Mohon tunggu...
Berlian Alfin
Berlian Alfin Mohon Tunggu... Mahasiswa

(Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas - Mohammad Hatta. Ada kejahatan yang lebih kejam daripada membakar buku. Salah satunya adalah tidak membacanya - Joseph Brodsky)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pohon Teduh

31 Maret 2025   01:15 Diperbarui: 31 Maret 2025   01:15 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Pohon oleh AGNIESZKA_WEN|Pixabay

    Sore menyelami malam, menarik selimut malam yang menutupi kelap-kelip bintang-bintang. Tanpa awan ataupun polusi jalan, langit di desaku benar-benar indah dan menawan. Lukisan yang akan selalu kurindukan. Namun lukisan itu hanya akan menjadi mimpi indah di semesta bawah sadar. Karena para binatang buas akan segera membangunkan ku dari mimpi yang indah ini. 

   Sehabis magrib, rumahku dikunjungi beberapa awak berseragam hitam nan rapi. Ia berbincang dengan kepala desa, yaitu ayahku sendiri. Sesekali, terdengar gelak tawa yang menggetarkan rumah bambu ini.  Menyebalkan! Ingin segera kusir dari rumah dan desa ini. 

   Ketika rasa penasaran sudah diujung tanduk. Menguping percakapan mereka adalah satu-satunya obat bagiku. Dan betapa kagetnya diriku, saat mendengar bahwa para awak berseragam itu hendak mendirikan sebuah pertambangan. Eh, mana kutahu apa itu pertambangan yang dimaksud. 

   Tiba-tiba, aku dikagetkan dengan suara bapak yang memanggilku. "Pian! Kemari, nak!" Awalnya kuacuhkan panggilan itu dan berpura-pura tak dengar. Kemudian, bapak malah menyuruh ibu untuk memanggilku ke belakang. Ibu pun datang dengan wajah yang masam. "Pian, ayahmu panggil noh! Kau ak dengar kah?" Ibu pun pergi dan aku mengikur di belakangnya. Aku pun datang dengan wajah tidur yang dibuat-buat. 

  "Ahh, udah tidur aja kau Pian! Tumben sekali?" Tukas Bapak sambil menepuk-nepuk pundakku. Sedikit lemah, tapi perasaan apa ini? Tertekan.

 "Ini kawan bapak dulu sewaktu Sekolah Dasar, paman Jim. Sekarang, paman mu ini sudah jadi kepala di perusahaan T. Dan sekarang, perusahaan T akan bekerjasama dengan warga desa ini untuk mengolah kekayaan alam yang melimpah. Kamu, akan jadi salah satu pegawainya nanti. Bagus bukan?" Jelas ayah. 

   Aku terdiam, tiada menjawab. Karena mau dijawab, takut salah pula. Antara  prinsipku tentang alam, atau tentang prinsip pemimpin desa ini. Aku tak menjawab, dan diam seribu bahasa. 

   "Ohh, gak papa. Kamu pasti bingung kan? Yang penting, paman Jim ini akan membawa perubahan yang besar pada desa kita ini. Desa ini akan berevolusi menjadi sebuah kota yang besar dan ramai nantinya. Dan diatas itu semua, kitalah yang berjasa sebagai pencetus gerakan ini. Berterimakasih lah pada paman Jim, Pian!" Ungkapnya sambil menekuk kepalaku supaya sedikit membungkuk kepada awak berseragam tersebut. 

   Aku pun menurut tiada berdaya. Namun, aku tiada mau terperdaya. Sadar bahwa teman bapakku ini sedang menyaksikan pertunjukan yang menarik, membuatku semakin kesal. Bagaimana cara mempermalukan orang-orang ini ya? Apakah ada yang bisa melawan balik ucapannya yang sarkas? 

   "Wah, wah, wah. Sungguh keluarga yang Cemara ya, Rus!" Tukasnya sambil tersenyum ke arahku. Sorot matanya tajam seperti sedang seekor elang yang menyeleksi santapannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun