Pernahkah kamu merasa capek bukan karena tugas yang menumpuk, tapi karena energi negatif dari orang-orang di sekitarmu? Mungkin itu teman yang suka menyindir halus, pasangan yang selalu membuatmu merasa bersalah, atau bahkan lingkungan organisasi yang penuh drama dan manipulasi.Â
Mereka mungkin tidak berteriak atau memukul, tapi kata-katanya tajam, sikapnya dingin, dan kehadirannya justru bikin kamu merasa tertekan. Inilah yang sering disebut dengan lingkungan toxic.
Masalahnya, banyak dari kita memilih diam. Kita bertahan dengan alasan demi menjaga hubungan, takut dicap baper, atau mungkin akunya aja yang terlalu sensitif.Â
Padahal, rasa tidak nyaman itu nyata. Luka yang tidak terlihat bukan berarti tidak sakit. Diam bukan hanya bentuk toleransi, tapi kadang justru menjadi bentuk pengkhianatan terhadap diri sendiri.
Sebagai mahasiswa, kita hidup dalam fase yang seharusnya penuh pertumbuhan belajar mengenal diri, membangun relasi sehat, dan memperluas wawasan.Â
Tapi bagaimana mungkin kita bertumbuh jika setiap hari kita harus menyembunyikan luka, memaksakan senyum, dan membiarkan diri terus dilukai secara emosional?
Menghadapi toxic itu tidak semudah memencet tombol blokir. Tapi kita bisa mulai dari langkah kecil belajar mengatakan tidak, menetapkan batasan, dan menyadari bahwa menjaga kesehatan mental adalah tanggung jawab pribadi.Â
Kadang, memilih menjauh bukan berarti lemah, justru itu tanda bahwa kita cukup kuat untuk mencintai diri sendiri lebih dulu.
Jika kamu merasa berada di lingkungan toxic, ingatlah ini kamu tidak sendirian. Banyak orang di luar sana juga sedang berjuang. Bercerita kepada orang yang dipercaya, mencari bantuan profesional, atau bahkan sekadar menulis perasaanmu bisa menjadi langkah awal menuju pemulihan.
Diam memang terasa aman, tapi bukan solusi jangka panjang. Kita berhak untuk merasa tenang, dihargai, dan dicintai tanpa manipulasi. Jadi, jangan biarkan dirimu terus terjebak. Bangkitlah, dan mulai prioritaskan dirimu sendiri.