Mohon tunggu...
Benyamin Melatnebar
Benyamin Melatnebar Mohon Tunggu... Dosen - Enjoy the ride

Enjoy every minute

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Nightmare Basement

30 Agustus 2021   14:07 Diperbarui: 30 Agustus 2021   15:20 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.namesnack.com/guides/father-son-business-names

Bab VIII

Potongan fotocopy KTP

Aku menuju ruang tamu mengunci pintu. Kemudian kembali lagi menuju lorong dan menaiki anak tangga untuk naik ke kamarku. Aku menarik handukku dan masuk ke kamar mandi. Menyalakan shower, menekan tombol sabun cair dan menampungnya di telapak tanganku, kemudian aku menggosok seluruh tubuhku. Hampir dua puluh menit aku habiskan di kamar mandi dan aku malas untuk keluar dari sana. Kesegaran air dingin sungguh melegakan kepenatan tubuhku, setelah berbagai kejadian menyeramkan yang terjadi. Memang itu yang kubutuhkan saat ini. Tubuhku sangat lelah dan terkadang aku tidak bisa tidur sejak kejadian-kejadian aneh yang terjadi, padahal aku baru 4 hari di desa Banyumanis ini.

Aku mengeringkan tubuhku dan mengenakan pakaian bersih. Aku menyadari bahwa ada tetesan air tepat di tempatku berdiri, ketika aku sedang bercermin di depan kaca, tepat disamping lemari. Aku mendongak ke atas, untuk memeriksa ada apa gerangan di atasku. Aku terperanjat hebat yang menyebabkan nafasku berhenti sesaat, sesosok mayat pria menempel di atas kamarku. Dari mayat itu meneteskan bulir-bulir darah kental dan sekejap mengotori kamarku. Derasnya darah segar yang keluar dari mayat itu menyebabkan kamarku menjadi lautan merah yang mengerikan. Aku berlari keluar dari kamar, dan membuka pintu. Gelombang darah nan kental mengalir deras seiring terbukanya pintu kamarku. Menjijikan sekaligus menyeramkan, aku menuruni anak tangga. Aku yang habis mandi seperti tidak habis mandi. Aku terlihat sangat kacau dan kotor. Kemudian masuk ke kamar mandi bawah dan mulai mandi lagi. Aku takut akan ada kejadian yang menyeramkan lagi. Setelah selesai mandi. Perlahan kujejakkan langkah demi langkah menuju lorong kuperhatikan anak tangga satu persatu. Tidak ada darah sama sekali. Ini sangat gila, lama kelamaan aku yang bisa gila menghadapi ini semua.

Aku kembali menaiki anak tangga ke atas menuju kamarku. Aku melihat kondisi kamarku bersih dan tidak ada noda darah setitikpun, aku mengucek mataku seolah tidak percaya. Benar – benar tidak ada mayat yang bergantungan di langit - langit kamarku. Huftt, sejenak aku lega. Aku merasa, apakah ini adalah ilusiku saja atau bukan? Hanya aku dan rumah ini saja yang tahu. Bahwa ini semua nyata ataukah hanya fatamorgana sesaat. Aku memeriksa kamarku dengan seksama. Berusaha mencari tahu dan menguak rahasia yang terjadi di rumahku. Kuperhatikan dinding, lukisan dan setiap detail. Apakah ada ruang atau tempat rahasia yang bisa membuka tabir keanehan yang terjadi di rumah ini.

Semua terlihat tidak ada yang aneh, kamarku tidak memiliki ruangan rahasia. Dan aku tidak memiliki petunjuk satupun di kamarku. Apa yang diinginkan penghuni tak kasat mata di rumah ini kepadaku, apa yang ingin ditunjukkannya padaku. Bila ingin menunjukkan sesuatu padaku. Lalu itu apa? Pikirku. Aku membuka jendela kamarku lebar – lebar dan aku memperhatikan sesuatu yang berterbangan di pengait jendela kamarku. Aku mengambilnya, aku memperhatikannya. Ini seperti robekan pakaian dan ada noda darahnya. Aku mengambilnya. Dan mulai menghubungkan puzzle penuh tanda tanya ini. Apakah robekan pakaian bernoda darah ini ada kaitannya dengan mayat di langit-langit kamarku, pikirku. Aku menyimpan robekan kain itu dan menyimpannya di dalam laci meja belajarku.   

Iya, pasti di ruang bawah tanah rumahku. Aku menuju dapur dan mulai menginjak ubin untuk memicu terbukanya pintu ruang bawah tanah. Aku berusaha mencari celah setiap lekuk-lekuk dari ruangan bawah tanah rumahku. Apa ini, ada potongan fotokopi kartu identitas penduduk di sebutkan namanya Nazril. Aku kemudian menaiki kembali anak tangga di ruang bawah tanah dan menuju ke atas. Lalu segera menelepon ayahku di kantor. “ Ayah, aku mau tanya. Dengan siapakah ayah melakukan transaksi ketika membeli rumah kita ini? ” Kataku. Ayahku menjawab secara spontan dan membuatku kaget. “ Dengan pak Nazril, sayang. Lagipula, orang itu sudah meninggal sewaktu kita pindah ke rumah itu. Sudah dulu ya Rifki, “ Ucap ayah. Aku membalasnya, “ tapi bagaimana ceritanya sampai Ia meninggal, yah? ”

