Peta jalan ekonomi digital Indonesia memasuki babak baru. Payment ID, identitas transaksi terpadu yang ditautkan ke Nomor Induk Kependudukan (NIK), dijadwalkan mulai diuji/dirilis bertahap pada 17 Agustus 2025. Di atas kertas, skema ini menjanjikan efisiensi, akurasi data, dan perluasan akses layanan keuangan. Di lapangan, pertanyaannya sederhana: apakah publik siap---dan terlindungi?Â
Apa yang Berubah?
Payment ID dirancang mengonsolidasikan identitas transaksi---dari rekening bank, dompet elektronik, QRIS hingga layanan kredit digital---ke dalam satu penanda yang terhubung dengan NIK. Dengan konektivitas ini, otoritas pajak disebut dapat memantau transaksi yang terhubung secara real-time, sebuah lompatan transparansi yang sekaligus memantik debat hangat di ruang publik.Â
Janji Besar: Inklusi, Akurasi, Kepercayaan
Skala ekonomi digital Indonesia terus melonjak. Proyeksi 2025 menempatkan nilainya di kisaran US$130 miliar, dengan laju pertumbuhan tahunan sekitar 19%---ditopang e-commerce, transportasi, dan layanan daring lain. Di dalam arus besar ini, Payment ID berpeluang memperbaiki kualitas data, memperkuat kepercayaan investor, dan yang terpenting---mendorong inklusi keuangan bagi segmen yang selama ini sulit diukur kelayakan kreditnya.Â
Pandangan serupa disampaikan Arin Setyowati, dosen dan pakar ekonomi Universitas Muhammadiyah Surabaya. Menurutnya, jika dirancang adil dan transparan, Payment ID bukan sekadar alat pemungutan, melainkan instrumen pemberdayaan: data transaksi yang terverifikasi dapat membantu bank/fintech menilai UMKM dan pekerja informal yang minim riwayat kredit formal.Â
Sisi Gelap: Privasi Data dan Salah Paham "Semua Dipajaki"
Kekhawatiran publik mencuat: apakah Payment ID berarti setiap transaksi otomatis dikenai pajak? Di sini, penting menegaskan: itu adalah kekhawatiran/isu yang ramai dibahas, bukan desain kebijakan yang sudah diputuskan. Di sisi lain, risiko over-surveillance dan rekam jejak kebocoran data di Indonesia membuat isu privasi dan tata kelola data tak bisa disepelekan. Karena itu, komitmen Bank Indonesia atas prinsip "consent-based access"---data diakses pihak lain hanya dengan persetujuan---perlu diturunkan ke standar teknis dan pengawasan yang nyata.Â
Empat Prasyarat Tata Kelola (Supaya Manfaatnya Nyata)
Implementasi bertahap dan komunikasi publik yang jernih. Pemerintah/BI harus menjelaskan use-case awal dan batasannya, alih-alih memulai dengan cakupan menyeluruh. Gunakan kasus spesifik---misalnya akurasi penyaluran bansos non-tunai---sebagai pilot terukur sebelum ekspansi.Â
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!