Ada satu pemandangan yang tak pernah absen di setiap sudut kota, gang sempit, hingga pinggiran desa: warung kecil dengan lampu temaram, rak berisi kebutuhan pokok, dan pemilik yang nyaris tak pernah tidur. Biasanya, yang menjaga adalah perantau asal Madura. Kita menyebutnya: Warung Madura.
Warung ini bukan sekadar tempat belanja. Ia adalah bagian dari denyut kehidupan masyarakat. Di saat toko modern tutup pukul 10 malam, Warung Madura justru baru "mulai hidup". Ia jadi tempat persinggahan ojek online, karyawan shift malam, atau warga yang butuh sesuatu mendadak—dari mi instan hingga popok bayi.
Padahal, jika bicara kekuatan modal, promosi, hingga sistem manajemen, jelas mereka kalah jauh dari minimarket raksasa seperti Indomaret, Alfamart, atau Alfamidi. Tapi mengapa Warung Madura masih bertahan? Bahkan di beberapa tempat, lebih ramai dari toko modern?
Bukan Sekadar Dagang, Tapi Menghidupi
Pemilik Warung Madura tak berjualan demi untung semata. Mereka hidup dari warung itu. Bahkan tinggal di dalamnya. Anak mereka bermain di antara kardus-kardus, istri ikut melayani pelanggan, dan kadang pelanggan jadi sahabat.
Ada yang datang setiap hari, bukan karena harga lebih murah, tapi karena merasa "nyambung". Mau beli rokok bisa setengah batang, mau utang dicatat di buku kecil, dan kalau belum bisa bayar pun masih dikasih. Coba temukan itu di toko waralaba.
Dalam warung ini, transaksi tak sekadar jual-beli, tapi juga relasi. Ada yang mampir hanya untuk ngobrol, bertanya kabar, atau sekadar minta tukar uang receh. Ini yang tidak bisa diukur dengan sistem kasir digital atau loyalty card.
Fleksibel, Sepenuh Waktu
Warung Madura tidak kenal hari libur. Mereka buka 24 jam. Bahkan saat Lebaran, saat kota mati total, warung itu tetap menyala. Ini bukan karena mereka tak ingin libur, tapi karena sudah jadi bagian dari pelayanan.
“Kalau saya tutup, kasihan orang yang butuh. Kadang jam 2 pagi ada yang datang cari obat batuk,” kata seorang pemilik warung di kawasan Depok, yang saya temui dua minggu lalu.