Mohon tunggu...
Benny Benke
Benny Benke Mohon Tunggu... -

the walkers. touch me at benkebenke@gmail.com,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

John H. McGlynn: Gadaikan Semua Demi Sastra Indonesia

11 Oktober 2016   15:35 Diperbarui: 11 Oktober 2016   15:37 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dia meyodorkan data, di Amerika ada 150 ribu buku sastra yang diterbitkan dalam setahun. “Jadi, bagaimana kita bisa bersaing  (kalau menulis sastra dalam bahasa Inggris).” Hal itu berbeda, misalnya jika karya sastrnya ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik, dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris yang baik pula, maka kemungkinan untuk bisa masuk pasar internasional menjadi jauh lebih terbuka.

Sebab, di AS sendiri, jumlah buku terjemahan sastranya dari sekian banyak buku yang beredar, hanya 1 persennya karya terjemahan. Bedakan jika kita masuk toko buku di Indonesia, “Ada sekitar 40 persen karya terjemahan dari mancanegara beredar di sini.”

Apakah dapat disimpulkan, sulit bersaingnya karya sastra Indonesia di panggung sastra dunia, karena karya sastranya sudah mentok? John menampik dengan tegas anggapan mentok itu. Sebab, sulitnya perkembangan dunia sastra di Indonesia, “Seperti lingkarang setan.” Karena berhubungan dengan banyak faktor, dari peran serta orang tua, yang harus mulai mengajarkan anaknya untuk kembali membaca, hingga peran pemerintah. Anak-anak Indonesia, sepengamatan John dewasa ini, yang mengasuh adalah para pembantu, yang notabene nyaris tidak mempunyai kebudayaan membaca. “Lain dengan generasi tua, yang kebudayaan membacanya sangat kuat, baik membaca bahasa Indonesia, Belada dan bahasa lainnya.” Jadi, tidak mengherankan jika dia susah menemukan pemandangan orang tua yang duduk bersama anaknya, dan sedang melakukan kegiatan membaca.

Bahkan ketika anak-anak itu, telah sampai di bangku sekolah, tidak ada pendidikan susastra, “Yang ada hapalan tentang para pelaku sastra Indonesia.” Hal itulah yang menimbulkan keprihatinannya, sebab, seakan-akan setiap anak Indonesia yang lahir, langsung bisa menulis dan membaca sastra. “Jadi tidak heran jika sulit menemukan mutiara diantara sejumlah karya sastra Indonesia dewasa ini.”

Meski secara bersamaan dia tidak sepakat dengan ungkapan yang mengatakan, karya besar harus dilahirkan dari penderitaan yang besar juga? “Saya tidak percaya dengan ungkapan itu.” Pengarang besar di negara-negara lain, menurut dia, tidak harus menjadi miskin dan sengsara dulu untuk menghasilkan sebuah karya yang luar biasa. “Yang penting sensitifitas dan pendalaman atas sebuah peristiwa.” Dengan demikian, dia tidak mau gegabah untuk mengatakan sekarang sudah tidak ada lagi karya sastra yang luar biasa.

Atas alasan itu pula, dia tetap berharap tetap akan ditemukan berlian dalam dunia sastra Indonesia pada saatnya nanti. “Saya tidak mau bilang sudah tidak ada berlian dalam dunia sastra Indonesia, saya tidak setuju.” Karena berlian menjadi berharga karena terus diasah. Berlian pada awalnya hanya sebuah batu di tanah. Tapi, jika terus  diasah, baru terlihat kegemilangannya di kemudian hari. Demikian pula dalam kehidupan susastra di Indonesia, yang harus terus diasah. “Jadi saya pikir, itu masih proses.” Dan kembaki ke masalah editing, dia menerangkan proses editing yang ideal, “Kalau pengarang masih hidup, saya biasanya akan berbicara dengan mereka, apakah boleh saya sunting seperti ini atau seperti itu. Bolehkah ini dipotong atau dipindahkan. Tapi kalau pengarang sudah mati, ya susah.”

Meski demikian dia tetap yakin, Indonesia tetaplah yang terdepan untuk kawasan Asia Tenggara jika berbicara tentang kreativitas dan susastra. “Yang saya pahami, meski ada sensorsip di sini, terutama sensor secara vertikal bukan horisontal, orang Indonesia lebih open dan kreatif.” Di Malaysia, orang tidak boleh menulis tenang masalah agama, di Singapura menulis tentang ras adalah larangan, dan di Thailand menulis tentang raja akan menjadi perkara, “Jadi di Indonesia jauh lebih terbuka.”

Dengan pengalaman sedemikian panjang bersentuhan dan terjun langsung dalam dunia penerjemahan sastra Indonesia, John mempunyai nasehat istimewa kepada sastrawan Indoneisa, istimewanya kepada penulis muda? “Saya hanya mampu memberikan saran, tapi tidak bisa mendikte kepada para pengarang.” Yang paling utama untuk seorang pengarang adalah melihat dengan cermat lingkungan, dan yang berbeda dari lingkungan itu.  Karena hal itu, akan menjadi sumbangan yang berharga bagi bangsa ini kepada bangsa lain. Dia sekaligus menyayangkan tidak ada penulis yang yang menulis novel tentang dunia Islam di sini, “Dan harus menunggu karya terjemahan dari luar.”

Padahal karya terjemahan tentang Islan bahkan dari Arab Saudi sekalipun, menurut dia, “Lebih baik karya
Islam yang ditulis orang Indonesia.” Karena, banyak pemikir Islam di sini, jauh lebih wahid dan tahu tentang Islam, dan bisa diterjemahkan bahkan dalam bahasa Inggris juga Arab. Dan yang tidak kalah pentingnya, menurut dia, menulis fakta atau kenyataan, jauh lebih menarik daripada fiksi. (BB).

http://berita.suaramerdeka.com/blogjurnalis/gadaikan-semua-demi-sastra-indonesia/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun