Mohon tunggu...
Benito Sinaga
Benito Sinaga Mohon Tunggu... Petani, pemburu, dan peramu

Marhaenism - IKA GMNI. Memento politicam etiam artem complexam aequilibrii inter ideales et studia esse. Abangan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Tanpa Niat Pun Bisa Bersalah: Kasus Tom Lembong dan Rasionalitas Pemidanaan Korupsi

29 Juli 2025   08:25 Diperbarui: 29 Juli 2025   08:25 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koruptogenik struktural (ai generate 2025)

Meskipun demikian, sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, terjadi pergeseran tafsir terkait unsur kerugian negara, yang kini harus berupa kerugian yang nyata (actual loss), bukan lagi sekadar potensi kerugian (potential loss). Putusan tersebut menghapus kata "dapat" dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Meski demikian, putusan ini tidak mengubah karakteristik dasar Pasal 2 sebagai delik yang lebih menitikberatkan pada pelanggaran normanya, bukan pada niat pelaku.

Dalam konteks jabatan publik yang strategis seperti Menteri Perdagangan yang dipimpin Tom Lembong, delik formil ini menjadi sangat relevan karena menekankan kewajiban pejabat untuk mematuhi ketentuan hukum dan prosedur yang berlaku. Kelalaian dalam mematuhi aturan normatif dalam jabatan strategis yang berdampak pada kerugian negara tetap dapat dijerat dengan pasal ini, meski tanpa adanya bukti niat jahat yang eksplisit.

Yurisprudensi Konstitusional dan Konstruksi Tanggung Jawab Jabatan

Kuatnya pandangan publik bahwa vonis terhadap Tom Lembong “cacat” karena tidak disertai niat jahat (mens rea), perlu diletakkan dalam kerangka yurisprudensi Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Dalam dua putusan kunci Mahkamah Konstitusi serta praktik peradilan Mahkamah Agung, terbentuk fondasi hukum yang menegaskan bahwa pertanggungjawaban pidana dalam kasus korupsi tidak selalu bergantung pada niat jahat eksplisit, melainkan bisa didasarkan pada pelanggaran normatif dan tanggung jawab jabatan yang keliru secara struktural.

Putusan Mahkamah Konstitusi: Batasan dan Penguatan Delik Formil

Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan No. 003/PUU-IV/2006, telah menyatakan bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sepanjang frasa "melawan hukum" dalam arti materiil tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Keputusan ini tidak dimaksudkan untuk menghilangkan konsep "melawan hukum" itu sendiri, melainkan untuk memberikan kepastian hukum dengan membatasi penafsiran "melawan hukum" yang terlalu luas dan subjektif (mkri.id).

Meskipun telah membatasi konsep "melawan hukum" pada hukum formil (tertulis), putusan ini tidak menegaskan keharusan adanya mens rea sebagai syarat mutlak dalam pembuktian tindak pidana korupsi. Putusan MK justru menekankan pentingnya kepastian hukum dalam pemberantasan korupsi dengan mengacu pada pelanggaran terhadap ketentuan peraturan yang tertulis.

Selanjutnya, dalam Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016, Mahkamah menegaskan bahwa kerugian negara dalam tindak pidana korupsi haruslah kerugian yang nyata (actual loss), bukan lagi potential loss. Namun, MK juga menyatakan bahwa:

"Dalam hal adanya penyalahgunaan kewenangan, suatu perbuatan baru dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi apabila berimplikasi terhadap kerugian negara (kecuali tindak pidana korupsi suap, gratifikasi atau pemerasan), pelaku diuntungkan secara melawan hukum, masyarakat tidak dilayani, dan perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela." (mkri.id)

Pernyataan ini menunjukkan bahwa MK mengakui bahwa suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi jika ada unsur "pelaku diuntungkan secara melawan hukum" atau ada "tindakan tercela," tanpa secara eksplisit mensyaratkan adanya niat jahat.

Yurisprudensi Mahkamah Agung: Pertanggungjawaban Jabatan atas Kelalaian Struktural

Mahkamah Agung dalam berbagai putusannya telah menerima konstruksi kesalahan berbasis jabatan, bahkan tanpa bukti keuntungan pribadi yang dinikmati oleh pelaku. Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun menegaskan bahwa tanggung jawab hukum tidak hanya berlaku bagi mereka yang memiliki niat jahat (mens rea), tetapi juga bisa dikenakan kepada seseorang yang lalai atau tidak sengaja melakukan pelanggaran hukum (Sudutpandang.id).

Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun menegaskan bahwa hukum tidak semata-mata bertumpu pada pembuktian kesadaran psikologis pelaku, tetapi juga memperhitungkan hubungan kausal antara tindakan administratif dan akibat hukumnya terhadap negara atau masyarakat. Ia menegaskan:

"Kalau ada perbuatan dan akibat yang ditimbulkan dalam suatu kejadian, maka tetap ada pertanggungjawaban hukum, meskipun dilakukan tanpa kesadaran penuh."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun