Oleh sebab itulah, para pengajar di perguruan tinggi sebaiknya menyadari hal ini sedari awal. Bahwa profesi sebagai dosen akan menuntut dirinya untuk setiap hari bertemu, berhadapan, dan bertatap muka dengan gadis-gadis muda atau perjaka-perjaka muda.
Bagi mereka yang tidak terpengaruh pada hal tersebut, atau memiliki pikiran yang lurus-lurus saja tentu konsekuensi ini bukan masalah.
Namun, hal ini akan sangat berbahaya bagi pengajar yang misalnya memiliki riwayat playboy, petualangcinta, atau rada genit sebelumnya. Dikhawatirkan karakter tersebut berlanjut hingga dirinya menjadi pengajar di perguruan tinggi.
Memiliki tingkat intelektual yang tinggi sebagai seorang dosen ternyata tidak bisa menjamin akan berbanding lurus dengan kemampuannya dalam mengendalikan syahwat.
Bukan rahasia lagi kalau di kampus ada saja dosen-dosen pria yang tampak sangat senang berinteraksi dengan mahasiswi-mahasiswi yang terlihat cantik, seksi dan modis.Â
Bila dosen dan mahasiswa masih sama-sama single, tentu tidak masalah bila sampai melanjutkan ke hubungan yang lebih dekat.
Permasalahan timbul ketika sang dosen sudah menikah tetapi tertarik pada mahasiswanya. Hal inilah yang dapat menjadi pemicu kekerasan seksual pada mahasiswa.
Masalah juga bisa muncul ketika dosen dengan status single menyukai salah satu mahasiswanya, tetapi mahasiswa tersebut tidak menyambut perasaannya. Dosen tersebut bisa saja memanfaatkan relasi kuasa untuk mecapai keinginannya.Â
Oleh karena itu, menyadari hal tersebut, sejak awal sebaiknya dosen telah membuat batasan yang jelas antara dirinya dan mahasiswa.
Bukan bermaksud untuk jaim-jaiman, tetapi lebih kepada mencegah terjadinya relasi yang tidak wajar antara dosen dan mahasiswa, yang bisa saja menjadi pemicu pelecehan seksual.
Dalam upaya menciptakan batasan tersebut, dosen sebaiknya menghindari pertemuan-pertemuan hanya berdua terutama dengan mahasiswa lawan jenis. Pertemuan hanya berdua saja ini seringkali terjadi ketika mahasiswa dalam proses bimbingan tugas akhir atau skripsi.