“ Rifki, ayah sedang sibuk saat ini. Nanti ayah akan meneleponmu, ayah janji. “ Ungkap ayahku seraya menutup teleponnya. Selang beberapa jam, dering telepon berbunyi membahana di seluruh ruangan rumahku. Wah, ternyata ayah benar-benar menepati janjinya, Ia benar-benar meneleponku. Aku membuka pintu kamar, menuruni anak tangga lalu berlari menyusuri lorong menuju ruang tamu. Aku mengangkat gagang telepon. “ Halo, kamu Rifki.” Suara dari seberang telepon. Suara bapak - bapak dan agak parau. “ Dengar baik-baik anak nakal. Saya adalah mimpi terburuk kamu. Siapa yang suruh kamu tinggal di rumahku. Saya akan membuat kamu sangat menderita dan kamu tahu, saya akan membunuhmu malam ini juga.”  Teriak pria itu dari seberang telepon. Jantungku naik turun, gagang telepon terlepas dari tanganku.

Sungguh, aku merasa sangat lemas. Lutut-lututku terasa ngilu. Aku menuju pintu ruang tamu, memastikan lagi pintu, jendela telah terkunci. Aku menuju dapur, memastikan pintu dapur telah terkunci. Lalu menyusuri lorong kembali, menaiki anak tangga dan masuk ke kamarku. Mengunci jendelaku. Lalu aku turun ke bawah lagi dan menuju ruang tamu. Aku mencoba telepon ayah di handphone. Tetapi percuma saja, ayah tidak mengangkatnya. Ayah pasti akan kaget, ada sekitar dua puluh satu misscalled dari rumah. Apakah ayah sedang meeting sekarang? Jujur saja aku takut sekali dengan ancaman pria di telepon tadi. Aku terduduk di ruang tamu cukup lama. “ Memang salahku apa? Sampai aku ingin dibunuh. Aku kan tidak melakukan apa-apa. Sungguh menjadi pertanyaan besar untukku. “ Ucapku pelan

Tiba – tiba dalam kesendirian dan ketakutanku, aku dikagetkan oleh dering telepon yang menggema. Aku rasa volume telepon rumahku ini sangat besar. Telingaku saja hampir tak kuasa mendengarnya. Ini pasti ayah, pikirku. “ Halo selamat siang.” Ucapku. “ Rifki, ini ayah” Ucap suara dari seberang telepon. “ Ayah, aku tadi mendapatkan telepon ancaman. “ Ucapku penuh ketakutan sambil sesenggukan. Aku menceritakan secara rinci perkataan pria di telepon tadi. Ayah menjawab dengan sigap. Ia mengatakan bahwa ia masih ada di luar kota sekarang. Tadi ada pemberitahuan dari pimpinan proyek bahwa mereka harus meeting di pusat kota, tetapi akan kembali malam nanti. Ayah mengingatkanku untuk mengunci pintu dan jangan buka pintu kepada siapapun, nanti ayah akan hubungi Pak RT untuk mengecek keadaanku dan aku hanya boleh buka pintu, apabila Pak RT yang mengetuk pintu. Kemudian ia menutup teleponnya dan mengatakan bahwa ia menyayangiku. Aku menjawab, “ baik, yah. Aku juga sayang ayah. ”  Setelah kutunggu beberapa lama, pak RT belum datang-datang juga. Lalu ayah meneleponku kembali, ternyata pak RT beserta dengan keluarganya masih liburan ke Jogja. Ayah tidak bisa menghubungi ponsel pak Ilham atau istrinya, dari tadi ponsel mereka berdua berada di luar jangkauan area. Lalu bude Tati dan eyang Putri juga sedang ke Pekalongan, jadi tidak ada orang dewasa yang akan menjagaku. Berarti aku harus bisa menjaga diriku sendiri, pikirku. Ayah berkata bahwa aku harus tenang, diam di rumah sampai nanti malam ayah pulang.       

Dalam ketakutanku akibat ancaman mengerikan. Aku tetap memutar otakku, siapa pak Nazril ini. Kenapa dia sudah meninggal. Aku menghabiskan makan siangku dan tidak terlalu perduli dengan ancaman tadi, aku memutuskan untuk keluar rumah. Berusaha mencari titik terang atas kejadian aneh dan sangat janggal yang terjadi di rumahku. Aku berjalan sendiri di tengah teriknya matahari melewati sawah, kebun dan perumahan warga desa. Aku berjalan sambil berpikir, apa yang harus aku lakukan untuk menguak misteri ini. Aku sampai pada sebuah hutan yang sangat lebat. Apakah ini hutan yang tempo hari aku tempuh? Pikirku dalam hati. Aku terus berjalan dan memikirkan kenapa semua ini harus terjadi padaku. Aku berhenti di sebuah warung bubur kacang hijau dan memesan es teh manis kepada penjual, karena udara luar yang sangat panas. Lalu aku bertanya kepada penjual itu, apakah ia mengenal Pak Nazril.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun