Dalam kehidupan rumah tangga, kita sering menyusun anggaran bulanan: berapa yang akan digunakan untuk makan, bayar listrik, sekolah anak, dan tabungan. Pemerintah pun melakukan hal serupa, hanya dalam skala jauh lebih besar dan kompleks. Itulah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ia bukan sekadar angka-angka, tapi cerminan niat dan strategi negara menjaga kesejahteraan rakyat.
Tahun 2025 menghadirkan tantangan tersendiri bagi APBN. Dua faktor ekonomi makro kembali menjadi sorotan utama: inflasi dan suku bunga. Meski sering terdengar di berita ekonomi, keduanya seringkali terasa asing atau bahkan abstrak bagi sebagian masyarakat. Padahal, inflasi dan suku bunga ibarat detak jantung dalam tubuh ekonomi nasional---terlalu cepat atau terlalu lambat, keduanya bisa berdampak buruk.
Inflasi: Antara Kenaikan Harga dan Keseimbangan Fiskal
Inflasi terjadi saat harga barang dan jasa secara umum meningkat. Sedikit inflasi memang diperlukan, sebagai tanda ekonomi yang bergerak. Namun, bila tak terkendali, inflasi dapat menggerus daya beli masyarakat. Bagi pemerintah, inflasi yang tinggi juga berarti pengeluaran negara ikut meningkat---biaya proyek infrastruktur membengkak, belanja barang dan jasa naik, bahkan subsidi pun bisa melonjak.
Dalam kerangka APBN 2025, pemerintah menetapkan target inflasi sekitar 2,5% hingga 3,5%. Target ini cukup realistis, mencerminkan keyakinan bahwa tekanan global seperti konflik geopolitik dan krisis pangan masih bisa diredam. Namun, realitas bisa berbeda. Ketika harga pangan dunia melonjak atau distribusi terganggu akibat iklim ekstrem, APBN harus siap menanggung beban tambahan.
Kondisi ini membuat pemerintah harus lebih cermat mengelola belanja negara. Jika inflasi naik, anggaran untuk program sosial, subsidi, atau pembangunan infrastruktur bisa terkikis. Strategi pengendalian inflasi, seperti stabilisasi harga pangan dan energi, menjadi kunci menjaga daya beli rakyat dan stabilitas fiskal.
Suku Bunga: Biaya Pinjaman yang Menentukan Beban Utang
Berbeda dengan inflasi yang menyentuh langsung kantong rakyat, suku bunga lebih banyak dirasakan dampaknya oleh pelaku usaha dan pengelola keuangan negara. Suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) menjadi patokan bagi bunga kredit dan imbal hasil obligasi negara. Ketika suku bunga naik, biaya pinjaman ikut meningkat.
Bagi APBN, ini berdampak langsung pada biaya utang. Pada 2025, pemerintah masih mengandalkan penerbitan Surat Utang Negara (SUN) untuk membiayai defisit. Jika suku bunga tinggi, maka bunga yang harus dibayar kepada investor juga meningkat. Akibatnya, porsi belanja untuk pembayaran bunga utang ikut membengkak.
Sebagai ilustrasi, pada APBN 2024, jika pembayaran bunga utang mencapai lebih dari Rp500 triliun, atau sekitar 15% dari total belanja negara. Bila tren suku bunga global tetap tinggi di 2025, bukan tidak mungkin angkanya akan meningkat lagi. Ini menjadi alarm fiskal bagi pemerintah: ruang fiskal untuk belanja produktif semakin sempit jika beban bunga utang tak dikendalikan.
Menjaga APBN Tetap Sehat
Pertanyaannya: bagaimana menjaga agar APBN 2025 tetap sehat di tengah tekanan inflasi dan suku bunga?
Pertama, diversifikasi sumber pembiayaan sangat penting. Pemerintah harus kreatif mencari sumber pembiayaan yang lebih murah dan berkelanjutan, termasuk mendorong partisipasi investor domestik, penggunaan dana abadi (sovereign wealth fund), dan kerja sama pembiayaan proyek melalui skema KPBU (Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha).
Kedua, efisiensi belanja. APBN harus fokus pada program yang berdampak langsung kepada masyarakat. Belanja rutin yang tidak produktif harus ditekan, sementara belanja untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar tetap menjadi prioritas.
Ketiga, penguatan pendapatan negara, khususnya dari sektor perpajakan. Optimalisasi pajak digital, pengurangan celah (tax gap), serta pembaruan sistem perpajakan menjadi senjata utama dalam meningkatkan rasio penerimaan terhadap PDB.
Literasi Fiskal: Tugas Bersama
Keseimbangan APBN bukan semata tugas di Kementerian Keuangan. Ia memerlukan partisipasi publik. Di sinilah pentingnya literasi fiskal bagi masyarakat. Memahami bagaimana inflasi dan suku bunga memengaruhi APBN akan membantu publik lebih bijak dalam menilai kebijakan pemerintah.
Sebagai contoh, ketika pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM atau mengalihkan subsidi ke sektor yang lebih tepat sasaran, seringkali muncul resistensi. Namun, bila publik memahami konteks fiskal---misalnya meningkatnya biaya subsidi akibat inflasi dan bunga utang---maka kebijakan itu bisa lebih diterima sebagai langkah rasional, bukan sekadar penghematan.
APBN 2025 ibarat kapal besar yang tengah berlayar di tengah arus deras suku bunga dan gelombang inflasi global. Stabilitasnya memerlukan nahkoda yang andal, kru yang sigap, dan penumpang yang memahami arah pelayaran.
Kita semua, sebagai warga negara, adalah bagian dari kapal ini. Dengan memahami bagaimana inflasi dan suku bunga memengaruhi anggaran negara, kita tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga bagian dari solusi---karena APBN bukan hanya urusan negara, tapi milik rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI