Ketika sebagian besar pemimpin dunia berlomba menjaga status quo, Ibrahim Traore justru mengguncang tatanan global dengan langkah-langkah revolusioner. Di usia 34 tahun, ia tidak hanya menjadi presiden termuda di dunia, tetapi juga simbol kebangkitan baru Afrika yang berani menantang neokolonialisme Barat, khususnya dominasi Prancis di kawasan Sahel.
Langkah Traore mengusir pasukan Prancis dari Burkina Faso pada awal 2023 bukan sekadar manuver politik, melainkan penegasan identitas. Ia mengakhiri era panjang ketergantungan dan menyuarakan kemerdekaan yang sejati. Dalam pidatonya, Traor tak segan mengatakan bahwa "Afrika tidak butuh penjaga, tapi mitra yang setara." Sebuah kalimat yang menggema jauh melampaui batas negaranya.
Sejarah yang Membentuk Perlawanan
Burkina Faso, negeri kecil di Afrika Barat, telah lama berada dalam cengkeraman bayang-bayang kolonialisme. Meski merdeka secara formal sejak 1960, struktur ekonomi, pendidikan, hingga pertahanan negara ini tetap terikat pada kepentingan lama: Prancis. Dalam kondisi ini, rakyat hidup dalam ketimpangan, sumber daya dikuras, dan keamanan justru memburuk.
Traore, lulusan akademi militer yang meniti karier dari bawah, tumbuh menyaksikan betapa kontradiktifnya jargon "kerja sama internasional" dengan kenyataan di lapangan. Ketika kelompok militan merajalela dan pasukan Prancis gagal memberi rasa aman, kepercayaan publik pun luntur. Di tengah kekacauan ini, Traor tampil sebagai alternatif baru.
Ia memimpin kudeta terhadap pemerintahan transisi yang dianggap gagal melindungi rakyat. Namun berbeda dari pemimpin kudeta lain yang umumnya haus kuasa, Traor menunjukkan ketegasan tanpa ambisi pribadi yang mencolok. Ia membentuk pemerintahan transisi sipil-militer dengan satu tujuan utama: menyelamatkan kedaulatan.
Menggugat Narasi Barat
Barat, khususnya Prancis, bereaksi keras atas langkah Traore. Tuduhan anti-demokrasi, pelanggaran HAM, hingga kedekatan dengan Rusia langsung bermunculan. Namun narasi-narasi itu kehilangan daya, karena di mata banyak rakyat Burkina Faso, Traor justru menghadirkan harapan.
Dalam sebuah wawancara, ia menyatakan bahwa "barat telah terlalu lama menjual ilusi, sementara rakyat kami kelaparan." Kritiknya bukan sekadar retorika, melainkan bentuk gugatan atas hipokrisi geopolitik global, di mana negara-negara Afrika terus dikendalikan lewat utang, intervensi militer, dan politik patron-klien yang tidak adil.
Langkah Traore diikuti oleh negara-negara lain seperti Mali dan Niger yang juga mulai membatasi pengaruh Barat. Bahkan, mereka membentuk aliansi militer baru dan mendiskusikan mata uang bersama, menggantikan CFA franc yang selama ini dikendalikan Prancis. Ini bukan lagi sekadar gerakan nasionalisme, tetapi gerakan regional melawan sistem yang menindas selama berabad-abad.