Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketika Kemeriahan HUT RI ke-80 Tertutup Awan Demo Kenaikan PBB

15 Agustus 2025   14:05 Diperbarui: 15 Agustus 2025   14:03 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: DEMO: Mahasiswa di Pati membentangkan spanduk protes terkait kenaikan PBB-P2 di depan Kantor Bupati Pati, Selasa, 3 Juni 2025. (Arif Febriyanto/Lingkarjateng.id)

Menjelang puncak peringatan 17 Agustus 2025---delapan dekade Indonesia merdeka---warna merah-putih menguasai ruang publik. Namun, di sejumlah daerah, gegap gempita perayaan bersisian dengan pengeras suara demonstrasi. Warga turun ke jalan memprotes lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang dinilai mendadak dan memberatkan.

Di Pati, Jawa Tengah, kebijakan kenaikan PBB hingga 250 persen memantik aksi massa besar pada pekan ini. Setelah gelombang protes dan atensi nasional, Bupati akhirnya mencabut kebijakan tersebut dan menyampaikan permintaan maaf. Namun, desakan publik agar kebijakan perpajakan lebih hati-hati tak serta-merta surut. Kasus Pati menegaskan: komunikasi kebijakan fiskal yang lemah bisa berbiaya sosial tinggi. 

Fenomena serupa juga muncul di daerah lain. Di Bone, Sulawesi Selatan, demonstrasi menolak kenaikan PBB berujung ricuh karena kepala daerah tak menemui massa. Sementara itu, Kota Cirebon menjadi sorotan karena keluhan warga atas tagihan yang melonjak---sebagian mengklaim hingga kisaran ratusan hingga seribu persen, yang oleh pemerintah daerah dikaitkan dengan penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Di Kabupaten Semarang, kebijakan kenaikan---yang dalam sejumlah objek dinilai publik dapat mencapai ratusan persen---akhirnya dibatalkan mengikuti arahan Kementerian Dalam Negeri. 

Antara Kebutuhan PAD dan Rasa Keadilan Publik

PBB-P2 adalah sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kewenangannya dipayungi UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). Di dalam kerangka itu, daerah berwenang menetapkan tarif (hingga batas maksimum) dan menyesuaikan NJOP agar mendekati nilai pasar. Namun, mandat kewenangan tidak berarti kebijakan boleh melompat tanpa ukur rasa. Dalam praktik, lompatan NJOP yang agresif akan langsung menetes menjadi kenaikan beban PBB di lembar SPPT rumah tangga.

Kenaikan memang bisa dibenarkan sebagai koreksi setelah bertahun-tahun NJOP tertinggal. Tetapi, dari sudut pandang prinsip pajak yang baik---adil, pasti, nyaman dibayar, dan efisien---kenaikan drastis dalam waktu singkat berpotensi melanggar setidaknya dua di antaranya: keadilan dan kenyamanan. Dampaknya pun nyata: kecemasan gagal bayar, hilangnya rasa aman atas aset keluarga, hingga tergerusnya daya beli karena rumah tangga memindahkan dana kebutuhan pokok untuk melunasi pajak. Suara publik hari-hari ini merekam itu, dari Pati, Jombang, Cirebon, Bone hingga sejumlah kota lain.

Intervensi Kebijakan Pusat: Menarik Rem Darurat

Menyadari eskalasi gejolak, Menteri Dalam Negeri pada 14 Agustus 2025 menerbitkan Surat Edaran Nomor 900.1.13.1/4528/SJ yang pada intinya meminta kepala daerah menunda/menyesuaikan kebijakan pajak dan retribusi yang memberatkan masyarakat. Respons daerah cukup cepat: Kabupaten Semarang mengumumkan pembatalan kenaikan NJOP dan PBB-P2 tahun berjalan mengacu pada surat edaran tersebut. SE ini bukan meniadakan kewenangan daerah, melainkan mengingatkan asas kepatutan, kapasitas bayar, dan stabilitas sosial---terutama pada momen ekonomi yang rapuh. 

Mengurai Akar Masalah: NJOP, Tarif, dan Sosialisasi

Ada tiga simpul yang kerap luput dijelaskan ke publik:

  1. NJOP vs tarif. Di banyak kasus, lonjakan PBB bukan karena tarif melampaui batas hukum, melainkan revaluasi NJOP yang melonjak tajam sehingga basis pengenaan pajak membengkak. Penjelasan yang jernih tentang perbedaan keduanya amat menentukan penerimaan warga. 

  2. Batas tarif. Berdasarkan UU HKPD, tarif maksimum PBB-P2 adalah 0,5%. Artinya, ruang kebijakan ada, tetapi tetap berpagar. Transparansi soal besaran tarif aktual di daerah---apakah 0,1%, 0,2%, atau mendekati 0,5%---perlu dibuka agar publik bisa mengaudit rasa keadilannya. (Ortax)

  3. Tahapan dan sosialisasi. Kenaikan bertahap (multi-years) dengan simulasi dampak per kelompok wajib pajak jauh lebih dapat diterima ketimbang lompatan sekaligus. Minimnya kanal dialog sering menjadi bensin di atas bara.

Jalan Tengah: Kebijakan Berbasis Data, Perlindungan yang Tepat

Momentum HUT RI ke-80 layak kita jaga dari polarisasi "pro PAD" versus "pro rakyat". Keduanya bukan pilihan biner. Pemerintah daerah bisa meracik kebijakan yang berbasis data sekaligus berwawasan perlindungan, antara lain:

  • Tahapan kenaikan NJOP/PBB-P2 dengan plafon persentase per tahun (misal, cap 20--25% per objek per tahun), dievaluasi tahunan.

  • Pengecualian/kompensasi bagi kelompok rentan: pensiunan, veteran, keluarga prasejahtera, difabel, serta lahan pangan (yang memang secara aturan dapat diberi tarif lebih rendah). (Ortax)

  • Skema pengurangan administratif (keringanan/denda dihapus) untuk tahun transisi.

  • Transparansi digital: kalkulator PBB daring yang menampilkan komponen perhitungan (NJOP lama/baru, tarif, klasifikasi objek) agar wajib pajak dapat memverifikasi tagihan.

  • Forum konsultasi publik sebelum perda/perkada ditetapkan; ringkasan Regulatory Impact Assessment dipublikasikan dalam bahasa yang mudah dipahami.

Refleksi 17 Agustus: Merdeka dari Kebijakan yang Membebani

Delapan puluh tahun merdeka mengajarkan bahwa legitimasi negara dirawat, bukan diandaikan. Peringatan kemerdekaan akan terasa utuh bila keadilan fiskal dirasakan adil oleh yang membayar. Kasus Pati, Bone, Cirebon, dan Semarang menjadi cermin: kebijakan yang benar secara prosedur pun bisa salah di mata publik bila melompat tanpa empati dan dialog. Surat Edaran Mendagri merupakan rem darurat yang tepat waktu; setelah ini, tugas kita bersama memastikan rem darurat berubah menjadi peta jalan perbaikan---bertahap, transparan, dan berpihak.

Pada akhirnya, merdeka bukan sekadar upacara dan lomba tujuhbelasan. Merdeka adalah janji untuk tidak membiarkan kebijakan publik---termasuk soal PBB---menjadi beban yang mematahkan sendi-sendi kepercayaan warga kepada negara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun