Mohon tunggu...
Benito Sinaga
Benito Sinaga Mohon Tunggu... Petani, pemburu, dan peramu

Marhaenism - IKA GMNI. Memento politicam etiam artem complexam aequilibrii inter ideales et studia esse. Abangan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kapitalisme Predatorik: Menyoal Kedaulatan Pangan dalam Putusan Tom Lembong

25 Juli 2025   07:30 Diperbarui: 25 Juli 2025   20:01 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 18 Juli 2025, Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis Thomas Trikasih Lembong dalam Putusan No. 34/Pid.Sus-TPK/2025/PN Jkt.Pst bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan hukuman 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp750 juta (subsider 6 bulan kurungan). 

Tindakan Lembong menerbitkan 21 izin impor gula kristal mentah (GKM) tanpa koordinasi antarkementerian dan rekomendasi Kementerian Perindustrian, serta mengizinkan perusahaan rafinasi mengolah GKM menjadi gula kristal putih (GKP), melanggar Pasal 27 UU No. 7/2014, Pasal 36 UU No. 18/2012, dan Pasal 15 UU No. 19/2013. 

Audit BPKP (20 Januari 2025) mencatat kerugian negara Rp515,4 miliar—angka kerugian negara mengalami revisi setelah audit lanjutan BPKP pada Januari 2025—dengan keuntungan korporasi seperti PT Angels Products (Rp144,1 miliar) dan PT Berkah Manis Makmur (Rp74,5 miliar), akibat kemahalan harga dan kekurangan bea masuk/PDRI.

Namun, lebih dari sekadar pelanggaran prosedural, putusan ini membuka ruang bagi interpretasi hukum yang lebih substantif. Majelis hakim menerapkan konsep living law, menafsirkan "perbuatan melawan hukum" tidak hanya sebagai pelanggaran prosedural, tetapi juga pengkhianatan terhadap keadilan sosial. 

Hakim merujuk pelanggaran UU No. 18/2012 (impor saat stok GKP mencukupi) dan UU No. 19/2013 (pengabaian perlindungan petani tebu), yang merugikan petani akibat harga gula anjlok, sebagaimana diprotes APTRI pada 2016. Tafsir ini mencerminkan Marhaenisme—keberpihakan pada rakyat kecil sebagai inti dari demokrasi ekonomi—sejalan dengan sila ke-5 Pancasila, menjadikan hukum alat untuk melindungi petani dari kapitalisme predatorik.

"Soekarno Kembali Membahas Marhaenisme", Surat kabar Zuthpen, Februari 1959

Secara kritis, putusan ini tetap terbatas pada legalitas formal. Hukuman penjara dan denda tidak memulihkan kerugian petani tebu, yang menghadapi harga di bawah biaya produksi akibat impor. Putusan juga tidak mengusulkan reformasi tata niaga pangan untuk mencegah monopoli izin impor atau menjamin harga patokan petani (HPP). Meski hakim mengintegrasikan nilai keadilan sosial, fokus pada kerugian negara mengesampingkan kompensasi langsung bagi petani, melemahkan semangat emansipatoris Marhaenisme yang menuntut redistribusi ekonomi.

Dari sisi teknokratis, pembuktian kerugian negara Rp515,4 miliar berdasarkan audit BPKP mendapat tantangan. Ahli audit BPKP Randy Rizki mempertanyakan kausalitas antara pelanggaran prosedural dan kerugian, serta metodologi HPP yang dianggap cacat. Pelanggaran tata niaga, seperti penunjukan koperasi (INKOPKAR, INKOPPOL) alih-alih BUMN untuk stabilisasi harga, menunjukkan lemahnya koordinasi antarinstansi, yang memfasilitasi kolusi. UU No. 18/2012 dan UU No. 19/2013 seharusnya menjadi acuan untuk melindungi petani, tetapi putusan ini kurang menegaskan penegakan substantifnya.

Putusan ini membuka jalan, tapi belum cukup. Agar hukum benar-benar menjadi alat emansipasi, tafsir Marhaenisme harus diterapkan secara konsisten dalam tata niaga pangan, melalui kuota impor yang adil, subsidi petani, dan keberpihakan nyata terhadap kedaulatan rakyat kecil.

Pelajaran dari Hukum Progresif Amerika Latin dan Tantangan Indonesia

Pengalaman Bolivia dan Ekuador di bawah Evo Morales dan Rafael Correa menunjukkan bahwa hukum dapat menjadi instrumen kedaulatan ekonomi rakyat, bukan sekadar penjamin kepastian pasar. Morales menasionalisasi sektor hidrokarbon, menaikkan pendapatan negara hingga 300% dan membiayai program pengentasan kemiskinan. Correa memperkuat regulasi kontrak tambang melalui skema bagi hasil 80:20 (80% untuk negara), sekaligus memperkuat peran sosial negara melalui amendemen konstitusi pro-rakyat. Keduanya mempraktikkan hukum progresif sebagai mekanisme redistribusi kekayaan, menjadikan rakyat bukan objek kebijakan, melainkan pemilik sah sumber daya nasional.

Nasionalisasi dalam konteks ini dapat dipahami sebagai upaya "mengambil kembali kendali" atas ekonomi nasional—sebuah strategi dekolonisasi ekonomi untuk membalikkan ketergantungan pada kapital global. Indonesia memiliki urgensi serupa: dominasi asing atas sektor tambang mencapai 70%, namun kontribusi pajak minerba hanya sekitar 4-5% dari APBN (Kemenkeu).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun