Di era ketika notifikasi WhatsApp bisa bikin jantung deg-degan dan tanda "typing..." bisa membangkitkan harapan, pendekatan atau PDKT bukan sekadar soal sinyal-sinyal cinta. Ia menjadi ruang abu-abu, tempat banyak orang terjebak antara realita dan ekspektasi. Bagi sebagian besar anak muda---dan tidak sedikit pula yang dewasa---fase PDKT kerap menyisakan drama emosional. Yang satu baper kebablasan, yang lain geer tak ketulungan.
Di sinilah paradoks hubungan modern itu bersemayam: teknologi mempercepat interaksi, tapi tak menjamin kejelasan niat. Seseorang bisa mengucapkan "selamat pagi" setiap hari tanpa maksud apa pun, tapi penerimanya sudah sibuk membayangkan status baru di bio Instagram. Maka lahirlah dua sosok khas dalam fase PDKT: si Baperan dan si Geeran.
Fenomena ini bukan sekadar soal hubungan pribadi, tetapi telah menjadi bagian dari dinamika sosial yang lebih luas. Di ruang digital yang serba instan dan simbolik, bahasa cinta kerap dikacaukan oleh emoji, reaksi cepat, dan kebiasaan chat random yang menipu rasa. Maka, penting bagi kita untuk mengedukasi diri: bagaimana menjaga kewarasan hati dan pikiran saat sedang mendekati atau didekati?
Antara Harapan dan Kenyataan: Mengapa Kita Mudah Baper?
Dalam psikologi sosial, kecenderungan seseorang menjadi baper biasanya muncul dari kebutuhan emosional yang belum terpenuhi: kebutuhan akan pengakuan, perhatian, atau rasa diterima. Ketika seseorang memberikan sedikit "sinyal", misalnya memberi like konsisten, sering mengajak ngobrol, atau sekadar bercanda manis, otak kita---yang telah terbiasa dengan pattern recognition---langsung membangun narasi: "Dia suka aku."
Padahal, dalam banyak kasus, itu hanya ekspresi sosial biasa. Inilah jebakan pertama dari PDKT zaman now: kita terlalu cepat menyimpulkan dan membangun harapan.
Apalagi budaya pop turut memperparah keadaan. Serial drama Korea, lirik lagu galau, hingga konten TikTok tentang "red flag" dan "green flag" menciptakan template cinta yang kadang tak sesuai kenyataan. Tanpa sadar, kita mulai menerjemahkan perhatian biasa sebagai tanda cinta, dan ketika ekspektasi itu tidak terpenuhi, maka luka kecil pun terasa seperti dikhianati. Baper pun datang.
Geer: Ego yang Tumbuh dari Tanda-Tanda Semu
Sebaliknya, "geer" atau gede rasa juga menjadi bagian dari dinamika emosional yang tidak kalah kompleks. Jika baper berakar dari sensitivitas emosi, geer justru muncul dari bias kognitif---yaitu keyakinan bahwa orang lain menyukai kita lebih dari kenyataannya. Hal ini kerap terjadi pada mereka yang terbiasa menjadi pusat perhatian atau memiliki daya tarik tertentu di lingkungannya.
Ketika PDKT menjadi kabur batasnya, mereka cenderung menganggap semua bentuk interaksi sebagai bentuk ketertarikan. Padahal, bisa jadi lawan bicaranya hanya ramah, sopan, atau memang terbuka terhadap siapa pun.