Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengapa Profesi Petani Kehilangan Gengsi di Mata Anak Muda?

24 September 2025   09:30 Diperbarui: 24 September 2025   08:46 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buruh tani menanam padi di area persawahan Tamarunang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Kamis (16/6/2022). Foto: Arnas Padda/ANTARA FOTO via kumparan.com

Petani adalah garda terdepan penyedia pangan bangsa. Dari tangan mereka, nasi, sayur, dan buah tersaji di meja makan masyarakat setiap hari. Namun, profesi yang seharusnya mulia ini justru ditinggalkan oleh generasi muda. Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Abdul Muhaimin Iskandar atau akrab disapa Cak Imin, menegaskan fenomena itu dengan lugas: anak muda lebih memilih menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) ketimbang menjadi petani.

Fenomena ini tidak dapat hanya dipandang sebagai perubahan selera pekerjaan. Ada persoalan struktural yang lebih dalam, yakni kesejahteraan petani yang tidak menjanjikan dan tingkat ketidakpastian yang masih tinggi.

Harga Pangan yang Fluktuatif, Pendapatan yang Rapuh

Ekonom pangan dari CORE Indonesia, Eliza Mardian, menyoroti salah satu akar persoalan: harga pangan yang tidak stabil. Fluktuasi harga menyebabkan pendapatan petani sering kali rapuh. Ketika harga beras, cabai, atau bawang anjlok, petani tak punya pilihan selain menjual hasil panen dengan harga rendah. Sebaliknya, saat harga naik di tingkat konsumen, keuntungan justru dinikmati pedagang perantara, bukan petani.

Lebih parah lagi, biaya produksi terus menanjak. Harga pupuk, bibit, hingga tenaga kerja semakin mahal. Dengan produktivitas yang cenderung rendah, margin keuntungan petani menjadi tipis. Dalam kondisi seperti ini, profesi petani dipersepsikan sebagai pekerjaan penuh kerja keras namun berbuah kecil.

Iklim yang Tak Bersahabat, Risiko yang Tinggi

Selain faktor harga, ancaman perubahan iklim menambah lapisan ketidakpastian. Banjir, kekeringan panjang, serangan hama, dan penyakit tanaman membuat hasil panen kerap gagal. Sayangnya, perlindungan petani masih jauh dari ideal. Skema asuransi gagal panen yang ada belum mampu menjangkau mayoritas petani, apalagi mereka yang hanya menggarap lahan kecil.

Dengan risiko tinggi dan tanpa jaminan perlindungan yang memadai, banyak anak muda menilai lebih aman bekerja di sektor lain. Pilihan menjadi buruh bangunan, pekerja pabrik, atau bahkan pengemudi ojek daring tampak lebih menarik karena dianggap lebih pasti dalam hal pendapatan.

Permodalan dan Rantai Pasok yang Tidak Adil

Masalah lain yang terus membelit adalah akses terhadap modal murah. Petani gurem sering terjebak utang dengan bunga tinggi, sementara program kredit usaha rakyat (KUR) pertanian belum sepenuhnya efektif menjangkau kelompok akar rumput.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun