Di tengah hingar bingar berita politik, ekonomi, hingga isu global yang kerap menyita perhatian kita, kabar menggembirakan datang dari sebuah sekolah dasar di Depok, Jawa Barat. Tiga siswi kelas 4 SDIT Nurul Fikri, Prishana Kamila Ilham, Medinavia Zaldin, dan Naura Qanita Satria, berhasil meraih Grand Award---penghargaan tertinggi---di ajang International Creativity and Innovation Awards (ICIA) 2025 di Ho Chi Minh City, Vietnam. Tidak hanya itu, mereka juga menyabet Titanium Award dan Special Award untuk inovasi luar biasa mereka di bidang pengurangan sampah makanan.
Di balik prestasi luar biasa itu, kita melihat cermin dari sebuah kenyataan yang sering luput dalam wacana publik: Indonesia tak pernah kekurangan prestasi. Yang kerap kita kurang adalah sorotan, apresiasi, dan terutama keberpihakan sistemik agar prestasi-prestasi kecil ini bisa berkembang, menginspirasi, dan membawa dampak lebih luas. Dan di momentum Hari Pendidikan Nasional yang jatuh setiap 2 Mei, kisah ketiga siswi ini adalah pengingat keras tentang potensi anak bangsa yang selama ini mungkin tersembunyi di ruang-ruang kelas kita.
Pendidikan yang Memerdekakan: Pesan dari Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional, mengajarkan bahwa pendidikan bukan sekadar mengisi kepala dengan ilmu, tetapi membentuk karakter dan memerdekakan manusia. Dalam salah satu tulisannya, ia berkata: Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.
Apa yang dilakukan Shana, Medina, dan Naura mencerminkan semangat itu. Mereka bukan hanya murid yang menghafal teori, tetapi anak-anak yang berani melihat masalah di sekitar mereka, bertanya, lalu mencoba memecahkannya. Dengan proyek The Precious Foods yang mengusung strategi 3R+D (Reduce, Reuse, Recycle, Donate), mereka menggagas solusi konkret untuk mengurangi food waste, mulai dari kampanye di sekolah, survei sederhana, hingga pengembangan aplikasi FoodShare untuk menghubungkan donatur makanan dengan penerima.
Proyek ini lahir dari kepedulian pada data yang mereka temukan: Indonesia menghasilkan 21 juta ton sampah makanan per tahun, terbesar di Asia Tenggara (UN Environmental Program). Di sisi lain, menurut Global Hunger Index 2024, 26% anak balita Indonesia mengalami stunting. Ironi ini menggugah ketiga siswi itu untuk bergerak. Dan di situlah esensi pendidikan sejati: mengasah empati, kreativitas, dan keberanian untuk berbuat sesuatu.
Ekosistem Pendidikan: Kunci Prestasi Berkelanjutan
Keberhasilan anak-anak ini tentu tidak muncul tiba-tiba. SDIT Nurul Fikri menerapkan program unggulan seperti Research Culture yang menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, dan Computational Thinking and Learning untuk melatih pemikiran sistematis. Ada kolaborasi erat antara guru, orang tua, dan siswa. Ini adalah contoh nyata bahwa ketika ekosistem pendidikan berjalan harmonis, potensi anak-anak bisa mekar dengan luar biasa.
Sayangnya, ekosistem seperti ini belum menjadi norma di seluruh Indonesia. Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), hingga 2024 masih ada lebih dari 30% sekolah di Indonesia yang kekurangan akses infrastruktur dasar seperti laboratorium, perpustakaan, atau jaringan internet memadai. Banyak guru di pelosok negeri mengajar dengan sumber daya minim, sambil dibebani administrasi yang berlebihan.
Hari Pendidikan Nasional harus menjadi momentum refleksi: sudahkah kita menghadirkan lingkungan belajar yang memerdekakan di seluruh penjuru negeri? Ataukah kita masih berkutat pada urusan teknis, perubahan kurikulum yang membingungkan, atau sekadar angka-angka ujian yang sering kali tidak mencerminkan kemampuan sejati anak?