Mohon tunggu...
Benny Benke
Benny Benke Mohon Tunggu... -

the walkers. touch me at benkebenke@gmail.com,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

John H. McGlynn: Gadaikan Semua Demi Sastra Indonesia

11 Oktober 2016   15:35 Diperbarui: 11 Oktober 2016   15:37 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Latar belakangnya, sebagaimana bidang lainnya, dalam dunia sastra, setiap hari lahir karya baru. Dengan demikian, “Biarpun kita telah menerjemahkan 100 buku, itu belum cukup.” Sebab, pikiran orang tahun 70-an berbeda dengan pikiran orang tahun 80-an, 90-an dan sebagainya. Dengan demikian, akhirnya timbul kesadaran dalam benaknya, walaupun suatu saat dirinya sudah tidak ada di Lontar, dikarenakan pensiun dan sebagainya, “Saya harap Lontar, atau lembaha yang serupa meneruskan pekerjaan penerjemahan karya sastra Indonesia.”

Dengan perjalanan panjang menerjemahkan karya sastra Indonesia, sebagaimana manusia biasa, tidakkah pernah John mengalami kebosanan, keletihan atau perasaan lainnya yang berkaitan dengan mandegnya kreatifitas menejerjmahan, karena berbagai alasan? Titik bosan, sepengakuannya, sebenarnya tidak ada, “Yang ada titik frustasi.” Sebab, sampai sekarang belum ada program bantuan penterjemahan dari pemerintah. Dia membandingkan dengan program penerjemahan karya sastra di beberapa negara lain. Misalnya beberapa negara seperti Korea Selatan, Tukir, Islandia dan beberapa negara lainnya, yang juga aktif terlibat dalam gelaran book fair paling penting di dunia, yaitu Frankfurt Book Fair.

Pada tahun 2015 Indonesia menjadi negara tamu kehormatan di acara book fair paling prestisius di dunia itu. Tapi sayangnya, menurut John. belum ada tanda tangan oleh Mendiknas untuk terlibat aktif di acara itu, padahal acara itu adalah Government to Government.

John bercerita, Korea yang pernah menjadi negara tamu kehormatan pada even itu, tercatat telah lebih dari 1000 karya sastranya telah diterjemahkan, bahkan ke dalam bahasa Jerman. “Turki juga sudah menerjemahkan beberapa ratus juga, demikian halnya dengan China yang telah menerjemahkan 350 karya sastra dalam bahasa Jerman.” Dan langkah itu diikuti Islandia yang menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair dua tahun lalu, “Mereka telah menerjemahan 200 buku sastranya.” Jadi, dia ingin mengatakan,komitmen dari pemerintahlah yang memungkinkan hal itu bisa terjadi. “Padahal saya sudah berkali-kali sudah berbicara dengan orang pemerintah, dan mereka hanya iya, iya dan bilang setuju-setuju,” katanya masygul.

Di mata John peran sastra sangat strategis dalam even besar seperti itu,”Karena  sastra kan bisa menjadi jembatan untuk diplomasi kebudayaan, tapi sayangnya, orang pemerintah hanya talk, talk, talk, talk.” Jika pemerintahnya saja hanya omong doang, maka wajar jika John pun pada titik tertentu juga sudah merasa mentok, “Saya hanya bisa diam.” Tahun lalu dia mengaku pernah mencapai titik letih, dan hendak keluar dari dunia penerjemahan sastra Indonesia. “Lontar mau hidup atau mati, terserah.” Akhirnya John memang keluar, dan benar saja yang dia kuatirkan, Yayasan Lontar pelan dan pasti mulai mati, dan dia mulai berpikiran, “Aduh sayang, anakku…”.

Ya, John memang telah menganggap Lontar seperti anaknya sendiri. Padahal saat itu, dia sudah mulai bekerja dengan Bank Dunia dengan gaji yang bagus, “Tapi terpaksa kembali lagi ke Lontar, karena sudah hancur keadaan keuangannya.” Sebelum Lontar hancur, pada waktu itu masih mempunyai 20 karyawan, “Sekarang tersisa delapan.” Dan untuk menyehatkan Lontar, Jogn waktu itu harus keluar uang 2 miliar rupiah untuk melakukan pengetatan. Dari mana dia mendapatkan sejumlah uang yang tidak sedikit itu? “Caranya, dengan menjual beberapa barang saya, seperti lukisan, juga meminjam uang ke beberapa kawan.”

Untungnya, langkah pengetatannya itu, sekarang mulai berbuah hasil, dan membuat Lontar, sudah lebih stabil, “Terutama berkat bantuan Djarum Foundatioan,” katanya. 5 tahun belakangan ini Lontar memaang mendapatka bantuan dari Djarum, “Meski tidak cukup, tapi lumayan.” Lumayan, karena untuk penerbitan seperti Lontar, kalau ada 100 buku untuk diterjemahkan, “Dibutuhkan biaya antara setengah sampai 1 juta dolar AS, dan angka itu masuk dalam ukuran sangat kecil.” Jadi, masih mau memandang sebelah mata kecintaan John atas dunia sastra Indonesia? Yang menurut dia, jika dikomparasikan karya sastranya pada saat dia kali pertama datang ke Indonesia, dan karya sastranya dewasa ini makin mengalami kemajuan.

Secara teknis maupun kualitas isi, karya sastra dewasa ini memang dianilai meningkat. “Tapi dari segi penyuntingan menurun.” Hal itu terjadi karena, dunia buku menjadi bisnis yang besar. Bahkan dalam dunia percetakan dewasa ini, penerbit Gramedia bahkan mengeluarkan 1000 buku dalam sebulan,”Bagaimana mungkin bisa menyunting buku sebanyak itu dalam satu bulan.” John yang telah berbicara dengan beberapa penyunting di penerbit KPG, Mizan dan beberapa penyunting lainnya, mendapatkan informasi, setiap penyunting harus harus menyunting 35 buku dalam waktu yang singkat. “Itu bukan menyuntinng tapi memeriksa aksara.”

Jadi, itulah kelemahan dunia perbukuan di Indonesia, yang menurutnya harus diperbaiki. Dan diperparah pada saat bersamaan, banyak pengarang di Indonesia juga sastrawannya, yang menganggap karyanya sebagai “suara Tuhan”, “Dan oleh karenanya tidak boleh diubah oleh penyunting”.  Apalagi, pada saat ini, hampir semua orang bisa mencetak buku, dan menyatakan dirinya sebagai pengarang. Kondisi itu melahirkan fenomena, makin banya buku yang diterbitkan tapi makin sulit menemukan yang terbaik. “Dan makin sulit menemukan berlian.”

Padahal, tujuan penerjemahan novelnya adalah memperkenalkan Indonesia di mancanegara. Atau dalam bahasa yang sederhana, “Kita mencari buku yang benar-benar mencerminkan Indonesia.” Oleh karenanya, dia akan senang sekali jika membaca sebuah novel yang mampu berbicara tentang Indonesia secara utuh. Tidak sebagiaman novel yang banyak sekarang, yang mengambil setting di Jakarta, tapi hanya mengenai kelompok urban intelektual yang kaya raya sebagai bahan ceritanya,”Hal seperti itu banyak di Amerika.” Sebab di Amerika juga ada ciklit, juga komik,”Jadi kita harus cari yang berbeda.”

Apalagi saat sekarang juga ada kecenderungam, para pengarang muda sekarang apalagi menulis novel dalam bahasa Inggris. “Saya usulkan jangan menulis dalam bahasa Inggris, karena mereka belum benar-benar mahir berbahasa Inggris.” Dan yang paling penting, karya sastra yang ditulis dalam bahasa Inggris itu, bukan sastra Indonesia, tapi sastra Inggris.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun