlihat tapi terasa, dan sayangnya sudah dianggap biasa.
Coba perhatikan berita-berita di televisi, media sosial, atau portal berita daring. Hampir setiap minggu, ada saja pejabat yang tertangkap tangan karena suap, anggaran proyek yang diselewengkan, atau bantuan sosial yang dikorupsi.Â
Bahkan, tak sedikit yang nekat korupsi di tengah krisis kemanusiaan. Ironisnya, pelaku sering kali masih bisa tersenyum di depan kamera, seolah tak merasa bersalah. Lebih ironis lagi, masyarakat pun perlahan menjadi terbiasa.
Lalu timbul pertanyaan: Apakah korupsi di Indonesia sudah bukan lagi kasus, melainkan budaya?
Data Corruption Perceptions Index (CPI) 2023 dari Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat ke-115 dari 180 negara dengan skor 34/100.Â
Ini menandakan bahwa persepsi korupsi di Indonesia masih tinggi. Dalam bahasa sederhana: banyak orang, termasuk dunia internasional, melihat bahwa korupsi sudah sangat mengakar di negeri ini.
Yang mengkhawatirkan, korupsi tidak lagi terjadi hanya di tingkat atas. Di desa, di sekolah, di proyek-proyek kecil, bahkan dalam pengurusan dokumen, praktik curang dan pungli masih kerap ditemukan. Dari skala besar hingga yang kecil, korupsi seolah hadir di berbagai sudut kehidupan.
Ada beberapa hal yang membuat korupsi terasa seperti budaya. Pertama, banyak pelaku korupsi hanya dihukum ringan, lalu kembali beraktivitas seperti biasa. Kedua, mentalitas asal saya untung masih melekat kuat di berbagai kalangan.Â
Ketiga, sistem birokrasi kita yang berbelit dan kurang transparan membuka banyak celah untuk penyalahgunaan wewenang. Dan keempat, kurangnya keteladanan dari tokoh-tokoh penting, baik di ranah politik, birokrasi, bahkan di lingkungan masyarakat sendiri.
Yang lebih menyedihkan, generasi muda pun mulai menormalisasi perilaku tidak jujur.Â