Mohon tunggu...
Benny Benke
Benny Benke Mohon Tunggu... -

the walkers. touch me at benkebenke@gmail.com,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

John H. McGlynn: Gadaikan Semua Demi Sastra Indonesia

11 Oktober 2016   15:35 Diperbarui: 11 Oktober 2016   15:37 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

JAKARTA -- JOHN H. McGLYNN muda, sewaktu masih kuliah di University of Wisconsin di Milwaukee, AS dan mengambil jurusan Theater Arts tidak akan pernah berpikir dan mengira, jika dirinya pada suatu saat akan terlibat jauh dalam perkembangan kesusastraan di Indonesia. Sebuah negara yang pada mulanya hanya sebagai tempat dia belajar mendalami pewayangan, sebagaimana tujuan awalnya kuliahnya.

Tapi siapa mengira, pria ramah yang gemar berbicara dengan suara datar layaknya seorang ayah kepada anaknya itu, akhirnya terlibat aktif dalam penerjemahan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Padahal, sewaktu dia kuliah,”Sangat sulit mencari karya sastra Indonesia, untuk tidak mengatakan nyaris tidak ada,” katanya.

Hingga tidak terasa, secara resmi, telah 25 tahun bersama Yayasan Lontar, laki-laki kelahiran 1952 itu, ratusan karya sastra Indonesia telah berhasil diaterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,”Yang niatannya membangun jembatan bagi orang di luar negeri, untuk memahami Indonesia melalui kebudayaan dan karya sastranya,” katanya di kantor Lontar, Jl. Danau Laut Tawar 53, Pejompongan, Jakarta, pada suatu ketika kepada penulis.

Berteman kopi dan rokok asli Indonesia, pendiri Yayasan Lontar bersama Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, dan Subagio Sastrowardoyo, pada Oktober 1987 itu, bercerita tentang suka dukanya melahirkan, membesarkan, merawat, dan memelihara ‘anaknya’ bernama Lontar.

Bahkan sampai-sampai, pada sebuah ketika, dia harus menjual sejumlah lukisan, dan barang yang diamiliki untuk mempertahankan kelangsungan hidup yayasannya itu. Padahal kalau dia mau, dia bisa hidup jauh lebih makmur dan sentosa di AS atau di mana saja dengan menjadi pegawai Bank Dunia dengan bayaran yang menjulang langit,”Tapi ternyata saya tidak bisa meninggalkan anak saya,” katanya mengenang.

Seberapa besar cinta John kepada sastra Indonesia, sehingga diasudi meninggalkan kemakmuran di luar sana, hanya demi membangun jembatan peradaban yang demikian diaidamkan, agar nama Indonesia, jauh lebih dikenal dengan cukup berwibawa di luar sana. Apakah sedemikian bernar, mencerdaskan bahkan mencerahkannya sastra Indonesia sampai diabela sampai mati karya sastranya? “Ah…ceritanya panjang,” ujarnya.

Maka, dengan bahasa Indonesia yang rapi, anggota anggota Komisi Internasional dari IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia), PEN International-New York, dan The Association of Asian Studies itu bercerita. Di mulai dari Universitas Indonesia, John muda sering diajak oleh sejumlah guru-gurunya seperti seperti Sapardi Djoko Damono, Widarti Gunawan, dan beberapa nama lainnya, untuk membantu menerjemahkan sejumlah karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1978-an. Setelah makin sering menerjahkan karya sastra Indonesia, makin sering pula dia bertemu dengan para sastrawan, dan akhirnya makin terlibat aktif dengan dunia sastra Indonesia.

Yang kemudian, pada sebuah titik muncul kesadaran, jika di luar negeri tidak ada yang tahu tentang Indonesia teristimewa tentang karya sastra terjemahannya. Hal itu senada dengan pengalannya pribadi, betapa sangat sulit menemukan karya sastra Indonesia terjemahan, ketika dia sedang belajar di universitas Winconsin. “Jadi saya tidak berpikir, juga terpikirkan, pada saatnya nanti, akan terlibat dalam menerjemahkan sastra Indonesia.”

Karena pada mulanya, dia hanya belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar studinya di fakuktas seni, disain dan teater. “Jadi sebenarnya saya ke Indonersia, mau belajar tentang Wayang Kulit.” Tapi, lantaran tidak ada khursus bahasa Jawa, maka dia harus belajar bahasa Indonesia, sebagai bahasa pengantar. Dari situlah John muda sering pergi ke UI dan ke Taman Ismail Marzuki (TIM).

Apalagi pada waktu itu, TIM adalah pusat kebudayaan Indonesia, dan itu membuatnya,”Sangat fascinated.” Di TIM, seniman dan sastrawan muda dan tua, berkumpul semua di sana, sehingga dia menemukan kenyamanan yang tak terpakmanai. “Lama kelamaan saya mendapatkan a sense of prominence, atau secara samar-samar timbul keinginan untuk menjadi jembatan karya sastra Indonesia dengan pembaca dari mancanegara, khususnya yang berbahasa Inggris.”

Jadi setelah itu, tidak terasa telah puluhan atau mungkin ratusan buku sastra Indonesia telah diaterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Dan secara formal, baru  pada tahun 1987 dia dengan sejumlah koleganya, yang notabene adalah sastrawan Indonesia terdepan, mendirikan Yayasan Lontar. Meski sepengakuannya, setelah berjalan secara resmi selama 25 tahun, “Target penerjemahan sastra Indonesia, belum tercapai.” Mengapa capaian target itu belum tercapai? “Saya akan cerita nanti.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun