Cerita lain saya dengan dari Bu Siti, usia sekitar 70 tahunan, yang harus kontrol kedua kali setelah operasi katarak. “Emak juga pakai BPJS soalnya diminta anak-anak begitu. Emak mah gimana anak-anak. Yang bayar BPJS juga anak-anak. Tapi pas kontrol pertama emak nggak pakai BPJS, soalnya emak nggak mau antre lama. Tapi emak harus bayar sekitar Rp250.000an. Lumayan lah buat kebutuhan dapur beberapa hari itu. Jadi sekarang kontrol kedua pakai BPJS lagi,” tuturnya.
Bu Siti meskipun sudah lanjut usia, punya anggapan sendiri dalam iuran BPJS Kesehatan ini. “Emak mahanggapnya BPJS itu berobat bayar tapi nyicil. Ya, karena nyicil jadi harus sabar antrenya,” selorohnya sambil tersenyum
Tapi yang mencengangkan adalah ketika saya bertemu seorang pria berusia 50 tahunan, saya lupa namanya, bercerita tentang dirinya yang memiliki kartu anggota BPJS Kesehatan dan lima anggota keluarganya juga, tapi tak pernah menggunakan untuk berobat.
“Saya memandang BPJS Kesehatan sebagai ladang amal bagi kami sekeluarga. Jadi sejak awal memang diniatkan untuk menyumbang kepada orang yang tidak mampu berobat. Untuk kami kesehatan sekeluarga ada asuransi kesehatan lainnya. Alhamdulillah, sejak menyumbang untuk BPJS Kesehatan kami sekeluarga hampir tidak pernah sakit yang berat. Kalau hari ini saya ke dokter, sekadar periksa mata rutin saja. Maklum faktor U harus rutin ke dokter,” paparnya.
Subhanallah. Di saat saya masih berpikir, biarlah sisa iuran BPJS Kesehatan yang tidak terpakai untuk disumbangkan kepada yang lain, bapak ini sudah niat menyumbangkan setiap setoran bulanannya sejak awal.
Pasien BPJS Bukan Anak Tiri
Baiklah, saya mendengar di rumah sakit ini pasien BPJS Kesehatan biasanya mendapat nomor antrean belakang meskipun datang subuh untuk pendaftaran. Buat saya tak masalah. Karena rumah sakit juga harus menjalankan bisnisnya, tentu mengutamakan pelayanan kepada pasien umum ada alasannya.
Di klinik mata misalnya, pasien BPJS Kesehatan baru mendapat nomor antrean, konon, di atas 15. Tapi apalah artinya antrean beberapa jam. Kita masih bisa mengisi waktu dengan membaca Alquran, menulis, membaca, atau jika mata bermasalah mendengar tilawah melalui earphone.
Nama saya baru dipanggil pukul 14.00 saat ruang tunggu tinggal tiga orang. Saya ditanyai masalah saya oleh perawat, diperiksa mata saya dengan alat optik seperti di toko kacamata. Diberi obat kebal mata karena mata saya bermasalah di sebelah kanan. Lalu diperiksa lagi oleh dokter menggunakan alat optik lain yang tampak lebih modern.
Dokter Gilang menyampaikan maslah mata saya dengan lugas dan tenang, memberi tahu tindakan yang akan dilakukannya, menyarankan saya kembali minggu depan, memberi resep obat tetes mata sampai menyarankan saat tidak mengendarai mobil saat kunjungan berikutnya. Semua dilakukan dengan profesional. Tidak ada perlakukan diskriminatif dengan pasien umum atau seolah-olah saya anak tiri.
Begitu pula ketika saya mengambil obat tetes mata di apotek. Semua berjalan lancar. Saya menyimpulkan keikhlasan kita sangat diperlukan saat berobat, baik sebagai pasien BPJS Kesehatan maupun pasien umum. Kadangkala rasa tidak sabar, kecewa, emosi itu tercipta hanya karena kita kurang ikhlas.