Di ruang keluarga banyak orangtua muda masa kini, satu pemandangan menjadi semakin lumrah: seorang balita duduk tenang di sofa, matanya terpaku pada layar ponsel atau tablet, sementara jemari mungilnya dengan cekatan menekan ikon aplikasi YouTube. Orangtua yang awalnya merasa terbantu karena anak “anteng”, lama-lama mulai bertanya dalam hati: siapa sebenarnya yang lebih banyak mengasuh anak kita, orangtua atau algoritma YouTube?
Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan baru dalam pola asuh. Ia adalah representasi dari perubahan mendasar dalam relasi antara keluarga, teknologi, dan pendidikan anak. Jika dulu pengasuhan identik dengan peran ibu, ayah, serta keluarga besar, kini ada “pengasuh virtual” bernama algoritma yang perlahan mengambil tempat.
Algoritma Sebagai “Pengasuh Baru”
YouTube bekerja dengan sistem algoritma yang merekomendasikan konten sesuai kebiasaan menonton. Sekali seorang anak menonton video kartun, aplikasi akan segera mengalirkan video serupa, tanpa henti, seakan-akan tahu persis apa yang membuat anak betah. Di sinilah tantangan bermula.
Bagi anak, YouTube bukan hanya hiburan, tetapi juga sumber pengetahuan, gaya bahasa, bahkan perilaku. Seorang anak balita bisa menirukan aksen bahasa asing hanya karena terbiasa menonton konten tertentu. Sebagian orangtua mungkin bangga, namun tanpa disadari, proses ini menggeser kendali pendidikan yang seharusnya menjadi domain keluarga.
Hilangnya Kontrol Orangtua
Dalam tradisi parenting konvensional, orangtua berperan sebagai filter utama nilai-nilai yang diterima anak. Namun kini, filter itu semakin tipis. Algoritma tidak mengenal konteks budaya, norma keluarga, atau nilai moral yang dianut rumah tangga. Ia hanya mengenal pola klik dan durasi tontonan.
Di banyak kasus, anak-anak terseret ke konten yang tidak sesuai usia, mulai dari video dengan bahasa kasar, prank ekstrem, hingga iklan yang mendorong konsumerisme dini. Menurut laporan Common Sense Media (2019), sekitar 56 persen anak usia 8–12 tahun di Amerika Serikat menonton video daring setiap hari, dan angkanya meningkat menjadi 69 persen pada remaja usia 13–18 tahun. Angka ini menunjukkan betapa kuatnya daya tarik platform video dalam keseharian anak, bahkan sejak usia sekolah dasar.
Tantangan bagi Orangtua Generasi Digital
Pertanyaan krusial pun muncul: apakah orangtua masih menjadi aktor utama dalam pengasuhan, ataukah mereka sekadar menjadi “penonton kedua” dari proses pendidikan yang digerakkan algoritma?
Orangtua generasi digital menghadapi dilema ganda. Di satu sisi, YouTube menjadi solusi praktis untuk menenangkan anak ketika sibuk bekerja. Di sisi lain, terlalu bergantung pada platform tersebut berpotensi melahirkan generasi dengan pola pikir instan, kurang daya konsentrasi, dan rentan terpapar nilai asing yang tak selalu selaras dengan budaya Indonesia.
Dari “Screen Time” ke “Screen Quality”
Saran yang kerap muncul dalam diskusi parenting modern bukan lagi sekadar mengurangi “screen time”, tetapi lebih menekankan pada kualitas layar (screen quality). Artinya, alih-alih melarang sepenuhnya, orangtua didorong untuk mendampingi, memilih kanal edukatif, dan mengajak anak berdialog tentang apa yang ditonton.
Peran orangtua bukanlah meniadakan teknologi, melainkan memastikan bahwa algoritma tidak bekerja sendirian. Saat anak menonton video edukasi tentang hewan, misalnya, orangtua bisa menambahkan penjelasan kontekstual, membandingkan dengan pengalaman nyata, atau bahkan mengajak anak berkunjung ke kebun binatang. Dengan cara itu, tontonan digital tidak menjadi “guru tunggal”, melainkan pelengkap dari pengasuhan berbasis interaksi manusia.
Membangun Kesadaran Kolektif
Isu parenting algoritma ini sejatinya bukan tanggung jawab individu semata. Negara, komunitas, hingga platform digital juga memiliki peran. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, misalnya, sudah menekankan pentingnya literasi digital keluarga. Namun kebijakan ini tidak akan efektif tanpa dukungan ekosistem digital yang lebih ramah anak.
YouTube Kids memang sudah hadir sebagai alternatif, tetapi penelitian menunjukkan banyak konten bermasalah tetap lolos. Oleh karena itu, regulasi yang lebih ketat serta partisipasi komunitas pengguna sangat penting. Tanpa itu semua, orangtua akan terus berada dalam posisi defensif, berusaha “mengejar” anak yang sudah selangkah lebih cepat dalam dunia digital.
Siapa yang Sebenarnya Mengasuh?
Pertanyaan awal—siapa yang lebih mengasuh anak kita, orangtua atau YouTube—tidak bisa dijawab dengan hitam-putih. Namun jelas bahwa jika orangtua lalai, maka algoritma akan dengan senang hati mengambil alih.
Di tengah derasnya arus digital, orangtua dituntut untuk tidak sekadar menghadirkan kasih sayang, tetapi juga menjadi kurator informasi, fasilitator pembelajaran, sekaligus benteng nilai. Dengan begitu, anak-anak tidak tumbuh sebagai generasi yang “diasuh algoritma”, melainkan generasi yang melek teknologi, namun tetap berakar pada nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI