Di tengah ritme kehidupan perkotaan yang semakin cepat, transportasi umum menjadi denyut nadi mobilitas warga. Dari TransJakarta yang melaju di jalur busway, MRT yang sunyi menembus perut kota, hingga KRL komuter yang setiap hari mengangkut ratusan ribu penumpang lintas kota, semua hadir untuk menghubungkan ruang-ruang kehidupan. Namun, di balik kemajuan infrastruktur ini, ada hal mendasar yang kerap luput dibahas: etika menggunakan transportasi umum.
Etika bukan sekadar kumpulan aturan tertulis, melainkan kesadaran kolektif untuk saling menghargai, menjaga kenyamanan, dan mengutamakan keselamatan bersama. Di banyak negara maju, etika ini menjadi bagian dari budaya yang ditanamkan sejak kecil. Warga terbiasa antre rapi, menjaga suara, tidak makan atau minum di moda transportasi lokal, serta memberi prioritas kepada lansia, ibu hamil, dan penyandang disabilitas. Di Indonesia, proses pembentukan kesadaran ini sedang berlangsung, tetapi masih kerap terhambat oleh kebiasaan lama.
Potret di Lapangan: Antara Disiplin dan Abai
Di halte atau stasiun, kita dapat menyaksikan dua wajah perilaku penumpang. Ada yang disiplin antre, melepas tas punggung demi memberi ruang, dan sigap memberi kursi prioritas. Namun, ada pula yang menerobos barisan, menempatkan barang secara sembarangan, bahkan terlihat ‘beristirahat’ di kursi prioritas meski ada penumpang yang lebih membutuhkan.
Fenomena ini bukan hanya soal perilaku individu, tetapi juga cermin kualitas peradaban kota. Transportasi umum tidak sekadar mengangkut manusia, melainkan juga memindahkan nilai, norma, dan karakter penggunanya. Kota yang maju tidak hanya diukur dari kecepatan MRT atau kebersihan busnya, melainkan dari kedewasaan warganya dalam berbagi ruang publik.
Mengapa Etika Penting?
Pertama, etika menjaga efisiensi. Antrean yang rapi mempercepat proses naik-turun penumpang, memastikan moda berjalan sesuai jadwal, dan mengurangi potensi insiden.
Kedua, etika menciptakan kenyamanan psikologis. Transportasi umum adalah ruang publik yang mempertemukan beragam latar belakang. Kesadaran untuk berbicara pelan, tidak memutar musik keras, atau tidak duduk di lantai kereta adalah bentuk penghormatan terhadap hak orang lain.
Ketiga, etika adalah modal sosial. Di tengah tekanan hidup kota besar, sikap saling menghargai di transportasi umum membangun rasa kebersamaan. Memberikan satu kursi kepada yang membutuhkan mungkin terlihat kecil, tetapi pengaruhnya pada citra kota dan moral publik sangatlah besar.
Tantangan Nyata: Keamanan dan Kenyamanan
Etika juga terkait erat dengan aspek keselamatan. Survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menunjukkan perempuan di Indonesia 13 kali lebih rentan mengalami pelecehan seksual di transportasi publik dibanding laki-laki. Bus dan angkot menjadi moda dengan laporan terbanyak. Ini berarti, selain etika saling menghormati, perlu ada kesadaran untuk menjaga keamanan bersama, khususnya bagi kelompok rentan.
Belajar dari Luar Negeri
Di Jepang, penumpang biasa antre rapi di titik yang ditandai, menjaga keheningan, dan menghindari panggilan telepon demi menghormati penumpang lain. Makan dan minum tidak dianjurkan di kereta lokal, tetapi diperbolehkan di Shinkansen — bahkan tersedia meja lipat dan tray khusus, serta penjualan ekiben (bento stasiun) untuk dinikmati selama perjalanan. Di Singapura, konsumsi makanan atau minuman — termasuk air — dalam MRT maupun stasiun dilarang keras berdasarkan Rapid Transit Systems Act, dan pelanggaran dapat dikenai denda hingga SGD 500 atau lebihÂ
Peraturan tegas dan konsistensi penegakan hukum di kedua negara tersebut menjadi penopang budaya disiplin. Bukan semata-mata soal hukuman, melainkan pengingat bahwa kenyamanan publik adalah tanggung jawab bersama.
Membangun Etika di Indonesia
Indonesia punya modal untuk menumbuhkan budaya serupa. Program integrasi seperti Jak Lingko di Jakarta—yang menghubungkan TransJakarta, MRT, LRT, dan KRL dalam satu sistem tiket—sudah mempermudah perjalanan warga. Namun, keberhasilan infrastruktur ini harus dibarengi dengan peningkatan etika penggunanya.
Terdapat penelitian dengan judul "The effect of moral norm on public transport passengers’ behavioral intention (case study: Public transport passengers in Bogor, Indonesia)". Penelitian ini dilakukan pada 277 responden di Bogor dan menemukan bahwa norma moral berpengaruh positif secara signifikan terhadap niat menggunakan transportasi publik .
Penelitian oleh Dimas Rhoully Soeriaatmadja (2017) menemukan bahwa kualitas layanan (P-TRANSQUAL) dan kepuasan pelanggan memiliki pengaruh signifikan terhadap loyalitas pelanggan TransJakarta, dengan kontribusi sebesar 63,7%. Selain itu, studi lain juga menegaskan bahwa peningkatan kualitas layanan berdampak positif terhadap kepuasan konsumen, yang selanjutnya dapat meningkatkan loyalitas.Â
Langkah awal bisa dimulai dari edukasi di sekolah tentang etika ruang publik, kampanye kreatif di stasiun atau halte, hingga pelibatan komunitas untuk menjadi agen perubahan. Penegakan aturan juga harus konsisten dan adil, agar warga melihat bahwa disiplin bukan sekadar slogan.
Transportasi umum adalah panggung tempat kita menguji kualitas sebagai warga negara. Kecepatan kereta atau kebersihan bus hanyalah sebagian cerita. Sisanya, yang justru lebih penting, adalah bagaimana kita memperlakukan sesama penumpang.
Etika dalam transportasi umum bukan sekadar sopan santun, melainkan investasi sosial yang menentukan wajah kota di mata dunia. Jika kita ingin kota yang berkelas global, maka budaya tertib dan saling menghormati di transportasi umum harus menjadi kebiasaan, bukan sekadar imbauan.
Karena kemajuan peradaban kota tidak diukur dari seberapa cepat kita tiba di tujuan, tetapi seberapa bermartabat perjalanan yang kita tempuh bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI