Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Parenting Algoritma: Saat YouTube Diam-Diam Mengasuh Anak Kita

29 Agustus 2025   07:30 Diperbarui: 28 Agustus 2025   09:57 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Orangtua perlu mendampingi anak  ketika menonton YouTube dan memberikan penjelasan kontekstual . (Foto: freepik.com)

Orangtua generasi digital menghadapi dilema ganda. Di satu sisi, YouTube menjadi solusi praktis untuk menenangkan anak ketika sibuk bekerja. Di sisi lain, terlalu bergantung pada platform tersebut berpotensi melahirkan generasi dengan pola pikir instan, kurang daya konsentrasi, dan rentan terpapar nilai asing yang tak selalu selaras dengan budaya Indonesia.

Dari “Screen Time” ke “Screen Quality

Saran yang kerap muncul dalam diskusi parenting modern bukan lagi sekadar mengurangi “screen time”, tetapi lebih menekankan pada kualitas layar (screen quality). Artinya, alih-alih melarang sepenuhnya, orangtua didorong untuk mendampingi, memilih kanal edukatif, dan mengajak anak berdialog tentang apa yang ditonton.

Peran orangtua bukanlah meniadakan teknologi, melainkan memastikan bahwa algoritma tidak bekerja sendirian. Saat anak menonton video edukasi tentang hewan, misalnya, orangtua bisa menambahkan penjelasan kontekstual, membandingkan dengan pengalaman nyata, atau bahkan mengajak anak berkunjung ke kebun binatang. Dengan cara itu, tontonan digital tidak menjadi “guru tunggal”, melainkan pelengkap dari pengasuhan berbasis interaksi manusia.

Membangun Kesadaran Kolektif

Isu parenting algoritma ini sejatinya bukan tanggung jawab individu semata. Negara, komunitas, hingga platform digital juga memiliki peran. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, misalnya, sudah menekankan pentingnya literasi digital keluarga. Namun kebijakan ini tidak akan efektif tanpa dukungan ekosistem digital yang lebih ramah anak.

YouTube Kids memang sudah hadir sebagai alternatif, tetapi penelitian menunjukkan banyak konten bermasalah tetap lolos. Oleh karena itu, regulasi yang lebih ketat serta partisipasi komunitas pengguna sangat penting. Tanpa itu semua, orangtua akan terus berada dalam posisi defensif, berusaha “mengejar” anak yang sudah selangkah lebih cepat dalam dunia digital.

Siapa yang Sebenarnya Mengasuh?

Pertanyaan awal—siapa yang lebih mengasuh anak kita, orangtua atau YouTube—tidak bisa dijawab dengan hitam-putih. Namun jelas bahwa jika orangtua lalai, maka algoritma akan dengan senang hati mengambil alih.

Di tengah derasnya arus digital, orangtua dituntut untuk tidak sekadar menghadirkan kasih sayang, tetapi juga menjadi kurator informasi, fasilitator pembelajaran, sekaligus benteng nilai. Dengan begitu, anak-anak tidak tumbuh sebagai generasi yang “diasuh algoritma”, melainkan generasi yang melek teknologi, namun tetap berakar pada nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun