E-Voting, Revolusi Partisipasi, dan Pertanyaan Kualitas
"Revolusi demokrasi," demikian Presiden Joko Widodo menyebut sistem e-voting yang diadopsi oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam Kongres terbarunya, di mana Kaesang Pangarep terpilih sebagai Ketua Umum periode 2025-2030. Bersamaan dengan itu, Presiden ketujuh itu juga menyebut PSI sebagai "Partai Super Tbk," metafora yang tampaknya menandakan efisiensi, keterbukaan, dan transparansi. Semangat progresif di balik pernyataan tersebut tidak dapat diabaikan:
ada ikhtiar untuk mengatasi dominasi oligarki dalam tubuh partai politik pada umumnya, sekaligus merangkul aspirasi realitas masyarakat digital yang haus akan keterlibatan langsung.
Namun, di balik kemilau retoris dan kemudahan teknologis itu, muncul kegelisahan ontologis: apakah e-voting semata cukup untuk mewakili semangat demokrasi yang sejati? Apakah sistem ini benar-benar merevolusi kualitas keputusan politik, ataukah hanya menyederhanakan prosedur tanpa memperdalam isi?
Penulis—yang juga merupakan anggota PSI—hendak mengajukan argumen bahwa, meski e-voting membawa angin segar dalam hal efisiensi dan inklusivitas teknis, namun justru berisiko mereduksi demokrasi menjadi sekadar agregasi preferensi personal yang belum tentu rasional.
Tanpa diimbangi dengan mekanisme deliberatif yang kuat dan sistem musyawarah yang terstruktur, e-voting berpotensi menciptakan legitimasi semu yang memperkuat kooptasi terselubung. Artikel ini akan menelusuri perbedaan fundamental antara voting sebagai instrumen agregasi dan deliberasi kolektif sebagai mekanisme rasionalisasi, serta mengusulkan jalan institusional ke depan bagi PSI pasca kongres 2025 untuk menjaga kualitas demokrasinya.
E-Voting ala PSI: Efisiensi, Personalisasi, dan Rentannya Kooptasi Terselubung
E-voting, dalam tataran teknis, memang menjanjikan kecepatan, efisiensi, dan keterbukaan. Bagi PSI yang sedari awal menahbiskan diri sebagai partai anak muda yang melek digital, penerapan e-voting untuk memilih ketua umum adalah langkah yang sejalan dengan brand politik mereka. Tidak ada antrean fisik, tidak perlu logistik besar, dan setiap anggota bisa berpartisipasi dari mana pun, bahkan hanya dengan ponsel. Namun, dalam konteks kongres partai, e-voting bukan sekadar alat, melainkan mekanisme yang memuat asumsi-asumsi politik tertentu.
Pertama, e-voting mengasumsikan bahwa setiap suara anggota partai memiliki bobot dan kualitas yang setara, tanpa memperhitungkan sejauh mana anggota itu aktif dalam wacana internal partai atau memiliki pemahaman terhadap isu strategis yang dihadapi. Akibatnya, suara yang diberikan karena popularitas figur atau karena dorongan emosional di media sosial bisa setara (dan bahkan lebih dominan) dibandingkan suara yang lahir dari proses pemikiran dan pertimbangan rasional. Demokrasi prosedural semacam ini berisiko mengesampingkan proses penalaran politik yang sehat dan kolektif.
Kedua, personalisasi dalam pemilihan semakin dipertajam ketika figur seperti Kaesang—dengan modal sosial, politik, dan simbolik sebagai anak (mantan) presiden—ikut bertarung. E-voting tidak memiliki mekanisme auto-koreksi terhadap ketimpangan modal politik ini. Justru, sistem ini cenderung memperkuat kooptasi simbolik, seolah-olah prosesnya netral dan terbuka, padahal mungkin sudah dibanjiri oleh struktur dominasi dan pengaruh luar. Dalam pengertian ini, e-voting malah menjadi kendaraan legitimasi atas proses kooptasi yang tidak kasatmata sebagaimana yang kerap diwacanakan teori kritis.
Ketiga, dengan mengutamakan kecepatan dan kesederhanaan, e-voting menyingkirkan kemungkinan membangun konsensus rasional atau sekadar menyerap argumen tandingan secara sistematis. Pemilihan hanya menjadi hitungan suara, bukan arena gagasan. Padahal, politik bukan hanya soal menang dan kalah, melainkan soal bagaimana keputusan bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual—segenap akal dan budi—oleh semua pihak yang terlibat.
Dengan demikian, e-voting ala PSI mencerminkan paradoks: semakin inklusif secara angka, tetapi semakin eksklusif secara gagasan. Cara ini memang membuka partisipasi seluas-luasnya, namun justru menutup ruang diskursus yang memungkinkan transformasi preferensi pribadi menjadi pertimbangan kolektif yang dapat dipertanggungjawabkan atau diilhami bersama. Demokrasi semacam ini kerap menyingkirkan kelompok minoritas yang tidak populis dan menciptakan barisan sakit hati.
Demokrasi Digital: Terobosan Prosedural, Kekosongan Substantif
E-voting yang digunakan PSI dalam memilih ketua umum teranyar telah dipuji sebagai simbol partisipasi digital dan keterbukaan teknologi. Namun bila dicermati lebih dalam, mekanisme ini lebih mencerminkan demokrasi prosedural semata—yakni demokrasi yang mengedepankan kuantifikasi suara ketimbang kualitas wacana. Dalam sistem ini, klik dianggap cukup untuk mewakili kehendak politik, padahal apa yang diklik bisa jadi tak pernah melalui proses pertimbangan rasional yang matang.
Demokrasi prosedural memang penting sebagai kerangka hukum dan tata kelola, namun teknisnya kerap kehilangan kedalaman ketika diadopsi tanpa lapisan substantif—yakni tanpa dialektika, deliberasi, dan pendidikan politik di antara para anggotanya.
Mekanisme voting yang instan ini rawan direduksi menjadi ajang popularitas, emosi sesaat, bahkan kultus figur. Padahal, dalam demokrasi deliberatif, pemilihan bukan sekadar tentang siapa yang menang, tetapi bagaimana komunitas politik itu membentuk konsensus atau setidaknya pengertian bersama sebelum keputusan dibuat.
Dalam khazanah teori politik kontemporer, Jurgen Habermas mengajukan konsep tindakan komunikatif sebagai landasan demokrasi deliberatif. Dalam pandangan ini, tindakan politik seharusnya diarahkan untuk mencapai pengertian bersama (mutual understanding), bukan sekadar agregasi kepentingan pribadi yang bersaing. E-voting dalam format PSI yang minim diskursus publik cenderung jatuh ke dalam kategori tindakan strategis—yakni perilaku politik yang diarahkan untuk menang, bukan untuk saling memahami.
Senada dengan itu, James Fishkin mengkritik realitas demokrasi modern yang terlalu bergantung pada survei dan voting cepat yang tidak mencerminkan opini publik deliberatif. Fishkin menekankan pentingnya deliberative polling—di mana opini dibentuk melalui rangkaian dialog, penyajian data yang berimbang, dan diskusi mendalam antar warga. PSI, alih-alih menjadi pelopor model ini, justru tampak melanjutkan pola klik cepat yang melompati tangga kontemplasi kolektif.
Jika e-voting dibiarkan berdiri sendiri tanpa tahapan diskursus deliberatif sebelumnya, maka hasilnya bisa diduga menciptakan legitimasi semu. Legitimitas ini tampak formal—karena jumlah suara terdata—namun kehilangan makna substantif karena prosesnya tak memberi ruang bagi argumen minoritas, apalagi—jika ada—oposisi internal.
Ketika arah kepemimpinan ditentukan tanpa ruang tanya jawab terbuka, tanpa debat publik representatif struktural/antarkandidat/pendukung kandidat, maka yang kita saksikan bukanlah pesta demokrasi, melainkan polling dalam suasana senyap.
PSI dan Kekosongan Deliberatif: Pelajaran dari Partai Lain
PSI selalu membanggakan diri sebagai partai yang paling inklusif, paling terbuka terhadap keberagaman identitas dan pendapat. Namun inklusivitas tanpa ruang deliberasi hanya menjadi slogan kosong. Terlalu sedikit ruang forum publik internal yang memungkinkan anggota dan kader PSI benar-benar bertukar pikiran secara kritis dan substansial. Apa yang tampak sebagai partisipasi seringkali hanya menjadi respons terhadap narasi pusat, bukan hasil dari proses diskursif yang hidup.
Inilah kekosongan deliberatif yang perlu diisi jika PSI benar-benar ingin menjadi partai masa depan, bukan sekadar tren digital. Tanpa konsolidasi gagasan, tanpa ruang untuk mendiskusikan dan mendefinisikan ideologi partai secara kolektif, maka gerakan politik hanya akan menjadi ekosistem paket data, jentikan jari dan branding viral.
Sampai terpilihnya ketum baru PSI, tidak ada “forum kader” yang terbuka bagi anggota PSI untuk secara bersama-sama merumuskan arah politik partai. Yang muncul justru komunikasi satu arah dari elite partai ke publik, atau publikasi media massa dengan penemuan bendera re-branding PSI yang terkuak beberapa hari sebelum perhelatan Kongres. Akibatnya, anggota PSI (maupun publik) hanya hadir sebagai pendengar pasif yang diberi peran validasi.
Bandingkan dengan beberapa partai lain di Indonesia. PDIP misalnya, memiliki tradisi ideologisasi yang kuat. Sekolah partai dan disiplin organisasi menjadikan kader memahami, menyerap, dan memperjuangkan garis ideologi partai. PKS bahkan lebih jauh lagi. Dengan sistem tarbiyah dan jaringan kaderisasi intensif, mereka menciptakan identitas kolektif yang kokoh dan militan, meskipun secara ideologis konservatif. Gerindra pun—walau terkesan cair—tetap memiliki struktur elit yang konsisten menjaga narasi partai secara vertikal dan rapi.
Dari perbandingan ini, jelas bahwa PSI justru tertinggal dalam membangun struktur internal yang deliberatif. Jika PSI ingin menghidupkan demokrasi permusyawaratan, maka proses itu harus lebih dari sekadar pemilihan daring. Bentuk ideal ini perlu menjadi arena bernalar, bukan basa-basi. Tempat adu gagasan, bukan hanya adu nama dan pencitraan.
Memang, dalam konteks pemilihan Ketua Umum PSI 2025–2030, pragmatisme elektoral Pemilu mendatang menjadi pertimbangan nyata. Sosok seperti Kaesang tentu unggul dari sisi daya tarik publik. Namun, jika pondasi partai dibiarkan rapuh hanya demi mengejar popularitas jangka pendek, maka demokrasi internal akan terus menjadi bayang-bayang. PSI harus belajar dari partai lain: populisme bisa memenangkan pemilu, tapi deliberasi yang membangun gagasanlah yang menjaga kelangsungan partai.
Alternatif ke Depan: Demokrasi Hibrida yang Autentik
Bagi partai seperti PSI yang sejak awal mengusung semangat “musyawarah anak muda” dan kemajuan digital, tantangan utamanya bukanlah memilih antara tradisi dan teknologi, melainkan menyinergikan keduanya secara bermakna. Musyawarah sebagai istilah yang akrab di telinga rakyat Indonesia tetap relevan, namun metode ini tak boleh berhenti sebagai simbol sopan santun politik tanpa gigi. Bentuknya perlu ditransformasikan menjadi deliberasi kolektif (musyawarah yang terideologisasikan) yang terstruktur dan terukur—yakni forum yang tidak hanya mendengarkan, tetapi menguji gagasan, menyaring kepentingan, dan merumuskan kehendak bersama secara rasional.
Untuk itu, PSI perlu memformalkan mekanisme deliberatif dalam tata tertib organisasinya. Jika musyawarah dianggap lamban dan tidak efisien, maka solusinya bukan menggantinya dengan voting instan, melainkan membangun prosedur deliberasi yang jelas: siapa yang berbicara, dengan argumen apa, dalam forum yang bagaimana, dan untuk menghasilkan apa. Transparansi, urgensi isu, dan relevansi argumentasi harus menjadi tolok ukur partisipasi politik internal.
Model demokrasi hibrida adalah jalan tengah yang menjanjikan. Gagasan dan garis besar kebijakan partai harus lahir dari forum terbuka dan deliberatif—bukan hanya dari elite atau pendiri partai. Calon pemimpin struktural, termasuk Ketua Umum, idealnya harus melewati dialog yang merupakan Garis Besar Haluan Partai (hasil internalisasi Rapat Pimpinan Nasional misalnya), pengajuan calon representatif, lalu presentasi visi yang terbuka kepada anggota. Barulah setelah proses tersebut, e-voting digunakan sebagai tahap finalisasi yang demokratis, yakni validasi kolektif atas hasil diskusi, bukan sekadar polling popularitas.
Dengan demikian, PSI tidak hanya tampil progresif secara prosedural, tetapi juga bertumbuh secara substansial. Demokrasi digital yang cepat tetap dipertahankan, namun ditopang oleh deliberasi yang mendalam—sebuah legitimasi ganda yang menggabungkan efisiensi teknokratis dan kepekaan etik-intelektual. Ini bukan sekadar revolusi prosedural, tetapi evolusi demokratis yang autentik.
Demokrasi Bukan Sekadar Klik, Melainkan Kebudayaan
Di tengah gelombang digitalisasi politik yang kian deras, penting untuk diingat: demokrasi tidak tumbuh dari kecepatan jari saja, melainkan dari kedalaman dialog. Sebuah partai tidak bisa disebut demokratis hanya karena membuka akses voting lewat gawai; demokrasi yang kuat membutuhkan kebudayaan berdebat yang sehat, mekanisme mendengar yang sungguh-sungguh, dan penghormatan terhadap proses pembentukan gagasan yang memerlukan waktu, empati, dan intelektualitas kolektif.
E-voting hanyalah alat—kuat dan efisien, tetapi bukan ruh demokrasi. Cara ini tidak mampu menggantikan forum di mana ide-ide diuji, nilai-nilai diperjuangkan, dan konsensus dibentuk secara partisipatif. Saat alat dijadikan ruh, yang lahir adalah ilusi partisipasi, bukan substansi demokrasi.
Setidaknya polemik ontologis ini tergambar dalam komentar-komentar pedas netizen awam pasca terpilihnya Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum PSI 2025-2030. Penulis merasa perlu merapikan komentar-komentar tersebut dalam kerangka konstruktif—serta mengakui dan mendeskripsikan tantangan realisme politis PSI yang belum dilihat oleh perspektif awam karena ketiadaan diskursus deliberasi pra-kongree—yang kelak dapat menjadi tanggung jawab Ketum PSI terpilih.
PSI memiliki peluang langka untuk menjadi pionir demokrasi hibrida yang autentik di Indonesia. Sebuah partai yang tidak hanya modern secara teknologi, tetapi juga matang secara institusional dan etis. Namun, ini hanya mungkin jika PSI berani merawat forum-forum dialog dan memperkuat nilai-nilai deliberatif di tubuhnya. Bukan sekadar partai cepat saji digital, melainkan rumah gagasan yang dibangun oleh dan untuk warga yang berpikir, berdebat, dan bersama merumuskan masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI