Mohon tunggu...
Bernard  Ndruru
Bernard Ndruru Mohon Tunggu... Dosen - Pantha Rhei kai Uden Menei

Pengagum Ideologi Pancasila

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dilema Kemanusiaan terhadap Napi di Tengah Pandemi Covid-19

4 April 2020   13:29 Diperbarui: 5 April 2020   00:05 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keputusan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang menerbitkan Peraturan Menkumham Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menkumham Nomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 untuk membebaskan 30.000 napi dewasa dan anak, menuai polemik di kalangan masyarakat.

Seliweran pendapat prokontra menghiasi media massa nasional. Semua netizen dan tokoh-tokoh publik memiliki alasan tersendiri yang bisa "dibenarkan" untuk mengafirmasi dan menolak keputusan tersebut. Salah satu contoh alasan yang setuju dengan keputusan tersebut, memiliki dalil bahwa hal ini bisa diterima dengan alasan kemanusiaan.

"Mereka juga manusia yang secara real patut pada hukum dan memiliki hak untuk mendapat pembebasan (bersyarat maupun karena habis masa tahanannya)".

Sementara yang lain yang tidak setuju dengan hal tersebut mempertanyakan soal rasa keadilan terhadap subyek hukum (napi) yang mendapat remisi dalam bentuk pembebasan bersyarat.  Hal ini juga dikaitkan dengan esensi yang termuat dalam sila kelima Pancasila yang berbunyi 'keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia'.

Kedua alasan mendasar yang dikemukakan diatas memiliki nilai tersendiri yang secara logis bisa dibenarkan secara hukum dan kemanusiaan. Menjadi pertanyaan, bagaimana dinamika akan perlakuan tersebut bisa diterima dengan mempertimbangkan sisi baik-buruk dan benar-tidaknya di hadapan sesama dan Tuhan. Apakah cukup dengan alasan ancaman pandemi global bernama C-19, Kemenkumham layak memberlakukan itu?

Untuk diketahui bersama bahwa jumlah Napi yang menghuni seluruh fasilitas rutan dan lapas (semua kelas) yang ada di Indonesia, berjumlah sekitar 252an ribu. Jumlah ini hampir 60% melebihi kapasitas tempat penampungan Napi yang seyogianya hanya bisa menampung 170an ribu Napi. Artinya, ada overcapacity bahkan bisa mencapai 300% di beberapa tempat yang ada di Indonesia.

Melihat kenyataan di atas, tentu kita miris sebagai warga negara bahwa pelaku kejahatan (tidak termasuk yang belum tersentuh hukum) di Indonesia sangatlah banyak. Hal ini tidak akan mungkin bisa disepadankan dengan kondisi penjara di Belanda yang penghuninya hampir tidak ada dan gedung penjara terancam dirobohkan di beberapa kota.

Berdasarkan keputusan di atas dapat kita pahami bersama bahwa, pada pembebasan bersyarat melalui asimilasi dan integrasi yang diberlakukan oleh Kemenkumham, subyeknya adalah narapidana umum  dan narapidana anak yang jumlahnya sekitar 30an ribu. Dari kedua kategori yang dimaksud tentu ada pembagian berdasarkan syarat khusus yang berlaku agar napi layak mendapatkan status napi asimilasi dan integrasi.  

Syarat khusus yang diberlakukan oleh Kemenhumkam berdasarkan keputusan tersebut adalah sudah menjalani masa tahanan setidaknya 2/3 atau setengah dari masa tahanan; sanggup melaksanakan wajib lapor berkala setelah mendapat remisi dengan menunjuk wali yang bertanggung jawab dan menjamin terhadap keberadaan para napi; tidak boleh keluar kota selama masa asimilasi dan integrasi diberlakukan; Napi yang berumur diatas 60 tahun; Kemenkumham juga melakukan kerjasama dengan pihak kepolisian dan petugas hukum lainnya untuk melakukan pengawasan.

Dan yang paling penting adalah napi yang berhak mendapat asimilasi dan integrasi sudah dibekali dengan pelatihan-pelatihan khusus menyangkut pengembangan SDM dan moral selama dalam masa tahanan, agar kelak dalam interaksi dengan dunia luar bisa berkompetisi dalam menjalani kehidupan layaknya yang lain.

Alasan ini masuk akal dan mendasar untuk mempersiapkan 'mantan' napi kembali ke lingkungan sosialnya seperti biasa. Sementara gugatan pemikiran lain yang berbeda dengan ini adalah bahwa harusnya napi pelaku korupsi yang jumlahnya sekitar 4500 dari total 252.000 napi (sekitar 1,8%) tidak serta merta mendapat kemudahan mendapatkan syarat asimilasi dan integrasi ini, mengingat bahwa para koruptor sebenarnya lebih 'jahat'. (hal ini dihembuskan oleh orang dan kelompok yang memang kita juga belum tahu kebenarannya, karena belum ada klarifikasi resmi dari pihak Kemenkumham dan lembaga resmi terkait lainnya)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun